Halaman

Kamis, 29 Oktober 2015

Madrasah, Manajemen dan Leadership



MADRASAH, MANAJEMEN DAN LEADERSHIP


Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu proses yang komprehensif  yang berupaya mempersiapkan diri  dengan segala yang dimilikinya menuju kabaikan dan ketaqwaan kepada Allah swt.  Adapun pendidikan Islam, menurut al-Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya (al-Qardawi, 1980, hal. 39)
Untuk itu, sangat  penting pendidikan Islam diaplikasikan dengan lebih komprehensif, baik dari sistem, manajemen dan model ataupun karakteristik leadershipnya. Hal ini direalisasikan di Indonesia menjadi salah satu jawaban alternatif kebutuhan bangsa pada masa penjajahan belanda, yakni didesaian dengan kata “madrasah”.
Ziemek, (1983, 122), mengemukakan sistem sekolah kolonial belanda ketika itu secara kwantitatif tak dapat memenuhinya. Berbeda dengan sekolah-sekolah belanda sekuler murni, madrasah masa itu menggambarkan suatu perkembangan lanjut di modernisasi dari budaya tradisional sehingga tidak terjadi keretakan dalam sistim nilai-nilai seperti halnya dalam proses sosialiasasi, sebagaimana terjadi dalam bentuk-bentuk pendidikan dan faham barat. 
Disisilain Nata, (2001:187).  madrasah dalam dekade terakhir abad XX ini  merupakan lembaga pendidikan alternatif bagi para orang tua untuk menjadi tempat penyelenggara pendidikan bagi putra-putrinya. Hal ini terlihat dengan beberapa daearah  tertentu madrasah meningkat cukup tajam dari tahun ketahun, oleh karena itu, peran leader dalam menajamen lembaga tesebut sangat menjadi tolak ukur dalam  kemajuan dan  kemunduran madrasah.
Namun demikian, madrasah akan maju dan berkembang sesuai kebutuhan dan zaman jika memang benar-benar dikelola dan dipimpin oleh seorang leader dengan manajemen yang baik. Akan tetapi pada realitasnya, masih banyak madrasah hari ini yang masih perlu suntikan pembaharuan sistem dan manajemen dalam menjawab tantangan zaman, baik pada sumber daya manusia, ekonomi dan maupun dukungan sosialnya. Untuk itu, sangat penting sekali membahas tentang pembaharuan madrasah terutama pada kepemimpinan pengelolaan madrasah. Sehingga menjadi madrasah yang  memang menjadi
















Pembahasan

Pengertian Madrasah, Manajemen dan Leadership serta hubunganya
Madrasah: Pengertian, Sejarah, dan Pembaharuanya 
Madrasah berasal dari bahasa arab,    مدرسة،  مكان اتعليم    artinya “ madrasah, sekolah, akademi”.  (Kamus Kontemporer Arab Indonesia, 1998:1669)                                 
Sedangkan menurut Mastukki, (2004: 49), mengemukakan bahwa madrasah secara harfiah berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia “sekolah”. Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya, id madrasah anak menjalani proses belajar secara terarah.
Nata (2001:195), mengemukakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang di dalam kurikulumnya memuat materi pelajaran agama dan pelajaran umum, dimana mata pelajaran agama pada madrasah lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran agama pada sekolah umum.
Dengan demikian, madrasah merupakan bagian dari revitalisasi pendidikan Islam baik pada sistem, manajemen dan nilai-nilai yang diajarkan dengan tetap mengutamakan tujuan pada pembenahan akhlaq.
Abdullah (2006:20) mengemukakan bahwa secara historis kelahiran madrasah menjadi lambang kebangkitan dari sistem pendidikan Islam.
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Ramayulis (1994:158) bahwa di dalam madrasah berlangsung proses komunikasi pedagogis antara pendidk, peserta didik, yang darinya diharapkan mengarah kepada tercapainya tujuan instruksional. Oleh karena itu, madrasah merupakan salah satu tempat sekaligus media berinteraksi antar satu anak dengan anak lain yang didesain dengan sistem pendidikan Islam yang lebih komprehensif.   
Nata, mengutip dari (Maksum, 1999:97), mengemukakan bahwa madrasah sebagai suatu sistem pendidikan Islam berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non kegamanaan sudah tampak sejak awall abad XX.
Mastukki (2004:21) mengemukakan bahwa, Al-Maqrizi mengemukakan dalam kitabnya Itti’adz al Hunafa bi Akhbar al-Aimmah al-fatimiyyin al-khulafa bahwa madrasah merupakan prestasi abad kelima. Ia menambahkan bahwa madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam tidak dikenal pada masa sahabat, dan tabi’in, melainkan 400 tahun setelah hijriyah. Menurutnya madrasah yang pertamakali didirikan adalah madrasah Nidzamiyah tahun 457 H (abad 11 Masehi).
Terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang madrasah munculnya madrasah secara historisnya. Akan tetapi, Jika ditinjau dari sudut pandang manajemen pendidikan, madrasah Nizamiyah di bagdad adalah madrasah pertama yang berbentuk lembaga, yang kemudian secra sistematis mengantarkan puncak perkembangan pendidikan Islam. Dikutip oleh Abdullah (Rahman, 1997:268).
Sebenarnya, pada awalnya pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk yang bervariasi. Di samping lembaga bersifat umum, seperti masjid, terdapat lembaga-lembaga lain yang  mencerminkan kekhasan orientasinya. Secara umum pada abad ke empat hijrah dikenal beberapa sistem pendidikan (madaris al-tarbiyah) Islam.
            Pada eksistensinya, madrasah di Indonesia telah memberikan sumbangsih yang jelas terhadap pembaharuan pendidikan Islam sampai hari ini. Hal ini juga tidak bisa terlepas dengan ikatan atau hubungan yang terjalin antara madrasah timur tengah dengan pesantren di Indonesia di anggap memiliki laar belakang sendiri. Selain itu, kemunculan  serta berkembangnya tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh organisasi keislaman di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan, (Mastukki mengutip dari Noer, 1995:12).  
Sedangkan Nata mengutip dari (Maksum, 1999:82), bahwa latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada situasi, pertama adanya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, dan kedua adanya respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.
Menurut pandangan Dewey (1955:54) sekolah itu harus merupakan alat pembantu dalam hal pendidikan sosial anak.
Abdullah (2006:65) juga menjelaskan istilah “pembaruan” merupakan alih bahasa dari istilah itu pembaruan, tajdid, dan modernisasi.
Berkenaan dengan pembaruan, pola pikir dan sikap pandang kaum muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan pola pikir dan sikap pandang kaum muslim ke pagkal kemurnian Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. (Abdullah mengutip Iqbal, 1966:158-192).    
Dengan dmeikian,dalam pembaharuanya, madrasah atau sekolah efektif memerlukan sumberdaya  yang kreatif, inovatif  dan bertanggung jawab dalam mencapai visi dan misinya. Madrasah dikenal sebagai lembaga yang lebih dominan dalam penguasaan keilmuan keagamaan. Sehingga hal ini menjadi karakteristik yang memnag harus dikembangkan dalam menyesuaikan keadaan dan perkembangan zaman. Terutama pada aspek manajemen dan kemauan yang tinggi seorang pemimpim madrasah itu sendiri.






Manajemen : Pengertian, fungsi dan substansinya
          Secara etimologis, manajemen berasal dari kata: management (bahasa Inggris). Kata management berasal dari kata manage, atau managiare, (yang berarti : melatih kuda dala, melangkahkan kakinya Imron mengutip dari (Echols, 1985).
Dalam managemen, terkandung dua makna, ialah mind (pikir) dan action (tindaka) Imron mengutip dari (Sahertian, 1988). 
Syukur (2013:5), mengemukakan bahwa secara etimologi, “Manajemen” berasal dari kata to manage yang berarti mengatur.
Menurut Harold koont dan Cyril O’Donnel dikutip oleh Syukur (2013:8) bahwa manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penempatan, pengarahan dan pengendalian. 
Manajemen pendidikan di sekolah atau madrasah adalah proses aplikasi fungsi manajemen dalam melaksanakan proses pangajaran dan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan untuk mancapai tujuan pendidikan di sekolah, peranan kepala sekolah sebagai manajer dalam menjalankan manajemen pendidikan sangat menentukan pencapaian tujuan dengan dukungan sumberdaya personel, materi, finansial dan lingkungan masyarakat. (Anzizhan, 2008:30).
Dengan demikian, manajemen merupakan suatu proses penataan dengan melibatkan sumber-sumber  

Leadership : Pengertian,  Gaya dan Kompetensinya   
Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya). Sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. (Soekanto, 2002:288).   
Abdullah (2015:298), mengemukakan bahwa pemimpin yang ideal, dalam perspektif Islam, merupakan pemimpin yang perilakunya tidak menyimpang dari “garis” kebenaran yang diwahyukan oleh agama, menjunjung tinggi akhlakul karimah, adil, memberi rasa aman, dan menyejukkan bagi pengikut/ umat. 
Pernyataan Abdullah di atas seirama dengan firman Allah tentang pemimpin,
ان الله يامر بلعد ل والاحسن
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (QS. An-Nahl : 90). 
          Dengan demikian, ketika pemimpin mengelola madrasah lebih tepat dengan mengutamakan beberapa aspek perilaku, baik pada sifat adil,  tanggung jawab, lemah lembut agar dapat mencapai tujuan tertentu.   
Soekanto mengutip (Koentjaningrat, 1967:181) mengemukakan bahwa kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial.
Manusia sebagai seorang pemimpin, Allah swt berfirman :
واذ قال ربك للملئكة انى جا عل  فى الارض خليفة
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalaifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah; 30).
Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki  leh seseorang atau suatu badan, akan tetapi jika kepemimpinan sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat. (Soekanto, 2002:288).
Disisilain, diantara ragam model kepemimpinan, yakni kepemimpinan visioner dan kepemimpinan  passioner. (M.N. Ibad: 17).
Soekanto, (2002:288) mengemukakan bahwa kepemimpinan ada dua, yang bersifat resmi (Formal leadership) dan tidak resmi (Informal leadership),  bersifat resmi adalah kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan. Adapula kepemimpinan karena pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan atau yang disebut dengan kepimimpinan tidak resmi.
          Hal ini dapat dibedakan dalam pelaksanaanya, kepemimpinan yang resmi harus berada di atas landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi, sehingga cakupan dan geraknya lebih terbatas. Sedangkan kepemimpinan tidak resmi   memiliki ruang lingkup yang lebih fleksibel dan tidak resmi atau tidak terbatas resmi. Sehingga  yang menjadi tolak ukur dari keberhasilan kemimpinan tidak resmi adalah pada tujuan dan hasil yang dicapai, lebih menguntungkan masyarakat atau merugikan public.  
Abdullah, (2011, 59), mengemukakan bahwa  pendidikan adalah bagian dari kehidupan yang dituntut mampu mengikuti perkembangan di dalamnya.
Dalam alqur’an juga dijelakan dengan rinci tentang kepemimpinan, salah satu sikap sebagai seorang pemimpin adalah lemah lembut,
فبما رحمة من الله لنت لهم، ولو كنت فظاغليظ القلب لا نفضوا من حولك.
Artinya: “ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu beralaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS.  Ali Imran:159) 
Pada sisi kompetensi yang harus dimiliki oleh pemimpin dalam madrasah, setidaknya memiliki  kompetensi yang mampu sesuai dengan visi dan misi pendidikan dan lembaga itu sendiri.
Secara umum tugas dan peran kepala sekolah memiliki lima dimensi kompetensi sebagaimana termaktub pada peraturan menteri pendidikan nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala Sekolah/ Madrasah, yaitu kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan kompetensi sosial. (Rusman, 2012:7).
          Dengan demikian, gaya kepemimpinan dalam  madrasah sangat menentukan strategi pencapaian  visi dan misi dari lembaga itu  sendiri. Dari pembahasan di atas, maka madrasah, manajemen dan leadership adalah satu bangunan yang utuh dalam mengorganisir lembaga dan  sistem pendidikan menuju visi dan misi dari lembaga itu sendiri.          



Kepemimpinan Madrasah yang Efektif : Perubahan sosial dan gaya kepemimpinan

Perjalanan hidup manusia mengisyaratkan adanya perubahan yang terus menerus, sehingga filsafat perubahan merupakan sesuatu yang kekal. Menjadi karakteristik tetap kehidupan manusia dan makhluk lainya (The only thing of permanent is change). Komariah dan Triatna (2010:73),
Abdullah (2011:2017), mengemukakan perubahan sosial merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke suatu keadaan sosial lain.  Perubahan sosial pasti memiliki suatu arah dan tujuan tertentu.
Syukur (2013:15), juga mengemukakan dan membahas kepemimpinan, pada hakekatnya adalah membahas masyarakat manusia dengan seluk beluknya. Manusia adalah makhluk sosial, zoon politikon. Secara naluriah membutuhkan bergaul dan membutuhkan manusia lain, dalam prosesnya mereka membentuk kelompok-kelompok, masyarakat, berbangsa-bangsa dan bernegara, yang giliranya membutuhkan pemimpin. 
Sutrisno (2013:219), mengemukakan bahwa pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengelola aau mengatur organisasi secara efektif dan mampu melaksanakan kepemimpinan secara efektif pula. 
Abdullah (2011:209) mengemukakan bahwa dilihat dari bentuknya, perubahan sosial dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, baik perubahan lambat dan perubahan cepat, pertama, perubahan memerlukan waktu lama, dan rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat yang dinamakan evolusi. Kedua,  perubahan kecil dan perubahan besar, ketiga, perubahan yang dikehendak (intended change) atau perubahan yang direncanakan (Planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unitended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change) atau perubahan yang tidak direncanakan. (unplanned-change).
          Dengan demikian, perubahan secara terus menerus dialami manusia dalam menjalani kehidupan, pemikiran-pemikiran teoritis tentang  perubahan-perubahan manusia yang dikenal dengan perubahan sosial.
Hal di atas sesuai dengan teori perubahan sosial menyatakan bahwa faktor penyebab perubahan sosial sebagaimana dikutip oleh Komariah dan triatna dari waliono (1980:13), adalah terdiri dari tigas kategori, antaralain biologis, kebudayaan dan tekhnologi. 
          Disisilain, untuk menuju efektifitas kepemimpinan madrasah, kepemimpinan seseorang (pemimpin) harus mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis. Dimulai dari kepemimpinan erat hubunganya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris di mana  belum ada spesialisnya, biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat.  
Selain itu, kepemimpinan yang efektif juga harus memperhitungkan social basis apabila tidak menghendaki timbulnya ketegangan-ketegangan atau setidak-tidaknya terhindar dari pemerintahan boneka belaka (Soekanto, 2012:293).
Komariah dan Triatna (2010:37) mengemukakan penekanan kefektifan sekolah adalah pada proses belajar yang berlangsung secara aktif atau ada keterlibatan berbagai pihak terutama siswa dan guru sebagai subjek belajar.      
Di era desentralisasi, setidaknya terdapat beberapa jenis kepemimpinan yang dianggap representatif dengan tuntutannya, antaralain kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional, dan kepemimpinan visioner, dari ketiga tersebut memilki titik konsentrasi yang khas sesuai dengan jenis permasalahan dan mekannisme kerja yang dierahkan pada bawahan. (Komariah dan Triatna , 2010:75)
Abdullah (2015:247), mengemukakan bahwa dalam ilmu sosial, istilah pemimpin di identikkan dengan elite, yang lazim di definisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya seta berkuasa.
          Efektifitas selain terorganisir oleh kemampaun seorang pemimpin, budaya  dan iklim yang mendukung, juga sangat ditentukan oleh gaya kepemimpinan yang dipakai oleh seorang pemimpin tersebut. Seyogyanya juga, sesuai dengan sistem desentralisasi pendidikan khususnya dan umumnya pada  


Hubungan Kekerabatan
(Geneologi sosial pemimpin pesantren implikasinya terhadap eksistensi madrasah)
          Di Indonesia, madrasah secara historis sangat melekat dengan pondok pesantren, baik pada sistem, manajemen, serta pola dan gaya kepemimpinan kyai yang menjadi salah satu kharisma tersendiri di masyarakat. Dari satu generasi ke generasi penerusnya, para kyai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan putra-putrinya untuk menjadi pemimpin dalam sebuag lembaga-lembaga pesantren ataupun madrasah mereka.
Menurut Dhofier (2011:102), mengemukakan bahwa jika seorang kyai mempunyai anak laki-laki lebih dari satu, biasanya ia mnegharap anak tertua dapat menggantikan kedudukanya sebagai pemimpin pesantren setelah ia meinggal; sedangkan anak laki-lakinya yanglain dilatih untuk mendapatkan kedudukannya mertuanya yang kebanyakan juga memimpin pesantren.
Syukur (2013:201), mengemukakan bahwa sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dari perut pesantren, maka pesantren harus siap dijaikan kiblat bagi pengembangan madrsah. Artinya dalam proses pengelolaan atau manajemennya madrasah bisa melihat dari pengembangan pesantren-pesantren yang telah ada, agar madrasah tetap survive dalam sistem pendidikan nasional (SPN) dibutuhkan konsep dalam mengelola madrasah yang baik dan tepat.  
Ajaran-ajaran tradisional mengajarkan adanya kepemimpinan yang memiliki prinsip, ketika seornag pemimpin di muka, harus memiliki idealisme kuat, serta kedudukan tersebut. Akan tetapi menurut watak dan kecakapanya, seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin dimuka, ditengah dan dibelakang (front leader, sosial leader, dan rear leader). 
M.N. Ibad (2010:138), Pemimpin yang besar adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang dipimpinya) dengan apa adanya, “bisa gaul” istilah gusmiek, dan “memanusiakan manusia” istilah gusdur.
Dengan demikian, pada subtansinya seorang Kyai memiliki nilai kelebihan terutama dibidang spiritualisme, serta nilai karomah dan keberkahan yang kuat yang sekaligus merupakan amanah dari Allah swt. Kuat dan  luasnya hubungan tali kekerabatan kyai telah menghasilkan integrasi dan persatuan para kyai. Terkadang, kyai juga menikahkan anaknya dengan santri yang cerdas dan memiliki kemampuan dalam memimpin sebuah lembaga, sehingga dengan demikian nilai geneus tetap terjaga oleh pola kekerabatan secara sosial dalam pesantren dan atau madrsah untuk melahirkan generasi yang militan dan berakhlaq.   
Sesuai yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Jalaludin dalam menyampaikan materi beliau “Filsafat dan Teori Pendidikan” bahwa, setiap manusia untuk mencetak generasi yang sholeh adalah dimulai dari pemilihan jodoh, hal ini seirama dengan kultur yang sudah membumi dalam dunia pesantren, tidak lain hal nya untuk eksistensi madrasah di masa depan.
Dengan demikian, pentingnya seorang pemimpin yang tepat yang bisa mengakomodir karakter bawahannya lebih-lebih mencetak generasi tersebut sudah dari jauh-jauh hari. Salah satu bentuk eksistensi madrasah itu sendiri adalah dengan lebih bertambah banyaknya lembaga madrasah di Indonesia, serta adanya generasi-generasi baru yang tidak kalah saing dengan sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang unggulan, karena substansinya masdrasah lebih mengutmakan penguasaan keagamaannya lebih-lebih pesantren.



















Kesimpulan

          Madrasah merupakan bagian dari revitalisasi pendidikan Islam baik pada sistem, manajemen dan nilai-nilai yang diajarkan dengan tetap mengutamakan tujuan pada pembenahan akhlaq. Sedangkan manajemen  adalah seni dan ilmu dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemotivasian, dan pengendalian terhadap orang-orang dan mekanisme kerja untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya). Sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut
          Gaya kepemimpinan dalam  madrasah sangat menentukan strategi pencapaian  visi dan misi dari lembaga itu  sendiri. Dari pembahasan di atas, maka madrasah, manajemen dan leadership adalah satu bangunan yang utuh dalam mengorganisir lembaga dan  sistem pendidikan menuju visi dan misi dari lembaga itu sendiri.         
Pentingnya seorang pemimpin yang tepat yang bisa mengakomodir karakter bawahannya lebih-lebih mencetak generasi tersebut sudah dari jauh-jauh hari. Salah satu bentuk eksistensi madrasah itu sendiri adalah dengan lebih bertambah banyaknya lembaga madrasah di Indonesia, serta adanya generasi-generasi baru yang tidak kalah saing dengan sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang unggulan, karena substansinya masdrasah lebih mengutmakan penguasaan keagamaannya lebih-lebih pesantren.




REFERENSI
 


Abdullah. 2011, Sosiaologi Pendidikan. Rajawali. Jakarta.

-------------.2006, Revitalisasi Pendidikan Islam. TW Mutiara Wacana. Yogyakarta.

-------------,2015,  Dinamika Sosiologis Indonesia. “agama dan pendidikan dalam perubahan. LKIS press. 

AlQardhawi,Yusuf., 1980, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami A.Gani, Bulan Bintang. Jakarta.

Dewey, John. 1955. Risalah Ahli didik. Saptadrma.

Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta.

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. LP3ES, Jakarta .

Haedari et. al. 2006. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global. IRD Press. Jakarta.

Imron, dkk, 2003. Manajemen Pendidikan. UIN Malang. 

Jalaludin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Kalam Mulia, Jakarta.

------------------, 2001, Teologi Pendidikan , Jakarta: Rajawali Press.

Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Dian Rakyat, Jakarta.

Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.

Mastukki. 2004. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren (Suatu Konsep Pengembangan Madrasah). DEPAG RI : Jakarta.

Mangun Suwito, 2011. Kamus Saku Ilmiah Populer. Widyatamma Presindo, Jakarta.

M.N. Ibad. 2010. Leadership screet of gusdur –gusmiek (mengelola potensi diri unuk menjadi pemimpin yang dicintai.
Mayhud dan Khusnurdilo, 2004. Manajemen Pondok Pesantren. Diva Pustaka, Jakarta.

Nata, Abudin, 2001. Tokoh-Tokoh Pemikir Pendidikan Agama Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sutrisno, 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia. Prenada Media Group. Jakarta.


Soekanto. 2002. Sosilogi suatu pengantar. Rajwali. Jakarta.

Syukur, Fatah. 2013. Manajemen Pendidikan Bebasis pada Madrasah. Pustaka Rizki Putra. Jakarta.

Komariah dan Triatna. 2010. Visionary Leadership menuju sekolah efektif. Bumi Aksara.

Ziemek, Manfred. 1983. Pesantren dalam Perubahan Sosial. (diterjemahkan oleh Butche B. Soendjojo. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.





FORMAT KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM YANG IDEAL



FORMAT KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM YANG IDEAL
 (Suatu  Refleksi dan Solusi Alternatif Problematika
Pendidikan Karakter bangsa)



Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kepribadian manusia, baik melalui proses agama atau umum lebih-lebih pada kematangan perencanaan kurikulumnya. Pendidikan tidak hanya berlangsung pada beberapa saat saja, melainkan pendidikan anak harus dimulai dari masa paling awal, yakni masa anak yang berada dalam kandungan hingga lahir menjadi sosok generasi yang cakap dengan berbagai potensi dan keahlian guna mencapai kehidupan yang layak dan bahagia dunia akhirat. Pendidikan memang membutuhkan waktu yang panjang dan bahkan proses tersebut berkelanjutan dan tidak akan pernah habis yang dimulai dari lahir sampai akhir hayat dalam arti pendidikan seumur hidup (Life Long Education) dan ada juga yang memberikan istilah pendidikan terus menerus (Continuing Educational).  Dengan demikian pada esensinya pendidikan merupakan proses yang tidak pernah berhenti dalam kondisi apapun, tinggal seberapa besar keinginan seseorang untuk merubah diri menjadi diri yang berpotensi dan diperhitungkan oleh orang lain dalam bidang tertentu dan penguasaan kemampuan tertentu.
            Dewasa ini, kurikulum pendidikan di Indonesia sangat sensitif dengan tuntutan kualitas akademik secara komprehensif, hal ini terlihat dengan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mendesain kurikulum sedemikian rupa, baik karena kebutuhan maupun tidak menutp kemungkinan dengan mengikuti pola yang di reduksi dengan menuju kegelapan ”Barat”, maupun sebatas kepentingan atau tertunggangi kepentingan.  Beberapa kali kurikulum sudah mulai dirubah, baik kurikulum 94, kemudian dirubah menjadi Competency Basd Curriculum (KBK), kemudian berubah ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kemudian dirubah lagi dengan kurikulum 2013 yang sudah resmi dilauncingkan, akan tetapi masih belum jelas statusnya sampai hari ini, atau masih dalam tanda (“),  informasi terbaru juga akan dirubah lagi menjadi kurikulum nasional, “Sebuah dilematika kurikulum bangsa di bawah kebijakan yang tersandar”.
              Disisilain, sumbangsih kurikulum dengan beberapa perubahan di atas seharusnya dan seyogyanya memberikan kekuatan dan pondasi kuat kepada setiap anak didik khususnya dan terutama dalam membangun karakter seorang anak, “Akhlaq”, akan tetapi realitas menjawabnya, dari hari kehari  masih banyaknya degradasi moral bagi anak didik, baik pergaulan bebas, kenakalan remaja, narkoba dan pelecehan seksual.
Sesuai dengan informasi yang diberitakan oleh (Trans TV pada hari Rabu, 06 Oktober 2015 pukul 15.00 Wib) memberitakan  bahwa kenakalan remaja dan pelecehan seksual dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan, 2013 tercatat kurang lebih 3011 kasus, kemudian pada tahun 2014 naik menjadi 4331 kasus dan sampai oktober 2015 sudah mencapai 5000 lebih kasus.   

Selain dampak perkembangan tekhnologi dan globalisasi, hal ini juga sangat erat kaitanya dengan sumbangsih sistem kurikulum yang telah diterapkan di Indonesia, sejauhmana kekuatan sistem, pola atau format kurikulum tersebut dalam membentuk pribadi yang berakhlaq, beriman, bertaqwa dan berwawasan. Dengan demikian, realitas ini membutuhkan sumbangsih pemikiran dan konsep tentang format kurikulum yang ideal dalam pendidikan Islam yang  bisa diterima oleh public.   






Pengertian kurikulum pendidikan Islam yang ideal
Pengertian  kurikulum pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu pola atau format dengan segala hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam yang harus didesain sedemikian rupa guna menghasilkan generasi muslim yang tidak diragukan lagi terutama dalam bidang  karakter.   
Dalam bahasa arab, kata kurikulum dapat diterjemahkan dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang, atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan. Dikutip oleh  Jalaludin dalam (Toumy al-Syaibany, 478) 
Sacara etimologis, kurikulum berasal dari bahasa yunani yaitu “curir” yang berarti pelari dan “curer” yang berarti tempat terpacu. Jadi istilah kurikulum berasal dari bidang olahraga  di Yunani, yang mengandung  pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis strart sampai garis finish. Jalaludin mengutip dari (Sudirman, 1987:9).
Aly dalam A. Beane. (1991, hal. 28-29) mengemukakan  dalam karyanya curriculum Planning and Development, menyimpulkan adanya empat kategori pengertian kurikulum, yaitu: (1) kurikulum sebagai produk (curriculum as product), (2) kurikulum sebagai program (curriculumas a program), (3) kurikulum sebagai program (curriculum as intended learnings), dan (4) kurikulum sebagai pengalaman peserta didik (curriculum as the experiences of the learner).

Sedangkan  Sanjaya (2011, hal. 9) mendefensikan kurikulum sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasinya dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata.

Definisi  yang populer terkait kurikulum adalah “ the curriculum of a school is all the experiences that pupils have under the guidance of the school”  yaitu segala pengalaman anak disekolah dibawah bimbingan sekolah. (Nasution, 2003. hal. 10). Secara terminologis, kurikululum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau sejumlah pengetahuan yang haurs dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah. Dikutip oleh Jalaludin dalam (Zuhairini, 1983, hal.58)
Esensinya kurikulum memiliki pengertian yang sangat luas dan universal dan tidak terbatas pada lingkaran pengertian olahraga “Yunani” saja. Dan ini salah satu menu dalam menunjang pola pikir  yang menimbulkan makna kerdil dalam pendekatan Islam (Alqur’an dan Hadits) dalam memaknai kurikulum secara lughat.
          Kurikulum  pada hakekatnya juga merupakan  perencanaan bahan-bahan materi ajar baik dari isi materi dan pengalaman anak didik serta produk yang disediakan sebagai acuan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi pembelajaran. Dan pada substansinya, format kurikulum pendidikan Islam merupakan suatu pola yang merencanakan tujuan, bahan, metode, isi dan evaluasinya dalam mencapai tujuan pendidikan Islam, yakni insan kamil yang berakhlak, berwawasan dan bertaqwa kepada Allah swt yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Pendidikan Islam yang ideal
Pendidikan merupakan suatu proses yang komprehensif  yang berupaya mempersiapkan diri  dengan segala yang dimilikinya menuju kabaikan dan ketaqwaan kepada Allah swt.  
Adapun pendidikan Islam, menurut al-Qardhawi adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karenanya pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya (al-Qardawi, 1980, hal. 39)
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan kemampuan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal dan memetik hasilnya kelak di akhirat (Langgulung, 1980, hal. 6)
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruhnya potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun rohaniyah, menumbuh suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah, manusia dan alam semesta. (Daulay, 2009 hlm. 6).
Pendidikan juga merupakan sebuah proses transformasi ilmu pengetahuan mulai dari tingkat dasar sampai menuju tingkat selanjutnya yang lebih tinggi. (Gunawan, 2012 hlm. 198). 
Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai-nilai Islami yang akan menjadi penolong dan penentu umat Islam dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat Islam secara utuh. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proses-proses pemberdayaannya. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Pendidikan juga merupakan sebuah proses tranformasi ilmu dalam upaya mempersiapkan manusia untuk kehidupan dengan sempurna baik dalam pengetahuan, sikap, mental serta dapat melakukan hubungan harmonis kepada sesama manusia dan Allah swt juga alam semesta.
Islam telah menetapkan suatu metode sempurna dan mencakup berbagai aspek pada diri manusia, sekiranya metode itu diterapkan benar, pasti terlahir pad masyarakat Islam seorag musim manusia yang sempurna “Insan Kamil” dan lurus. Yang mempu mewujudkan tujuan dalam pendidikan dalam Islam (Musthafa, 2009: 19).

Disisilain, pendidikan Islam selalu mengajarkkan untuk mempersiapkan anak yang sholeh. Bukan sebatas cerdas, berwawasan maupun pandai saja. Islam telah menggariskan beberapa aspek kepribadian bagi seorang muslim. Karena itu al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat kaum muslimin yang disebut dengan “Ibaadurrahman”  (Hamba-hamba Arrahman). Mereka adalah orang-orang yang menggambarkan pribadi muslim yang tulus dalam kehidupan nyata di dunia ini. Allah swt berfirman,
وعباد ارحمن الذين  يمشؤن على الارض  هونا واذا خاطبهم الجهلون قالوا سلما                             
Artinya : Dan hamba-hamba Tuhan yang maha penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan  kata-kata (yang mengandung)  keselamatan.  (Q.S. Al-Furqan: 63). 
Islam telah mengatur seluruh hidup manusia muslim, Islam telah menentukan kapan seorang muslim harus tidur, bangun, shalat malam, bekerja, beinfaq dan berjihad. Islam telah menetapkan pola hidup yang lengkap bagi pemeluknya. Sehingga apabila seseorang itu memahaminya pola hidup ini dan realitanya.
Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh DR. Adnan Ali Ridha An-Nahrawi yang dikutip oleh Syekh ahmad farid (2012:499) mengemukakan bahwa sebaiknya seorang muslim tidak melakukan aktfitas hariannya sebelum membuat rencana harian. Rencana harian ini dimulai dengan shalat shubuh dimasjid, kemudian membaca do’a-do’a yang mu’tsar, kemudian melakukan apa yang telah tercatat di dalam kurikulum pribadinya, serta melakukan pekerjaan-pekerjaan dan tugas-tugas rumah tangga dan agamanya.     

Sedangkan ideal menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia  (KBBI) itu sendiri adalah  sangat sesuai dengan yangg dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki.
Dimaksudkan pendidikan Islam yang ideal disini merupakan sebua proses
              Dengan demikian, pendidikan Islam yang ideal merupakan suatu upaya mewariskan sekaligus mentransformasikan nilai-nilai Islami yang akan menjadi penolong dan penentu umat Islam dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat Islam secara komprehensif yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.

Kurikulum  Perspektif Al-qur’an dan Al-Hadits
Dasar pendidikan Islam adalah identik dengan dasar ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
Jika dasar dasar pendidikan Islam dikembangkan oleh pemahaman ulama dalam bentuk qiyas syar’i, ijma’ yang di akui, ijtihad dan tafsir yang benar-benar dalam bentuk pemikiran yang menyeluruh dan terpadu tentang jagad raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan, kemanusiaan dan akhlaq dengan merujuk kedua sumber asal, yakni A-Qur’an dan Hadits sebagai sumber rujukkan utamanya.  Dikutip oleh Jalaludin dalam (Mohammad Omar al-Thoumy al-Syaibani, 1979, hal.36)

Dimaksudkan bahwa menempatkan alqur’an dan hadits sebagai dasar pemikiran dalam membina sistem pendidikan, bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keyakinan semata. Lebih dari itu kebenaran dimaksud juga sejalan dengan kebenaran yang dapat diterima oleh nalar (rasio) dan bukti-bukti sejarah . menurut Jalaludin (2011, hal,74), mengemukakan, apabila pemikiran-pemikiran ini difokuskan pada masalah yang berhubungan dengan hakekat pendidikan, maka pemikiran seperti itu disebut sebagai pemikiran filosofis.
Dalam perspektif ini, kurikulum dipahami dengan sangat universal dan fleksibel, baik pada tujuan, metode, isi maupun evaluasinya. Pertama,  Tujuan kurikulum itu sendiri juga tidak terlepas dari substansi pendidikan Islam yang berasaskan Al-qur’an dan Al-Hadits,  sesuai tujuanya, kurikulum pendidikan Islam harus sesuai dengan Al-Qur’an, Allah swt menciptakan manusia tujuannya untuk menjadi khalifah yang bertugas memakmurkan bumi dan menebarkan keamanan , keadilan, serta kesejahteraan di dalamnya.
Allah swt berfirman:
واذ قال ربك للملئكة انى جا عل  فى الارض خليفة
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalaifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah; 30).
Untuk itu, yang menjadi dasar pendidikan dasar Islam adalah hubungan yang terus berkelanjut antara seorang muslim dengan Allah. Dengan demikian, seorang muslim sudah berjalan sesuai dengan peraturan dari Allah SWT. Alqur’an dan Hadits dijadikan sebagai satu-satunya dasar utama dalam mendesain sistem kurikulum pendidikan Islam, dan hal ini  masih tabu dan dilihat sebelah mata oleh penemuan-penemuan dari kaum menuju kegelapan “Eropa”.  
Kaitanya dengan  pendidikan karakter, Allah SWT  juga berfirman,
وانك لعلى خلق عظيم
Artinya : “ Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam, 4).
Selain itu, Rasulullah saw juga bersabda,
بعثت لاتمم مكارم الا خلاق  
Artinya : “ Saya diutus untuk menyempurnakan Akhlaq” (HR. Al-Bukhari).
Diriwayat lain, Rasulullah saw juga bersabda,
ان لله كتب الاحسا ن على كل شىئ
Artinya: “Sesungguhnya  Allah swt memerintahkan bebuat baik dalam segala hal”.
Sesuai kacamata kurikulum, sangatlah jelas bahwa al-Qur’an dan al-Hadits seirama dalam maksud dan tujuannya, yakni dalam bidang akhlaq. “Karakter”. Dengan demikian kurikulum pendidikan Islam sudah  seyogyanya focus pada pembentukan karakter mulia, bukan sebatas  pada penguasaan kompetensi.
Kedua, pada metode, metode, salah satu bentuk metode yang dianjurkan dalam al-Qur’an adalah dengan metode Uswah.

Menurut Musthafa (2010, hal.22) mengemukakan pendidikan akhlaq merupakan tanggung jawab para bapak, ibu, bapak dan ibu guru. Agar pendidikan akhlaq memberikan buah yang baik, hendaknya seorang anak mendapati dalam rumah dan sekolahnya, seorang Qudwah Hasanah,  (Panutan yang baik). Yang bisa dijadikannya panutan dan teladan dalam hidupnya.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an,
لقد كان لكم فى رسول لله اسوة حسنة
Artinya : “ Sungguh telah ada bagi kamu diri Rasulullah itu suri teladan yang baik. ( Al-ahzab:21).
Rasulullah saw  juga bersabda,
يا ايها انا س ا نى صنعت هذا لتا تموا بى ولتعموا صلا تى
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya aku melakukan hal ini agar kamu mengikutiku, dan agar kamu belajar dari shalatku”.
Disisilain, metode yang sering  digunak oleh pendidik yakni dengan metode ceramah,
Dalam hal ini Allah SWT juga sudah menegaskan dalam firmannya ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian menyampaikan amanat kepada yang berhak meneriman. Dan (menyuruh kamu sekalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa’:58).   

Dengan demikian, hakekatnya kurikulum pendidikan Islam itu sudah dijabarkan dengan jelas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.  Sudah seyognya pendidikan Islam di Indonesia  mengevaluasi dan memformulasi kembali substansi kurikulum itu sendiri, baik pada tujuan, metode, bahan dan evaluasinya disesuaikan dengan tujuan al-Qur’an dan al-Hadits.
Refleksi problematika kurikulum pendidikan Islam dan karakter bangsa sekarang
Perubahan Kurikulum: antara politik, pendidikan dan dampaknya
            Sudah beberapa kali Indonesia dihadapkan dengan tahapan-tahapan yang bisa dikatakan kurang fkeksibel dengan keadaannya sendiri, hal ini dapat dilihat seberapa besar pemerintah mampu mempertimbangkan asas-asas dalam menmbuat kurikulum.
Menurut W.F. Connell dalam bukunya The Foundation of education” Asas-asas pendidikan” yang diterjemahkan oleh (Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia Kuala Lumpur, 1981, hal. 197),  mengemukakan bahwa   Guru semakin banyak yang mengambil bahagian di dalam membuat kurikulum. Pertimbangan asas di dalam membuat kurikulum, sama ada perancangan menyeluruh, perancangan kursus atau perancangan semasa kursus sedang berjalan memerlukan pengetahuan prosesnya.

Hal tersebut juga diperjelas oleh Connell dengan empat peringkat yang berhubungan merupakan satu proses yang baik definisinya dalam membuat kurikulum, peringkat ini antaralain: (1) Pemilihan tujuan, (2) Pemilihan Isi, (3), Penyusunan Isi, (4), Penilaian.
Rajah 2
(Peringkat yang bekaitan dalam membuat kurikulum oleh W.F. Connell)


 








(W.F. Connell, 1981, hal.187)

Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa setiap kuriulum  mempunyai tujuan, sama dengan  jelas atau hanya dimaksudkan melalui pemilihan, organisasi serta melalui pemilihan bahan yang diberikannya.
Disisilain, jika dikembalikan pada perspektif al-Qur’an dan al-Hadits, maka kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menentukan perubahan kurikulum juga perlu di teliti kembali, Sesuai dengan firman Allah SWT,
يا ايها الذين امنوا لا تقد موا بين يدى الله ورسو له  
Artinya; “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya. ( QS. Al-Hujarat: 1).
Dimaksudkan bahwa, setiap manusia harus memulai dengan syari’at kemudian menunndukkan akal mereka kepadanya. Manusia harus mendahulukan riwayat daripada nalar, mengedepankan dalil syar’i dari pada dalil aqli. Dan perlu diyakni juga bahwa dalil syar’i pasti tidak bertentangan dengan akal yang sharih.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Syekh Ahmad Faridh (2012, hal. 139) menjelaskan bahwa sesuai kisah Ali bin Abi Thalib ra, pernah mengatakan: “ Sekiranya agama ini didasarkan pada nalar, tentu bagian bawah khuf (sepatu boot) lebih pantas disapu daripada bagian atasnya.
Hakekatnya, apapun yang kita lakukan termasuk merubah kurikulum lebih tepat untuk menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai pedoman dan sumber utama. Bukan kepentingan dan kualitas nalar yang didahulukan. Ini yang menjadi persoalan penting dalam menyelesaikan problematika karakter bangsa di Indonesia.
Proyek,  Reputasi dan kebijakan sepihak
            Sangat menarik jika membahas apa yang saya dapat dan bagaimana nama saya sebagai seorang pejabat, hal ini secara konstektual tersirat bahwa realitas menjadi sejarah benak bangsa. Terbukti dengan setiap pergantian presiden, pergantian menteri, kurikulum secara otomatis juga dirubah sedemikan rupa, dengan segala konsekuensi dan beberapa argumen, pendapat serta alasan-alasan yang di anggap logis sehingga hal tersebut mau tidak mau harus diterima oleh public, terutama pendidik, peserta didik serta orang tua. Dengan fenomena yang demikian, keterlibatan politik sangat kuat, sehingga menimbulkan prinsip dan peran kepentingan lebih tinggi dibanding  menjaga idealisme bangsa. Hal ini terjadi karena sebuah sistem yang sudah membentuknya, sistem politik yang kurang sehat, bukan sejauhmana politik memberikan kontribusi terhadap pendidikan, melainkan apa yang bisa dilakukan melalui pendidikan terhadap eksistensi kepentingan. Kebijakan yang dikeluaran pun juga sudah tentu sepihak, karena sudah mengutamakan kepentingan akal daripada berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.  
Menurut Syafaruddin, (2008, hal..63), mengemukakan bahwa walaupun politik muncul dari sifat dasar keadaan manusia, namun kajian politik adalah lebih dari sekedar memandang masalah tindakan seseorang. Berawal dari persamaan tujuan, kemudian dari kesamaan tersebut timbullah kebijakan kelompok atau kepentingan kelompok.
            Dengan demikian, politik dan pendidikan sangat era hubungannya walaupun masih sulit dipertemukan dengan beberapa asas dan prinsip, sehingga mengakibatkan banyak benturan-benturan kebijakan yang berdampak negatif lebih banyak ketimbang positif, dalam hal perubahan kurikulum.
Hal ini menjadi PR besar bagi bangsa untuk meminmalisir permasalahan-permasalahan pemerintah hari ini dengan upaya-upaya penelitian yang serius dalam memberikan kontribusi positif demi kemajuan bangsa dan tanah air, Indonesia.  

Emansipasi kualitas pendidikan 
Disisilain, Indonesia harus segera berbenah dala bidag pendidikan, salah satunya adalah dengan  merubah kurikulumnya yang sesuai dengan konsep dan saran dari beberapa negara yang lain,
Dijelaskan oleh media: Metrotvnews.com, Jakarta: Potret pendidikan tanah air saat ini gawat darurat, karena data Kemendikbud mencatat bahwa pendidikan di Indonesia menunjukan hasil buruk. Hal tersebut diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, dalam acara Silaturahmi serta Sosialisasi Program Prioritas Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Kerja di Plaza Insan Pendidikan Berprestasi, Gedung Kemendikbud, Senayan, Jakarta, Senin (1/12/14). 
"Kapasitas kita berinovasi menempati peringkat 30 dari 142 negara. Tingkat upah dan produktifitas, menempatkan kita di peringkat 28. "Sedangkan dalam pemetaan di bidang pendidikan tinggi, Indonesia berada di peringkat 49 dari 50 negara yang diteliti," jelas Anies. Menurut lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), tren kinerja pendidikan Indonesia pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, cenderung stagnan. Sehingga menempatkan pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64 dari 65 negara. Sedangkan minat membaca di Indonesia hanya 0,001 persen menurut data UNESCO pada 2012. Dalam kesempatan tersebut, Anis Baswedan juga memberikan penjelasan tentang bagaimana meningkatkan mutu pendidikan berkualitas. Acara dihadiri sekitar 650 Kepala Dinas, eselon I dan II Kemendikbud, serta dan dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jendral Ainum Naim.

Disisilain, menjadi motivasi besar juga untuk indonesia, dengan kemajuan kurikulum pendidikan di Finlandia sebagai negara terbaik sistem dan kurikulumnya, sesuai dengan  informasi yang dari internet bahwa,
Salah satu prinsip kurikulum di Finlandia adalah Non-discrimination and equal treatment yang berarti tidak ada diskriminasi dan mendapat perlakuan yang sama. di Finlandia semua anak punya hak sama dalam pendidikan, tidak dibedakan antara si kaya dan si miskin dan semua sekolah tidak dibedakan baik itu sekolah favorit atau tidak. Jadi siswa bisa masuk ke sekolah mana saja karena semua sekolah sama. hal lain yang membuat sistem pendidikan di Finlandia berbeda adalah karena tidak ada assessment atau penilaian. siswa-siswa di Finlandia dibimbing untuk memiliki hak yang sama ketika belajar, maka tidak heran jika di dalam kelas mereka memiliki minimal dua guru untuk mengajar, 1 bertindak sebagai guru utama dan 1-nya sebagai asisten. di sisi lain berdasarkan hak dasar warga Finlandia, prinsip Receive understanding and have their say in accordance with their age and maturity yaitu menerima pemahaman dan pendapat sesuai umur dan kedewasaan. Jadi mereka memiliki hak mendapatkan ilmu sesuai umur mereka tanpa diskriminasi. mereka juga mendapatakan dukungan spesial jika dibutuhkan seperti anak cacat dan anak-anak yang membutuhkan waktu ektra akan memiliki kelas tambahan untuk diajarkan secara khusus agar mereka mendapatkan hal yang sama seperti anak lainnya. (http://www.salamedukasi.com/2014/11/finlandia-kurikulum-dengan-kualitas.html, diakses pada kamis, 08 Oktober 2015, pukul 23.30 wib) 

Dengan  ketertinggalan tersebut, Indonesia gagap melihat realitas, walaupun dalam pendidikan tingkat nasional sudah banyak yang terakreditasi A secara lembaga dan tekstualnya, akan tetapi sesuai dengan penilaian UNESCO terutama dalam minat baca, bahwa Indonesia masih dalam standar buruk, hanya 0.01 persen. Perlu sistem dan  desain kurikulum yang serius dan substansial untuk menyelesaikan problem itu, sehingga kebijakan pemerintah salah satunya dengan mengadakan studi banding pada beberapa negara-negara yang sudah maju sehingga dapat menularkan konsep dan sistemnya di Indonesia, hal ini yang yang menjadi salah satu tuntutan pemeritah merubah kurikulum guna mencapai pendidikan yang lebih baik. Akan tetapi, usaha tersebut sering menjadikan subtansi al-Qur’an dan as-Sunnah itu sebagai dan sebatas hukum yang perlu diketahui dan bukan dijadikan pedoman dalam kehidupan yang lebih komprehensif, terutama dalam penyusunan kurikulum.

Peran kurikulum dalam membangun karakter bangsa, sejauhmana?
Jika di analisis dengan beberapa pendekatan, baik sumber dasar hukum dan realitasnya,  setidaknya ada tiga peran kurikulum dalam membangun kakter bangsa yang masih menjadi tugas bagi praktisi pendidikan,


 





(analisa penyusun)
Dari bagan di atas, dapat dijabarkan bahwa, pertama, kurikulum itu memberikan kontribusi sebatas pemahan saja, belum sampai penanaman karakter, kemudian melakukan kebiasaan secara kontinue dengan hal-hal yang lebih masalahah, hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Cholidi, MA pada pertemua ke-dua yang lalu, bahwa banyak generasi bangsa yang tandas dalam demoralisasi karena siswa masih sebatas pengetahuan saja, belum sampai pada pemahaman secara komprehensif, baik deskripsi, makna dan filosofisnya. “Fahamkan dulu tentang Islam pada siswa dengan komprehensif”
Kemudian yang kedua, sistem yang dibangun oleh pemerintah masih relatif, hal ini dilakukan pasti juga memiliki landasan yang kuat, akan tetapi, dengan keterbatasan sistem ini, baik waktu, sarana dan materi. Sehingga dengan waktu yang terbatas, dimaksudkan tidak sampai dua puluh empat jam, maka upaya dan pendampingan seorang pendidik juga berkurang dan kurang maksimal. Dengan beberapa landasan yang memang masih bisa diterima secara rasional.
Ketiga, Indonesia dengan beragam budaya, masih juga lebih suka meniru dan mengikuti pola-pola kurikulum yang dianggap lebih tepat diterapkan di Indonesia, dan  sebuah kopsulat pemerintah yang harus di dampingi untuk tidak terlalu larut dalam dunia eropa atau barat.
Secar filosofis, sesuai yang dipaparkan oleh Prof. Dr. H. Jalaludin, pada pertemuan pertama yang lalu, bahwa bangsa ini masih suka iklim yang redup, hampir petang, padahal Indonesia sendiri pada iklim yang sejuk dan sehat, karena matahari terbit selalu dari timur dan pulang ke barat, “Timur vs Barat” . 
Menjadi pelajaran penting  dan harus dilakukan secara berlahan-lahan dan dimulai dari sekarang untuk mengubah pola pikir bangsa untuk tidak terlalu terikat dengan barat atau eropa yang dalam keilmuanya juga masih tanda petik (“) kemurniannya, secara historis.

Format kurikulum alternatif pendidikan Islam ideal yang dapat menyelesaikan problematika karakter bangsa
format dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Format adalah bentuk, pola dan ukuran (buku, surat kabar, dsb).  Sedangkan alternatif adalah  pilihan diantara dua atau beberapa kemungkinan, (KBBI). Sehingga dapat dideskripsikan bahwa format kurikulum pendidikan ideal yang dapat menyelesaikan problematika karakter bangsa adalah sebagai berikut: 

Kurikulum yang sehat dan berkarakter
            Kurikulum yang sehat dan berkakter merupakan sebuah kurikulum yang memiliki tujuan, metode, isi dan evaluasinya bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Sesuai firman Allah swt, 
واذ قال ربك للملئكة انى جا عل  فى الارض خليفة
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalaifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah; 30).
Selain itu, Rasulullah saw juga bersabda,
بعثت لاتمم مكارم الا خلاق  
Artinya : “ Saya diutus untuk menyempurnakan Akhlaq” (HR. Al-Bukhari).
Untuk itu, kurikulum yang sehat dan berkakarter lebih diasumsikan bahwa  adanya upaya untuk memberdayakan potensi sumber daya timur atau indonesia sendiri dalam hal substansi maupun sumber dasarnya yang masih tetap memprioritaskan pendidikan karakter dan tidak terlalu terpaku dan mengikuti pola-pola yang di bangun oleh ilmuan eropa, “kembali pada Rasulullah saw”    
Pola kurikulum  sehat dan berkarakter,


 



Text Box: Pendidikan 
Karakter 
Oval: Al-Qur’an
&
Al-Hadits
                                         


 






Berbasis Pesantren
Keseluruhan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang pada saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang. (Dhofier, 2011 hlm. 41).
Hal ini juga dikemukakan oleh  Madjid (1997, hlm. 03) bahwa  Pesantren juga merupakan suatu lembaga pendidikan agama Islam tradisional yang telah mengembangkan dan ikut serta berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga saat sekarang ini. Pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan Nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indoneisa (Indegenous).       

            Dengan pernyataan demikian, maka pesantren merupakan suatu lembaga tradisional yang lahir dari beberapa tokoh sebagai wujud kekayaan budaya Indonesia yang tidak hanya identik dengan makna ke-agamaan atau ke-Islaman melainkan juga mengandung nilai-nilai keaslian Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan bayaksnya pesantren di tanah air yang belum tentu didapatkan model pendidikan ini di Negara-negara lain.
Kata pondok diambil dari bahasa arab funduk yang berarti ruang tidur, wisma, dan atau hotel sederhana. Dalam pengertian ini pondok merupakan asrama bagi santri yang menjadi cirikhas pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan Islam tradisional lainnya-seperti masjid, surau dan atau langgar. (Aly, 2011. hlm.159-160).
          Dari segi fisik pesantren merupakan sebuah kompleks pendidikan yang terdiri dari susunan bangunan yang dilengkapi dengan sarana prasarana yang mendukung penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan secara kultural pesantren mencakup pengertian yang lebih luas mulai dari sistem nilai khas yang secara intrinsik melekat di dalam pola kehidupan komunitas santri, seperti kepatuhan pada kyai sebagai tokoh sentral, sikap ikhlas dan tawādlu’, serta tradisi keagamaan yang diwariskan secara turun-temurun. Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermayarakat sehari-sehari.
Sedangkan menurut dhofier (2011, hlm. 41) perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri.    
Ziemek (1986, hlm. 16) juga mendifiniskan bahwa pesantren secara etimologis asalnya pe-santri-an, berarti “tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (Kyai) dan oleh para guru (‘ulāma’ atau ustāz). Pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.
Disisi lain, Dalam memahami gejala modernitas yang kian dinamis, pesantren di istilahkan oleh Gusdur “sub kultur” memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial. (Haedari, 2005. hlm. 76).
Terlepas dari asal-usul kata itu berasal dari mana, yang jelas ciri umum  keseluruhan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang pada saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang. Bahkan pada saat memasuki millennium ketiga ini menjadi salah satu penyangga yang sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia.  (Dhofier, 2011 hlm. 41).

          Dengan demikian Pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang lahir dari potensi intern dalam mewujudkan pendidikan yang dinamis dan efektif sesuai dengan pengalaman dan ilmu yang diperoleh dengan latar belakang masing-masing yang memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan agama Islam dan perubahan rekayasa sosial. Pondok pesantren dapat dijadikan sebagai sumber penanaman akhlak pada santri sehin serta menjunjung tinggi nilai-nilai Tafaqquh fiddīn.  Hal tersebut menjadi prioritas utama bagi orang tua khususunya dan masyarakat umunya dalam ikut serta mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, yakni menjadi manusia yang berbudi luhur.
          Kurikulum merupakan salah satu komponen utama dalam pondok pesantren yang tidak dapat ditinggalkan. Kurikulum dalam pesantren salaf dan sebagian pesantren khalaf sangat dominan dengan pembelajaran kitab klasik dengan tujuan untuk mendidik calon-calon ulama’.
Dhofier (2011, hal. 87) mengemukakan bahwa dalam pesantren terdapat kitab-kitab klasik yang diajarkan, antaralain; (a) Nahwu (Syntax) dan sharaf (morfologi), (b) fiqih, (c), Usul Fiqh, (d) Hadits, (e) Tafsir, (f) Tauhid, (g) Tasawuf dan etika, (h) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balāghah.
Sedangkan Madjid (1997. hal. 8) mengemukakan bahwa para lulusan atau produk pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut; (a) Nahwu-sharaf (b) Fiqh, (c), ‘Aqaid, (d) Tasawuf, (e) Tafsir, (f) Hadits, (g) Bahasa Arab, (h) Fundamentalisme.
Zainuddin dan Tuwah dalam Depag RI (2001, hal. 31-70) telah mengklasifikasikan kurikulum pondok pesantren dengan beberapa materi antaralain; (a) Aqidah/ Tauhid, (b) Tajwid, (c), Akhlaq/ Tasawuf, (d) Bahasa Arab (Nahwu-Sharaf), (e) Fiqh, (f), Ushul Fiqh, (g) Al-Qur’an (Tafsir), (h) Ilmu Tafsir, (i) Hadits, (j) Ilmu Hadits, (k) Tarikh ( Sejarah Islam).

          Dari beberapa pendapat di atas, kurikulum pesantren merupakan kumpulan bahan-bahan pelajaran yang  disediakan kepada seluruh santri guna mencapai visi dan misi pesantren dengan tetap menyesuaikan kebutuhan dan kondisi masing-masing yang lebih fleksibel dan komprehensif. Penyesuaian kondisi ini dilakukan karena pesantren memiliki otonomi dalam menentukan kurikulum yang  akan diterapkan.
          Dengan demikian, kurikulum pesantren di Indonesia semestinya mengimplementasikan jenis kurikulum yang telah ditentukan oleh Kementerian Agama dengan  tetap menyesuaikan kebutuhan dan kondisi masing-masing pesantren. Sehingga dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Agama menjadi salah satu upaya pemersatu dan eksistensi pesantren guna memberikan kontribusi pada bangsa dan agama dengan tetap memprioritaskan nilai-nilai keagamaan dan akhlak al karīmah.
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami,menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddīn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.         (Mastuhu,1989 hlm.14). 
Uraian pola manajemen kurikulum pesantren

Uraian
Komponen
Sub Komponen
Indikator
Kurikulum berbasis pesantren
Perencanaan kurikulum
Dasar pengembangan kurikulum
Visi dan misi
Falsafah pesantren
Perencanaan Program Pendidikan dan kurikulum
Program kurikulum
Program pendidikan
Nilai-nilai pesantren  dalam perencanaan kurikulum
Etika santri
Implementasi kurikulum
Materi ajar pesantren
Mata pelajaran diniyah/ pesantren
Ekstrakurikuler
Metode
Sorogan
Bandongan
Muhadatsah
Batsul masa’il/ diskusi
Hafalan
Nilai-nilai pesantren  dalam implementasi kurikulum
Etika santri/siswa
Tempat pembelajaran
Kelas / klasikal
Dalem Kiai
Muhsola/ masjid
Lapangan/ di luar kelas
Bahan pembelajaran
Kitab
Penghapus, Spidol, Papan Tulis
Media Pembelajaran
Internet,
LCD, Alam.
Evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum
Strategi pembelajaran
Sarana dan prasarana
Nilai-nilai pesantren dalam evaluasi kurikulum
Kemandirian
Tanggung jawab
Inovatif


(Analisa Penyusun)

Dimaksudkan bahwa adanya penanaman moral dan penguasaan dasar-dasar ilmu agama pada anak merupakan hal yang paling mendasar bagi pesantren.  Sesuai dengan dikemukakan Wahid (2007, hlm. 183) bahwa prinsip yang digunakan dalam pembenahan dan pengembangan pesantren adalah diktum yang sudah lama dikenal kalangan pesantren sendiri yaitu memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik, (al-muhāfadlatu ala al-qodhīmi ash shālih ma’a al akhzu bī al jadīdi al ashlāh).
Dengan demikian, kurikulum berbasis pesantren ini sangat tepat diterapkan pada lembaga-lembaga non pesantren dengan mereduksi  kurikulumnya mengacu pada penanaman nilai-nilai kepesantrenan “ karakter” yang bisa dijaidkan uswah bagi generasi mendatang.




Kurikulum Terintegratif
Kurikum yang lebih fleksibel dan tidak mengikat baik pada lembaga, pendidik, maupun peserta didik, dengan upaya integrasi nilai-nilai akademik baik umum dan agama, ini menjadi suatu formula baru dalam membangunkarakter bangsa yang rendah hati dan mampu menjadi pemimpin dimuka bumi ini sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Kartanegara (2005, hal. 72) mengemukakan bahwa konsekuensi integrasi objek-objek ilmu adalah adanya integrasi bidang-bidang, atau ada yang menyebutnya disiplin-disiplin ilmu.
Teori Integrated Curriculum  (Kurikulum Terpadu) dari  Nasution adalah  “ mengintregasikan bahan pelajaran dari berbagai mata pelajaran”. 
Integrasi dalam pandangan tauhid menurut kartanegara (2005, hal. 31) bahwa terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam upaya integrasi ilmu yang mencakup beberapa aspek antaralain, landasan atau basis integrasi ilmu, integrasi objek dan sumber ilmu, integrasi bidang ilmu, seperti fisika, matematika dan metafisika, integrasi metode dan penjelasan ilmiah serta integrasi ilmu-ilmu praktis dan teoritis. 
Definisi di atas setidaknya memberikan penjelasan bahwa integrasi merupakan upaya memusatkan bahan-bahan dari segala disiplin ilmu dan beberapa aspek guna menyelesaikan masalah tertentu dengan lebih praktis dan teoritis. Sehingga dengan integrasi kurikulum yang ada pada pesanren salaf dan khalaf merupakan langkah-langkah yang sangat baik dan perlu dikaji lebih dalam sejauh mana upaya-upayanya dalam mendidik santri-santrinya guna menjadi santri yang berwawasan dan berakhlak.




Pola  Kurikulum  Terintegratif


 









(Analisa Penyusun)
Pola di atas memiliki substansi bahwa adanya konsep integrasi kurikulum antara ilmu agama dan umum, kemudian di integrasikan menjadi satu konsep baru yang disesuaikan dengan tujuan,bahan, metode dan evaluasi kurikulumnya, sehingga dengan pola yang lebih kompleks tersebut menghasilkan kemampuan afektif, psikomotorik dan kognitif yang tetap bersumber pada alqur’an dan al-hadits.







Kesimpulan
          Kurikulum pendidikan Islam yang ideal merupakan suatu pola yang merencanakan tujuan, bahan, metode, isi dan evaluasinya dalam mencapai tujuan pendidikan Islam, yakni insan kamil yang berakhlak, berwawasan dan bertaqwa kepada Allah swt yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Problematika kurikulum dan karakter bangsa sangat erat kaitanya keterlibatan politik secara kontekstual, bukan sejauhmana politik memberikan kontribusi terhadap pendidikan, melainkan apa yang bisa dilakukan melalui pendidikan terhadap eksistensi kepentingan kelompok, dan kebijakan yang dikeluaran pun juga sudah tentu sepihak, karena sudah mengutamakan kepentingan akal daripada berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. 
Format kurikulum alternatif pendidikan Islam ideal yang dapat menyelesaikan problematika karakter bangsa setidaknya terdapat tiga alternatif, yakni Kurikulum yang sehat dan berkarakter, kurikulum berbasis pesantren, dan kurikulum terintegratif yang kesemuanya itu tetap bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits baik dalam  tujuan, metode, isi dan evaluasinya.













REFERENSI
 



Aly, Abdullah. 2011. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
-------------------. 1999. Kapita Selekta Islam. CV. Pustaka Setia, Bandung.
Al-Qarany, Aidh Abdullah. 2007. Islam Rahmatan Lil Alamin. Cakrawala, Jakarta.
AlQardhawi,Yusuf., 1980, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami A.Gani, Bulan Bintang. Jakarta.

Connell, W.F, 1981. Asas Pendidikan. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia Kuala Lumpur.

Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta.

-----------------------------.2012. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Departeman Agama RI. 1971. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an. Jakarta.

-----------------------------. 2002. Metodologi Pembelajaran di Salafiyah. Departemen Agama RI, Jakarta.
Direktorat Pendidikan Madrasah Departemen Agama RI. 2007. Model Kurikulum Tngkat Satuan Pendidikan (KTSP). Departemen Agama, Jakarta.

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. LP3ES, Jakarta .

Drake. Susan M. 2013. Menciptakan Kurikulum Terintegrasi yang Berbasis Standar. Seri Kurikulum Inti. Jakarta: PT. Indeks.  

Fananie, Zainuddin. 1934. Pedoman Pendidikan Modern. PT. Arya Surya Perdana. Jakarta.

Farid, Syaikh Ahmad. 2012. Pendidikan Berbasis Metode “Ahlussunnah waljama’ah” Pustaka Elba, Bandung.

Haedari et. al. 2006. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global. IRD Press. Jakarta.

Jalaludin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Kalam Mulia, Jakarta.

Jalaluddin, 2001, Teologi Pendidikan , Jakarta: Rajawali Press.

Kartanegara, Mulyadhi. 2005. Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik. PT. Arasy
Mizan. Bandung.

Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Dian Rakyat, Jakarta.

Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.

Mastukki. 2004. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren (Suatu Konsep Pengembangan Madrasah). DEPAG RI : Jakarta.

Mangun Suwito, 2011. Kamus Saku Ilmiah Populer. Widyatamma Presindo, Jakarta.

Mayhud dan Khusnurdilo, 2004. Manajemen Pondok Pesantren. Diva Pustaka, Jakarta.

Mulayasa, E. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi”Konsep, Karakteristik dan Implementasi. PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

-----------------. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. PT.Remaja Rosda Karya, Bandung.

Musthafa, Syaikh Fuhaim. 2010. Kurikulum Pendidikan Anak Muslim. Pustaka Elba, Surabaya

Nata, Abudin, 2001. Tokoh-Tokoh Pemikir Pendidikan Agama Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

-----------------, 2003. Manajemen Pendidikan (mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Prenada Media, Jakarta.

-----------------, 2011. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

------------------, 2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nawawi, Haedari. Adminstrasi Pendidikan. 1983. PT. Gunung Agung, Jakarta.

Nuh dan Bakry. 2004. Kamus Indonesia-Arab-Inggris. PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Sanjaya, Wina. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran “Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Ssatuan Pendidikan (KTSP)”. Prenada Media Group, Jakarta.

Solichin, Muhammad Muchlis. 201. “Kebertahanan Pesantren Salaf ditengah arus modernisasi pendidikan: Fenoma PondokPesantren Al-Isaf kalabaan, Guluk-guluk,sumenep”. Disertasi pada Program Pasca Sarjana(PPS) Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.  

Syafaruddin, 2008. Efektfitas Kebijakan Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. 

Zainuddin, Hendra. 2007. Sewindu Forpress “Geliat Pesantren di Sumatera Selatan. Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan(Forpress), Palembang.

------------------------. 2012. Paradigma Baru Pesantren Masa Depan. Aulia Cendikia Press.  Yogyakarta.

Ziemek, Manfred. 1983. Pesantren dalam Perubahan Sosial. (diterjemahkan oleh Butche B. Soendjojo. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.




Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...