Oleh: Darul Abror, M.Pd.I
(Disampaikan pada MAPABA
ke-VIII, 24-11-2016 di Aula Kec. Lempuing )
Selain studi,
mahasiswa mengemban tugas advokasi di tengah masyarakat, di antara perwujudannya melalui mahasiswa
pergerakan yang tahu kapasitasnya, kaya gagasan, kreatif, dan peka
terhadap realita sosial di masyarakat. Artinya, mahasiswa mesti tanggap
terhadap perubahan dan tantangan di sekitarnya baik di masyarakat maupun di
tengah kampus,[1] Narasi
sejarah membuka kran fakta
bahwa kelahiran PMII salah satunya adalah sebagai respon tehadap konteks
pergulatan ideologi yang terjadi saat itu, tahun 1950-an, ketika Partai
Sosialis Indonesia dan Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno. Menurut sejarawan
Agus Sunyoto, Bung Karno lalu meminta kepada NU untuk mendirikan oganisasi
mahasiswa Islam yang ‘Indonesia’ yang kelak dikenal dengan nama Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia. Bahkan, Bung Karno sendiri hadir pada kongres
pertama organisasi yang pada lambangnya terdapat bintang sembilan ini, dengan
pidatonya yang berapi-api: bahwa NKRI adalah harga mati.[2]
Diktum NKRI harga mati sesungguhnya adalah nalar yang harus
terus menjadi ruh dalam setiap gerakan yang diusung oleh masyarakat pergerakan
ini, agar proporsi gerakannya tidak “keluar rel” apalagi sampai kontra poduktif
dengan spirit para founding fathers-nya. Tentu, ijtihad gerakan tersebut
meniscayakan berbagai faktor yang membuatnya jadi terlaksana. Maka, ia butuh
paradigma, konsepsi, analisis, sampai pada level praksis staretegis. Dan itu
bisa dirangkum dalam satu ikatan mutlak yang harus selalu dievaluasi:
kaderisasi. Maka, kaderisasi di PMII harus mencakup seluruh espketasi para
“pendahulu” sekaligus juga harus mampu menjawab problematika yang terjadi masa
kini. Itu “jihad akbar” bagi kaum pergerakan yang terus menerus harus digali.
Jika pada awal pembentukannya PMII berhadapan dengan riuh rendah kontestasi
ideologi politik dan agama yang sangat mencekam dan menumbuhkan kegamangan,
saat ini, “tipologi ideologis” itu nyaris tipis perbedannya, sulit diurai ujung
pangkalnya, sehingga formulasi gerakan yang dijadikan solusi mempersyaratkan
kekuatan yang “lebih” karena tantangannya semakin berat dengan tingkat
problematika yang sangat akut, kronis, dan tentu sulit dicari benang merahnya,
dirurai ujung-pangkalnya.
Setidaknya ada
beberapa tanggung jawab kader PMII terhadap realitas sosial yang juga menjadi
problematika masyakarat, pemerintah maupun public. Sehingga perlu diketengahkan
seperti apa peran PMII dalam perspektif gerakan sosial. Dibawah ini dijelaskan
kerangka konseptual tentang sosialitas PMII di arena demokrasi.
![]() |
Tanggung
Jawab kader PMII terhadap Sosial-Public
Mahasiswa dapat
menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa
diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak
mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Intinya
mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, harapan bangsa untuk masa depan. Tak
dapat dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan bersifat mengalir,
yaitu ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda,
oleh karena itu kaderisasi harus dilakukan terus-menerus. Dunia kampus dan
kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat sayang bila tidak
dimanfaatkan bagi mereka yang memiliki kesempatan.[3]
Sejarah telah
membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar terjadi,
dari zaman nabi, kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang menjadi garda
depan perubah kondisi bangsa. Lantas sekarang apa yang kita bisa lakukan dalam memenuhi
peran Iron
Stock tersebut ? Jawabannya tak lain adalah dengan
memperkaya diri kita dengan berbagai pengetahuan baik itu dari segi keprofesian
maupun kemasyarakatan, dan tak lupa untuk mempelajari berbagai kesalahan yang
pernah terjadi di generasi-generasi sebelumnya.
Salah satu upaya iron stock yang telah dulaikukan oleh
beberapa sahabat dalam PMII, antaralain pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Universitas
Lampung resmi meluncurkan program PMII English Centre pada Sabtu, 15 Oktober
2016. Acara ini digelar di Gedung ke-3 PWNU Lampung.[4]
Inisiator
PMII English Centre mengungkapkan bahwa PMII English Centre ini
akan menjadi pusat kajian Bahasa Inggris PMII Unila, yaitu berupa pusat
pembelajaran TOEFL, speaking, listening, reading, communication, speech,
grammar, dll. Menurutnya, selain menjadi pusat kajian Bahasa Inggris, PMII
English Centre ini juga akan mengajarkan untuk mengajar, tidak hanya mengajar
Bahasa Inggris, tetapi mengajarkan apa saja keahlian dan potensi anggota PMII
Unila. Usaha tersebut telah mewakili bahwa mahasiswa gerakan mampu menjadi garda
terdepan dalam ikutserta tampil bermental dan tangguh, karena dengan bahasa,
era globalisasi akan menjadi peluang yang lebih, dan bukan problematika. Untuk
itu, dengan keberanian dan akhakul karimah PMII menawarkan pola kaderisasi yang
unik dan fleksibel serta tetap memberikan sumbangsih pada kompetensi dasar yang
dimiliki oleh setiap insan pergerakan.
Mahasiswa
sebagai Guardian of Value berarti
mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat. Lalu sekarang
pertanyaannya adalah, “Nilai seperti apa yang harus dijaga??” Untuk menjawab
pertanyaan tersebut kita harus melihat mahasiswa sebagai insan akademis yang selalu
berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran. Kita harus memulainya dari hal
tersebut karena bila kita renungkan kembali sifat nilai yang harus dijaga
tersebut haruslah mutlak kebenarannya sehingga mahasiswa diwajibkan menjaganya. Nilai yang harus
dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak ada keraguan lagi
di dalamnya. Selain nilai yang di
atas, masih ada satu nilai lagi yang memenuhi kriteria sebagai nilai yang wajib
dijaga oleh mahasiswa, nilai tersebut adalah nilai-nilai dari kebenaran ilmiah.
Walaupun memang kebenaran ilmiah tersebut merupakan representasi dari kebesaran
dan keeksisan Allah, sebagai dzat yang Maha Mengetahui. Kita sebagai mahasiswa
harus mampu mencari berbagai kebenaran berlandaskan watak ilmiah yang bersumber
dari ilmu-ilmu yang kita dapatkan dan selanjutnya harus kita terapkan dan jaga
di masyarakat.
Pemikiran Guardian
of Value yang
berkembang selama ini hanyalah sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada
sebelumya, atau menjaga nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran, kesigapan, dan
lain sebagainya. Hal itu tidaklah salah, namun apakah sesederhana itu nilai
yang harus mahasiswa jaga? Lantas apa hubungannya nilai-nilai tersebut dengan
watak ilmu yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa ? Oleh karena itu saya
berpendapat bahwa Guardian of Value adalah penyampai, dan penjaga
nilai-nilai kebenaran mutlak dimana nilai-nilai tersebut diperoleh berdasarkan
watak ilmu yang dimiliki mahasiswa itu sendiri. Watak ilmu sendiri adalah
selalu mencari kebanaran ilmiah.
Hal ini dapat dicontohkan dengan suatu gerakan guradian
of Value yang dilakukan oleh PB PMII di Jakarta, Densus 88 telah
menangkap Mahasiswa Bandung yang diduga terlibat teroris. Menyikapi hal
tersebut, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) meminta
pemerintah, untuk segera melakukan evaluasi perguruan tinggi.[5] ini
merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam menjaga nilai-nilai budaya yeng
kemudian kelak menjadi sebuah peradaban, tentunya sangat bernilai bagi public,
baik pemerintah danmasyarakat pada umumnya, lebih lebih pada instansi terkait,
yakni perguruan tinggi.
Mahasiswa sebagai Agent of Change, adalah mahasiswa sebagai agen dari suatu
perubahan. Lalu kini masalah kembali muncul, “Kenapa harus ada perubahan ???”.
Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita pandang kondisi bangsa saat ini. Kondisi
bangsa saat ini jauh sekali dari kondisi ideal, dimana banyak sekali
penyakit-penyakit masyarakat yang menghinggapi hati bangsa ini, mulai dari
pejabat-pejabat atas hingga bawah, dan tentunya tertular pula kepada banyak
rakyatnya. Sudah seharusnyalah kita melakukan proses perbaikan terhadap
hal ini. Lalu alasan selanjutnya mengapa kita harus melakukan perubahan adalah
karena perubahan itu sendiri merupakan harga mutlak dan pasti akan terjadi
walaupun kita diam.
Syafaruddin menyatakan kebijakan publik adalah hasil pengambilan
keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang
berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manajer dan personel
dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi pada kehidupan
masyarakat.[6]
Dari beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan yang
dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dimasyarakat. Dalam
pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu
kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang
dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap
penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya
melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan.
Salah satu analisa kiritis yang
dilakukan oleh PB MII sebagai Agent of Change, adalah dengan menelisik dan menganalisa dampak dan kekhawatiran jika
terjadi pilkada serentak pada tahun 2015 yang lalu, menurut
mantan Dirjen Otda Kemdagri, Djohermansyah Djohan, kekerasan pilkada justru
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Rekapitulasi kerugian pascakonflik
pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota menyebutkan, jumlah korban
meninggal dunia 59 orang, korban luka 230 orang, kerusakan rumah tinggal 279
unit, kerusakan kantor pemda 30 unit, kantor polisi enam unit, dan kantor
Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah 10 unit (situs Kemendagri). Dari data dan fakta di atas, dapat dilihat bahwa pilkada yang tak
serentak saja dapat menimbulkan konflik laten, apalagi jika dilaksanakan secara
serentak. Pilkada serentak yang baru pertama kali akan diadakan di 269 daerah,
dengan jumlah 810 kontestan pasangan calon untuk sementara (data KPU Juli 2015)
bisa menjadi ancaman bagi stabilitas politik di daerah yang perlu diwaspadai.
Jika 10 persen saja dari 269 daerah terjadi kerusuhan di wilayah, itu akan
cukup mempengaruhi stabilitas politik serta keamanan nasional.[7]
Hal ini tentu patut menjadi
catatan oleh semua pihak yang berwenang, terutama oleh penyelenggara yaitu KPU,
dipihak pengawasan yaitu Bawaslu dan Polri sebagai pihak pengamanan pemilu.
Karena jika benar kerusuhan Pilkada serentak tidak dapat diantisipasi, tentunya
hal ini akan mencoreng pelaksanaan demokrasi kita. Semoga euforia dan semangat
berdemokrasi menuju pilkada serentak dapat menghasilkan pemimpin yang kita
harapkan dapat memberi perubahan nyata terhadap kesejahteraan di daerah. Karena cita-cita demokrasi dan
otonomi daerah sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat, dan menjadikan
pemimpin kita sebagai pelayan masyarakat.
Tanggung jawab yang juga sangat penting adalah
tanggung jawab terhadap diri sendiri, yakni penguatan akhlaq, tentunya hal ini
sangat berpengaruh kepada keluarga, lingkungan dan publik umumnya. Kemampuan
intelektual harus dibarengi dengan akhlaq yang baik, tiada guna ilmu yang
tinggi tanpa akhlaq, sama dengan makluk lain yang tidak berakal. Globalisasi memberi
peluang bagi mereka yang mampu menjaga akhlaqnya, bukan saja bagi mereka yang
memiliki modal dan kecerdasan yang lebih. Hal ini seirama apa yang disampaikan
oleh Prof. Jalaludin, dua ciri utama pribadi yang berakhlak mulia, yakni iman
dan amal saleh, amal saleh adalah aktivitas yang dilandasi oleh nilai-nilai
imani.[8]
Dengan demikian,
peran dan tanggung jawab kader PMII membutuhkan komitmen yang besar, untuk itu,
akhlaq menjadi modal utama di era globalisasi, baik untuk aktif dalam
organisasi, pengabdian di masyarakat maupun ikut serta berperan aktif di
institusi dasar. Realitas dunia ini membutuhkan peran yang serius dan focus
untuk mengembangkan menjadi suatu pola maslahat, tentunya hal ini menjadi
bagian tujuan semua unsur, akan tetapi tidak semua manusia bisa melakukannya,
karena heterogenitas latar belakang pendidikan menjadi bagian dari perbedaan
intrepretasi dalam sebuah pemikiran. Untuk itu, PMII hadir sebagai
pengejawantahan ekspresi kader yang inpiratif dan kreatif guna menuai masa
depan yang sukses dunia dan akhirat.
Sekali lagi,
selamat atas terlaksananya MAPABA ke VIII Komisariat Tarbiyah dan Komisariat
Syari’ah, semoga kelak bisa terlahir
kader militan, bermental baja dan tangguh dalam mengadapi tantangan, dan tegas
menjemput peluang guna mencapai kesuksesan dunia akhirat.
Good luck
sahabat...., * Untukmu satu satanah airku, untukmu satu keyakinanku*
Saran dan
rekomendasi :
Silahkan untuk
diskusikan dengan membedah UU No 6 Tahun 2014 tentang DESA, disana terdapat peran mahasiswa terhadap
implementasi regulasi dana desa yang diberikan setiap tahun kepada seluruh desa
di Indonesia. Penting untuk didiskusikan, dan ikut serta untuk aktif sebagai
salah satu tanggung jawab sosial kader PMII.
Bukan hanya
dzikir dan fikir, melainkan juga amal soleh.
[1]http://www.nu.or.id/post/read/51986/pmii-unwahasy-integrasikan-mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial, di akses pada 20
Oktober 2016, pukul 22.18 Wib.
[2] http://www.pmii.or.id/pmii-nasibmu-kini-kritik-terhadap-gerakan-tiga-kaki/, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.28 Wib.
[3]
http://rayonpmii-fkip.blogspot.co.id/2014/04/mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial.html, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.30 Wib.
[4] http://www.pmii-unila.org/2016/10/pmii-english-centre-has-been-launched.html, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.39 Wib.
[5]
http://www.pmii.or.id/teroris-masuk-kampus-pb-pmii-minta-pemerintah-evaluasi-perguruan-tinggi/, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.34 Wib.
[6] Syarafuddin,
2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Ed.1, Cet, 1. Rineka Cipta, hlm.
77
[7]
http://www.pmii.or.id/apa-kabar-pilkada-serentak/, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.45 Wib
[8] Prof. Jalaludin, “Pendidikan Islam Pendekatan Sistem
dan Proses”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016. 145.