Halaman

Minggu, 29 Juli 2018

KONSEP MOTIF IMBANG DALAM PEMBELAJARAN


KONSEP MOTIF IMBANG DALAM PEMBELAJARAN
 (Tela’ah Nilai-Nilai Motivasi Belajar dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1)




Oleh : Darul Abror, M.Pd.I
Dosen STAI As-Shiddiqiyah OKI 
(Peraih Beasiswa Mora Scholarship 5000 Doktor Kemenag RI di UIN Raden Fatah Palembang) 




Minat baca bangsa Indonesia yang masih minim, Hal ini terlihat pada tahun 2013, Indonesia masih bertahan dengan predikat negara yang masih rendah tingkat bacanya,  Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Hamid Muhammad, menuturkan bahwa keadaan minat baca di Indonesia masih rendah. Ia menyebutkan, berdasarkan hasil studi UNESCO pada tahun 2013, hanya 1 orang dari 1000 orang yang suka membaca. "Survei BPS di Indonesia di tahun 2013 menunjukkan bahwa orang Indonesia paling gemar nonton televisi, yakni sebanyak  91,68 persen. Sedangkan yang membaca surat kabar hanya 17,6 persen.
Motif Imbang, berasal dari bahasa indonesia, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, motif diartikan corak, konsep, dsb, sedangkan  imbang diartikan sebagai sebanding, sama (berat, derajat, ukuran, dsb). Filosofisnya, imbang disini merupakan suatu ukuran yang sama dalam menggunakan pendekatan, baik pendekatan rasional maupun pendekatan spiritual. Ketika pendekatan yang digunakan hanya sebatas rasional saja, maka upaya itu hanya sesuai apa yang dipandang oleh panca indera saja, akan tetapi kekuatan rohaniahnya juga penting digunakan oleh setiap individu, karena setiap manusia akan menemui masa yang diluar akal manusia. Dan ini belum bisa dilihat secara jelas oleh individu itu sendiri. Dengan teori Motif  Imbang, maka secara  filosofis ada empat substansi yang mengacu pada hasil kajian ini dalam mendefinisikan kekuatan motivasi guna mendorong individu menuju keberhasilan dalam belajar, khususnya dalam hal membaca adalah sebagai berikut; Pertama, motivasi intrinsik individu yang ada harus diserasikan antara niat dengan tujuan, sehingga niat tersebut bukan sebatas upaya untuk merubah suatu keadaan, melainkan juga diniatkan untuk ibadah, tentunya hal ini bisa menjadi bagian penting dalam menginternalisasikan nilai-nilai sekaligus menjadi awal yang manfaat dalam membaca. Kedua, keseimbangan ini dilihat atas kondisi lingkungan individu yang kemudian menjadi bagian terpenting dalam merubah pola, tehnik dan strategi belajar dalam keadaan, waktu dan kondisi apapun. Ketiga, adanya keseimbangan antara tindakan dengan tujuan yang dilakukan oleh setiap individu, tidak sedikit individu yang menghabiskan waktunya dengan kurang fokus untuk bertindak yang seimbang dengan apa yang direncakan dan apa tujuan awal dari suatu tindakan tersebut.  Keempat, adanya keseimbangan belajar khususnya membaca sebagai kebutuhan yang selaras dan serasi dengan potensi individu guna penyempurnaan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif.   

Kata Kunci: Konsep, Kulturisasi Membaca, Motif Imbang



A.    Latar  Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses hidup dan kehidupan setiap manusia. Prof. Jalaludin menyatakan, bahwa gagasan John Dewey tentang pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, membentuk disiplin hidup, mengisyaratkan bahwa bagaimanapun sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan, maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia. [1]                                                 
Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia; aspek rohaniah dan jasmaniah, juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu suatu kematangan yang beritik akhir pada optimalisasi perkembangan/ pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan pertumbuhan. [2]                                                                                                                 
Pendapat di atas, bermaksud menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang komprehensif yang berupaya mempersiapkan diri dengan segala yang dimilikinya, baik jasmani, rohani, akal, hati, akhlak dan keterampilannya menuju kebaikan dan ketaqwaan individu kepada Allah swt. Seiring zaman yang terus berjalan, tantangan pendidikan khususnya pada pendidikan Islam lebih kompleks dan berbeda dengan tantangan pada zaman klasik. Prof. Abudin Nata menyatakan, baik secara internal maupun ekternal tantangan pendidikan Islam di zaman kasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan ideologis lebih mudah diatasi. Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan pertarungan ideologi-ideologi besar dunia sebagaimana tersebut di atas, juga menghadapi kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulance) atau tsunami. Menurut Daniel Bell, di era globalisasi di tandai beberapa hal, antaralain; pertama,  kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan persaingan bebas dalam dunia pendidikan,  kedua, kecenderungan fragmentasi politik, ketiga,kecenderungan  penggunaan  teknologi canggih (sofisticated tecnology), keempat, kecenderungan interdependensi (kesaling ketergantungan), kelima, kecenderungan munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan pola pikir (mindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari pola pikir yang berorientasi pada intelektualitas, moral dan keterampilan kemudian cenderung lebih pada material oriented.[3]
Dari kecenderungan-kecederungan di atas, memiliki implikasi yang urgent terhadap kualitas pendidikan di Indonesia, baik dari sistem, manajemen sampai pada ranah tehnisnya, yang kemudian sudah menyatu menjadi culture dan kemrosotan peradaban pendidikan. Tentunya hal ini sudah mendapat respon secara ilmiah tentang upaya-upaya dan solusi alternatifnya, akan tetapi Kecenderungan masyarakat yang lebih mengedepankan  materialistis sangat sulit dirubah kepada pola kecenderugan yang fokus pada kualitas dalam pendidikan, hal ini sangat berdampak secara psikologis terhadap kualitas perilaku pelaku pendidikan, khususnya pada minat, motivasi dan kemauan belajar dan melakukan proses sampai membangun culture akademis, sulitnya membangun minat baca dalam pendidikan di Indonesia masih menjadi fakta dan problem yang fundamental.                   
Membaca merupakan salah satu bagian penting dalam proses belajar setiap manusia, hal ini tentunya menjadi perhatian serius khususnya bagi praktisi pendidikan dalam pengembangan kompetensi sumber daya manusia menuju era globalisasi, tentunya memiliki tantangan akademis yang besar untuk sejajar dengan negara-negara lain yang sudah maju. Seyogyanya Indonesia sudah kaya akan potensi yang bisa dijadikan sebagai media sekaligus sarana dalam penguatan kompetensi sumber daya manusianya.                      
Berdasarkan data UNESCO tahun 2012, indeks minat baca Indonesia baru mencapai 0,0001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu yang mempunyai minat baca. Sementara dari data Survey Badan Pusat Statisitik (BPS) pada tahun 2012, didapatkan bahwa sumber informasi penduduk Indonesia berusia 10 tahun ke atas diperoleh dari televisi (91,68 %), dan hanya sekitar 17,66 % yang menyukai membaca surat kabar, buku atau majalah. Data Bank Dunia pun menunjukkan minat baca anak Indonesia termasuk rendah, yaitu sekitar 51,7 %,  lebih rendah dari Philipina 52,6 %, Thailand65,1 %, Singapura 74 % dan Jepang 82,3 %.[4]    . Minat atau motivasi membaca masyarakat Indonesia masih rendah, minat baca masyarakat Indonesia terendah se - Asean, Survei tersebut antara lain: (a), Pada tahun 2006 berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%)., (b), Pada tahun 2009 berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.[5]               
Data di atas menunjukkan adanya minat baca bangsa Indonesia yang masih minim pada tahun 2012, Kemendikbud juga dengan jelas menyebutkan bahwa dipresentasikan kurang lebih seribu banding satu, artinya jika ada seribu orang, maka hanya satu orang saja yang memiliki minat baca tinggi.  Hal ini juga terlihat pada tahun 2013, Indonesia masih bertahan dengan predikat negara yang masih rendah tingkat bacanya,    Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Hamid Muhammad, menuturkan bahwa keadaan minat baca di Indonesia masih rendah. Ia menyebutkan, berdasarkan hasil studi UNESCO pada tahun 2013, hanya 1 orang dari 1000 orang yang suka membaca. "Survei BPS di Indonesia di tahun 2013 menunjukkan bahwa orang Indonesia paling gemar nonton televisi, yakni sebanyak 91,68 persen. Sedangkan yang membaca surat kabar hanya 17,6 persen," paparnya ketika ditemui di Perpustakaan Kemendikbud, Jumat (29/5) siang. Melihat data ini, menurutnya, butuh upaya luar biasa untuk meningkatkan minat baca orang Indonesia, terutama anak-anak. Hamid menyebutkan, berdasarkan data bank dunia, Indonesia memiliki minat baca paling rendah di antara negara Asia Tenggara. "Indeksnya hanya 21,7 persen. Dibandingkan Filipina dan Singapura yang lebih dari 70 persen minat bacanya," tuturnya. (Agustin Setyo Wardani). [6]                                                                                                    
Dari beberapa data di atas, setidaknya memberikan sinyal bahwa perlunya keseriusan peningkatan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam aspek implementatif subjeknya, yakni penguatan pada sumber daya manusianya khususnya dalam mengkonstruksi budaya ilmiah. Hal ini tentunya menjadi salah satu bagian ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain menuju negara yang maju, karena dengan pendidikan yang maju, maka sumber daya manusianya juga maju, sehingga Indonesia  juga tidak krisis sumber daya manusia dalam berbagai aspek.  Dengan permasalahan demikianlah serius, khusunya terkait dengan pola, kebiasaan dan sistem yang kurang mendukung dalam bidang pendidikan tersebut, maka untuk peningkatan kompetensi manusia di Indonesia perlu adanya pendekatan psikologis individual, sehingga timbul motivasi intrinsik yang besar dari pelaku pendidikan, yakni keasadaran untuk memperbaiki pola dan sistem yang lebih terarah menuju culture yang beradab dan kompeten dalam bidang pendidikan. Untuk mensikapi permasalahan yang demikian rumit, perlu ditengahkan akan pembahasan mengenai  upaya-upaya peningkatan minat belajar pada pelaku pendidikan dengan mengacu pada ayat al-Qur’an yang pertama di turunkan, yakni al-Qur’an surat al-Alaq, 96: 1.[7]

B.     Motivasi Belajar dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1

Sesuai dengan permasalahan di atas, ayat al-Qur’an yang tepat menjadi sumber inspirasi dalam penelitian ini adalah surat  surat al-Alaq, 96: 1;
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (Q.S. al-Alaq : 1)
Surat al-‘Alaq merupakan surat yang turun di mekkah (Makkiyah), ayat tersebut dijadikan sebagai paradigma wahyu guna menemukan sebuah teori dalam upaya menjawab motivasi seperti apa dalam menumbuhkan minat baca secara intrinsik pada individu, sehingga dapat memberikan rangkaian kecakapan pada setiap individu dalam melangsungkan kehidupannya. Selain itu, yang terpenting adalah  pembahasan ini ingin menguraikan suatu kebenaran al-Qur’an dalam surat al-‘Alaq, bahwa merupakan surat yang memiliki  nilai dan subtansi embrio pendidikan, khususnya untuk membangun motivasi intrinsik pada subjek pendidikan yang telah ditemukan beberapa teori psikologi, pendidikan maupun teori lain yang bersumber pada ayat di atas.  Sehingga dengan uraian berbasis penafisiran ilmiah ini, tentunya bisa menjadikan bagian penting dalam ikut serta menjaga eksistensi ayat-ayat al-Qur’an, salah satunya untuk mengkonstruksi substansi dari nilai-nilai ayat al-Qur’an tersebut.

C.    Penjelasan Al-Qur’an Surat Al-Alaq ayat 1

Dalam tafsir Jalalain, menyebutkan bahwa اِقْرَأْ (bacalah) maksudnya mulailah membaca dan memulainya (dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan).[8] Secara harfiah kata qara’ yang terdapat pada ayat tersebut berarti menghimpun huruf-huruf dan kalimat yang satu dengan kalimat lainnya dan membentuk suatu bacaan. [9]
اِقْرَأْ merupakan bentuk fi'il amar (perintah), ia berasal dari akar qara'a yang pada awalnya mengandung arti menghimpun. Dari akar kata tersebut muncul beberapa makna berikut; menyampaikan, menela’ah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu-semuanya bermuara pada arti menghimpun.[10] Sedangkan menurut al-Maraghi secara harfiah ayat tersebut dapat diartikan “ jadilah engkau membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu, walaupun sebelumnya engkau tidak dapat melakukannya” [11]
Menurut Tafsir Ibnu Katsir memberikan penafsiran QS. 96:1-5 bahwa Imam Ahmad meriwayatkan kepada ‘Aisyah dia mengatakan: wahyu yang pertama diturunkan kepada Rasulullah saw, adalah mimpi yang benar melalui tidur. Dimana beliau tidak bermimpi melainkan datang sesuatu seperti falaq subuh. Setelah itu, beliau lebih senang mengasingkan diri. Kemudian beliau mendatangi gua hira. Disana beliau beribadah untuk beberapa malam dengan membawa perbekalan yang cukup. Setelah itu beliau pulang kembali kepada khatidjah untuk mengambil bekal yang sama sampai datang kepada beliau wahyu secara tiba-tiba, yang ketika itu beliau masih berada digua hira. Di gua hira itu beliau di datangai malaikat jibril seraya berkata”bacalah! Rasulullah saw bersabda, maka kukatakan: aku tidak dapat membaca. Lebih lanjut beliau bersabda, lalu jibril memegangku seraya mendekapku sampai aku merasa kepayahan. Selanjutnya, jibril melepaskanku dan berkata bacalah, aku tidak dapat membaca, jawabku. Kemudian jibril mendekapku untuk kedua kalinya sampai aku benar-benar kepayahan. Selanjutnya ia melepaskanku lagi seraya berkata, bacalah! Aku tetap  menjawab  aku tidak dapat membaca. Lalu ia mendekapku untuk yang ketiga kalainya sampai aku benar-benar kepayahan. Setelah itu, dia melepaskanku lagi seraya berkata : خلق اِقْرَأْبِاسْمِ رَبّك الَّذِي, sampai pada  ayat ke-lima, مَا لَمْ يَعْلَم,   kemudian beliau berkata: maka beliaupun pulang dengan sekujur tubuh dalam keadaan menggigil hingga akhirnya masuk menemui khatidjah dan berkata: selimuti aku, selimuti aku. Merekapun segera menyelimuti beliau sampai akhirnya rasa takut beliau hilang. Selanjutnya beliau bersabda, apa yang terjadi padaku ? lalu beliau menceritakan peristiwa yang di alaminya seraya bersabda; aku khawatir sesuatu akan menimpa diriku. Maka khatidjahpun berkata kepada beliau, ‘tidak, bergembiralah. Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu, sesungguhnya engkau adalah orang yang paling suka menyambung silaturahmi, berkata jujur, menanggung beban, menghormati tamu, dan membantu menegakkan pilar-pilar kebenaran. [12]
Dari beberapa penjelasan tafsir di atas, terdapat suatu proses yang sangat urgent dalam subtansi pendidikan. Adapun beberapa point penting pada substansi ayat al-Qur’an surat al Alaq ayat 1 tersebut antaralain, pertama, adanya kesungguhan niat untuk bertindak “membaca”. Hal ini dapat dilihat dari beberapa esensi tafsir jalalain yang memberikan penafsiran kata اِقْرَأْ sebagai upaya memulai untuk membaca atau belajar, yang juga dapat dilihat sebagai kata perintah atau fi’il amar, sedangkan pada tafsir al-Maraghi memberikan penafsiran adanya kemampun membaca sehingga Nabi Muhammad saw kemudian jadi membaca. Pada tafsir Ibnu Katsir lebih menekankan adanya membaca memerlukan bekal, dalam aspek psikologi tentunya hal ini adanya kesiapan niat dan mental spritual, sedangkan dalam aspek ekonomi, setiap manusia tentunya membutuhkan kebutuhan pokok, yakni sandang, pangan dan papan, dalam aspek sosiologis tentunya juga membutuhkan peran orang lain dalam proses  belajar. Dengan beberapa penafsiran demikian, pelaku pendidikan memiliki motivasi intrinsik yang besar dalam belajar khususnya membaca jika memiliki kesungguhan niat, yakni benar-benar memiliki visi dan misi untuk masa depannya, berpikir juah kedepan unutk memberikan sumbangsih besar terhadap lingkungan,  sehingga salah satunya adalah dengan melakukan suatu tindakan yang efektif, dengan esensi bertindak untuk perubahan.
Kedua, adanya upaya pendayagunaan potensi diri berbasis akhlak, Nabi Muhammad tentunya memiliki potensi diri yang cakap untuk mengikuti perintah Allah swt melalui malaikat Jibril ketika proses penerimaan wahyu pertama kali, bekal yang cukup dari rumah yang disiapkan oleh siti khatidjah menjadi penting selama beliau berkhalwat di gua hira. Akan tetapi potensi diri yang dimaksudkan disini adalah adanya kesempurnaan akhlak dan kepribadian Nabi Muhammad saw, dengan demikian, kemampuan yang ada pada setiap manusia bisa menjadi potensi maksimal jika dibarengi dengan akhlak mahmudah dalam proses belajar, salah satu contohnya adalah berdo’a ketika sebelum dan sesudah belajar “membaca”. Inilah yang kemudian menjadi keberkahan dalam suatu proses.
Ketiga, adanya sikap optimistis yang bersandar pada Allah swt.  Salah satu bukti keseriusan Nabi Muhammad saw dalam memperoeh wahyu melalui malaikat jibril dengan membacakan satu kata ayat al-Qur’an saja اِقْرَأْ, beliau mengulangnya sampai tiga kali bacaan, salah satu yang mendasari hal tersebut tentunya jika dilihat dari tata bahasanya karena satu kata yang belum mufid dan murokkab dengan kalimat lain, yakni dengan اِقْرَأْبِاسْمِ رَبّك الَّذِي خلق, kemudian dari substansi maknanyapun juga berbeda ketika hanya kalimat   اِقْرَأْ dengan kalimat yang lebih lengkap اِقْرَأْبِاسْمِ رَبّك الَّذِي خلق, tanpa ada nama Allah maka Nabi muhammad pun juga belum bisa mengucapkannya. Dari kejadian di atas dapat di ambil makna bahwa pada substansinya sesulit apapun, Nabi Muhammad juga tetap mengedepankan keyakinan bahwa bisa melakukan apa yang disampaikan oleh jibril dengan penuh optimis dengan tetap melaui ridlo Allah swt . Inilah bagian sikap optimis Nabi Muhammad dalam menerima wahyu pertama lebih khusus pada ayat pertama.
Keempat, adanya motivasi. Dalam hal ini, tentunya dalam proses belajar, khususnya membaca membutuhkan motivasi, baik bekal internal maupun motivasi eksternal. Motivasi internal dimaksudkan bahwa adanya kemauan, intelegensi, potensi dan visi hidup yang mengedepankan perubahan di masa yang akan datang dari Nabi Muhammad saw. Sedangkan pada motivasi eksternal Nabi Muhammad saw ketika menerima wahyu pertama tersebut di atas adalah dengan adanya kebutuhan bekal yang efisien, keamaan, komunikasi dan kebutuhan akan sosial. Kebutuhan akan motivasi eksternal ini, khususnya pada kebutuhan bekal, dimaksudkan adanya bekal pokok, baik makanan, minuman dan pakaian seadanya,  sehingga beliau ketika berkhalwat di gua hira’ tidak sibuk untuk keluar masuk dari gua dan bisa fokus untuk  komunikasi dengan Allah memlaui malaikat Jibril. Disisilain, juga Nabi Muhammad saw juga melakukan proses sosiologis, salah satunya komunikasi dengan istrinya khatidjah, sebelum dan sesudah penerimaan wahyu, tentunya hal ini  menjadi motivasi besar bagi Nabi Muhammad saw untuk  proses penerimaan wahyu. Terkait dengan motivasi eksternal di atas, jika dimaksudkan pembelajaran sekarang adalah adanya  bahan dan media yang cukup dan efisien, seperti bahan bacaan, buku, perpustakaan, toko buku, biaya dan lain-lain yang berhubungan dengan media yang yang menjadi motivasi dalam melaksanakan proses pembelajaran.  
  Dengan demikian, jelas bahwa proses penerimaan wahyu pertama Nabi Muhammad saw yang juga merupakan ayat pendidikan tersebut memiliki beberapa rangkain dan tahapan proses, dimulai dengan adanya niat untuk bertindak, pendayagunaan potensi semaksimal  mungkin, optimistis, serta adanya motivasi intrinsik dan ekstrinsik, tentunya dalam hal ini adalah adanya kebutuhan pembekalan selama di gua hira.



D.    Konsep Dasar Manusia dalam Tinjauan Filsafat
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding dengan ciptaan lain, semua ciptaan tersebut secara substanstif selalu bertasbih kepada Allah swt. Selain dikenal sebagai makhluk alternatif, manusia juga dinilai sebagai makhluk potensial yang dapat berkembang dan dikembangkan. Dimaksud sebagai makhluk alternatif, adalah  karena manusia dianugerahkan kemampuan untuk menentukan arah dan pilihan hidupnya.[13]                                         
Kemampuan manusia menjadi sarana penting untuk keberhasilan setiap proses yang dilakukan. Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan menegenal objek-objek pengamatan melalui panca indranya.[14] Manusia juga sebagai ciptaan yang melakukan prosesnya dilengkapi dengan kebutuhan yang berbeda dengan makhluk lainnya, salah satu kebutuhannya yakni kebutuhan akan eksistensi budaya. Pendidikan dan budaya merupakan kesatuan aspek yang tidak dapat dipisahkan, karena memiliki nilai-nilai luhur yang sama dalam pengembangan potensi manusia itu sendiri. Dengan banyaknya kebutuhan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut.[15]                                                                                     
Dalam al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain: al-Basyr, al-Insan, an-Nas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah dan Khalifah Allah, Sehubungan dengan hal ini maka untuk memahami peran manusia dalam upaya pengembangan potensi individunya, berikut  dijabarkan fokus dengan satu  kata yakni, Konsep Al-Insan. Penggunaan kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur’an, mengacu kepada potensi yang dianugerahkan oleh Alllah kepada manusia. Potensi tersebut antaralain berupa potensi untuk bertumbuh kembang secara fisik  dan juga potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara mental spiritual.[16]                                               
Dengan potensi yang dimiliki, setidaknya ada upaya jelas dalam proses perkembangan diri seutuhnya, baik pada perkembangan fisik, maupun perkembangan mental spiritualnya. Hal ini yang menjadi skala prioritas dalam membangun suatu nilai-nilai intrinsik pada setiap manusia. Hal di atas juga dijelaskan juga oleh Arifin mengemukakan bahwa pengetahuan manusia terbentuk karena adanya realita sebagai objek pengamatan indra.[17]             Perkembangan tersebut antaralain, meliputi kemampuan untuk berbicara, menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis), dan segala apa yang diketahuinya, kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di dalam ruh, dalam bentuk kesaksian.[18]                                                                                   
Proses yang dilakukan setiap manusia berdasarkan potensi yang dimilikinya, baik potensi positif, maupun potensi negatif. Potensi positif yang dimiliki cenderung memberi peluang bagi perkembangan manusia menuju pada kulaitas hidupnya. Sedangkan pada potensi negatif, berpeluang memotivasi manusia untuk melakukan hal-hal yang merugikan dan lebih banyak madlaratnya. Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya medorong manusia untuk berekreasi dan berinovasi. Dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.[19]               
Dari penjelasan di atas, konsep al-insan mengacu kepada bagaimana manusia mampu memerankan dirinya semaksimal mungkin menuju klimaks pengetahuan dengan segala potensi yang dimilikinya, serta apa potensi positif yang seharusnya dikembangkan, motivasi intrinsik yang kuat juga menjadi salah satu bagian penting dalam mengembangkan nilai-nilai esensial potensi tersebut. Untuk itu, potensi yang dimiliki oleh Nabi Muhammad untuk melafalkan ayat-ayat Allah swt sangat kompleks dan proporsional, dantentunya hal ini dengan beberapa proses dan tahapan, demikian pula dengan setiap individu, diciptakan oleh Allah swt dengan potensi yang cakap dan harus dikembangka dengan pendekatan multidisipliner, sehingga ada nilai-nilai potensi yang utuh dan komprehensif dalam melakukan proses pembelajaran. Pentingnya potensi disini adalah karena adanya suatu keharusan upaya pengembangan kemampuan individu dalam menela’ah, meneliti dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an relevansinya dengan realitas.   
E.     Pendekatan Kajian Psikologis
Sesuai dengan permasalahan, paradigma dan preposisi di atas, maka pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan menguraikan beberapa esensi gambaran manusia dalam konteks pendidikan, sehingga dapat dibangun menjadi suatu potensi dalam pembangunan bangsa.[20]

1.      Pengertian Motivasi
Setiap individu memiliki karakteritisk dan kondisi internal yang berbeda-beda, di mana kondisi internal tersebut turut berperan dalam aktivitas dirinya sehari-hari. Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat.[21] Dalam psikologi pendidikan motivasi adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai tujuan tertentu.[22]              David McClelland et al., yang dikutip oleh B. Uno berpendapat bahwa: A motive is the redintegration by a cue of change in an affective situation, yang berarti motif merupakan implikasi dari hasil pertimbangan yang telah dipelajari (redintegration) dengan ditandai suatu perubahan pada situasi afektif.[23]       Sedangkan menurut Johnson yang dikutip oleh Djaali mendefinisikan motif  adalah achievement motive can be defined as impetus to do well relative to some standard of excellence.[24] Disisilain, B.Uno juga mengemukakan motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. [25]                                                            Dari beberapa pendapat di atas, motivasi merupakan upaya, dorongan dalam diri pada setiap manusia dalam beraktifitas untuk mencapai tujuan tertentu dengan pendekatan tertentu.         Motivasi juga merupakan suatu kekuatan intrinsik yang ada pada diri manusia, sehingga dalam melakukan aktivitas yang diharapkan oleh manusia tersebut butuh suatu dorongan besar terlebih dahulu dari seseorang tersebut. akan tetapi, dalam arti lebih mengarahkan motivasi dimaknakan sebatas dari individu itu sendiri, sehingga peran di luar individu tersebut kecil walaupun juga bisa disebut motivasi ekstrinsik. Disisilain, kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (kebutuhan).[26] Kekuatan-kekuatan di atas, pada dasarnya dirangsang oleh adanya berbagai kebutuhan, seperti (1) keinginan yang hendak dipenuhi, (2) tingkah laku, (3) tujuan, dan (4) umpan balik. (Don hellriegel and John W. Slocum, Jr. , dalam bukunya Organization Behavior yang dikutip oleh B.Uno.[27]

Needs, desires, or expectation


Behavior

Feedback

Goals






Gambar. 1 Proses Motivasi Dasar
Dari beberapa pendapat di atas, motivasi sebagai suatu dorongan intrinsik sekaligus penggerak seseorang untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu. Motivasi merupakan bagian terpenting dan kekuatan yang dominan mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Kekuatan-kekuatan itu pada dasarnya dirangsang oleh adanya berbagai macam harapan dan kebutuhan. Tentunya, motivasi juga bisa melekat dan berkembang jika individu memiliki kemauan yang kuat dalam mencapai tujuan tersebut.        

2.      Macam-macam Motivasi
Setelah mempelajari pengertian motivasi, maka penting untuk diuraikan  macam-macam motivasi. Sesuai dengan pendapat Wood dan Marquis dikutip oleh Suryabrata menjelaskan bahwa motif itu dibedakan menjadi tiga macam, kebutuhan-kebutuhan organik, motif darurat dan motif-motif objektif.[28] Sedangkan dari sudut sumber yang menimbulkannya, motif dibedakan menjadi dua macam, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik timbulnya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri. Sedangkan motif ekstrinsik timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya dalam pendidikan terdapat minat yang positif terhadap kegiatan pendidikan timbul karena melihat manfaatnya.[29]
          Stimulus merupakan bagian terpenting dalam motivasi, baik stimulus intrinsik maupun ekstrinsik, stimulus ini juga membutuhkan media untuk yang bisa membawa stimulan itu pada nilai-nilai kemauan dan tumbuh turbulensi diri dalam menyusun sikap dan tahapan. Motif-motif  ini timbul karena dorongan  untuk dapat menghadapi dunia luar (sosial dan non sosial) secara efektif. [30] Menurut WA. Gerungan yang dikutip oleh B. Uno mengemukakan motif dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni (1) motif biogenetis...(2) motif sosiogenetis, (3) motif teologis.[31] Jika mengacu pada focus penilitian, maka dari beberapa jenis motif di atas, salah satu motif yang paling dekat dengan pembahasan ini adalah motif-motif objectif, karena pada motif-motif objectif ini dalam ruang lingkupnya terdapat kebutuhan untuk menaruh minat.  Disisilain, motif  ekstrinsik juga menjadi bagian penting sebagai media dan stratgei dalam menyelesaikan problematika bangsa terutama pada lemahnya minat baca individu.  
Dengan demikian, motif intrinsik memang merupakan pondasi yang kuat dalam eksistensi dan aktualisasi individu, akan tetapi, bisa jadi, motivasi ekstrinsik juga bisa mempengaruhi pada efektifitas sikap dan perubahan perilaku dalam bertindak dan membuat keputusan diri. Untuk itu kebutuhan primer juga menjadi penting untuk dipenuhi, yang menjadi tolak ukur kebutuhan secara biologis setiap manusia pada umumnya, setidaknya hal ini juga diperhatikan sebagai salah satu bagian dari bekal untuk merubah perilaku individu.  

3.      Peranan Motivasi dalam belajar dan Pembelajaran
a.         Pengertian Belajar
Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.  Thorndike, salah seorang pendiri aliran teori belajar tingkah laku, mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respon (yang mungkin juga bisa berupa pikiran, perasaan, atau gerakan). Noel Entwistle, Styles of Learning and Teaching yang dikutip oleh B.Uno.[32]
Cronbach dalam bukunya yang berjudul Educational Psychology yang dikutip oleh Ahmadi dan Supriyanto mendefiniskan belajar sebagai berikut, “Learning is shown by change in behaviour as aresult of experience.”[33] Belajar merupakan perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil praktik atau penguatan (reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut James O. Whittaker, yang dikutip oleh Ahmadi dan Supriyanto belajar dapat didefenisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman, Learning may e defined as the process by whice behavior originates or is altered through training or experience.[34]
Hakekat motivasi belajar setidaknya merupakan dorongan internal dan eksternal pada seseorang yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, dan pada umumnya dengan beberapa indikator. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) adanya hasrat dan keinginan berhasil, (2) adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar, (3) adanya harapan dan cita-cita masa depan, (4) adanya penghargaan dalam belajar, (5) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; (6) adanya lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang dapat belajar dengan baik.[35]
Dengan demikian, belajar merupakan proses interaksi antara respon dan stimulus untuk merubah perilaku yang lebih positif dan bermanfaat. Belajar dan motivasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena ini menjadi bagian penting dalam proses belajar setiap individu. Hal ini tentunya terlihat karena dalam belajar terdapat faktor-faktor dalam diri yang dapat mempengaruhi keberhasilan seseorang tersebut. Adapun  faktor-faktor dalam diri yang dapat mempengaruhi proses belajar antaralain: kesehatan, intelegensi, minat dan motivasi dan cara belajar.[36]

b.        Peran motivasi dalam belajar dan pembelajaran

     Motivasi pada dasarnya dapat membantu  dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu, termasuk perilaku individu yang sedang belajar. Karena belajar merupakan suatu proses penting yang dilakukan oleh setiap individu dengan keadaan sadar dan memiliki tujuan yang jelas. Menurut B. Uno mengemukakan ada beberapa peranan penting dari motivasi dalam belajar dan pembelajaran, antaralain: dalam (a) menentukan hal-hal yang dapat dijadikan penguat belajar, (b) memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai, (c) menentukan ragam kendali terhadap rangsangan belajar, (d) menentukan ketekunan belajar. [37]        Minat akan mempengaruhi keberhasilan seseorang,  jika pada individu tersebut memiliki kesungguhan hati dalam mencapai tujuannya, hal ni juga dijelaskan dalam Ta’limul Muta’alim bahwa “ terdapat kata mutiara” siapa bersungguh-sungguh hati mencari sesuatu, pastilah ketemu; dan siapa mengetuk pintu bertubi-tubi, pastilah memasuki”.[38]          Pertama, motivasi dapat menentukan hal-hal yang dapat dijadikan penguat belajar, motivasi dapat memberikan altenatif solusi dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh individu, terutama siswa. Sejauhmana kepayahanmu, sekian  pula tercapai harapanmu”.[39]  Salah satu contohnya dengan adanya permasalahn siswa dalam menyelesaikan tugas review buku, maka siswa tersebut harus memeliki buku tersebut, dan ini merupakan bagian dari kebutuhan fisioligis seseorang.  Kedua, motivasi dapat memperjelas tujuan belajar yang hendak dicapai, pada bagian ini, lebih mengarah pada nilai stimulus yang besar pada siswa akan memberikan dampak dan dorongan untuk melakukan sesuatu. Hal ini tercantum dalam As’ad berpendapat dalam Ta’limul Muta’alim Terjemah, (2007:19) mengemukakan bahwa  “barang siapa telah menemukan lezatnya ilmu dan pengamalanya maka kecil sekali kesukaannya terhadap apa yang ada di tangan sesama manusia”.[40]                                                                                      Salah satu contoh, siswa akan terdorong untuk segera belajar  wudlu  jika siswa tersebut sudah  mengetahui makna dan manfaat wudlunya, karena dengan wudlu, maka ibadah shalatnya akan sah. Ketiga, motivasi dapat menentukan ragam kendali terhadap rangsangan belajar, dimaksudkan dengan motivasi ada unsur-unsur diri yang dapat merangsang individu dalam mengendalikan suatu sikap, apabla itu sikap negatif, maka akan segera terkendalikan, dan jika  itu sikap positif maka siswa akan mampu mengendalikan dirinya untuk tetap mempertahankannya. Keempat, motivasi dapat menentukan ketekunan belajar, seseorang anak yang termotivasi untuk belajar sesuatu, maka anak tersebut akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun. Hal ini juga disampaikan dalam syair Ta’limul Muta’alim, “Wahai pelajar, Langgengkanlah belajar, jangan mengambil jarak, dengan belajar, ilmumu tegak dan menanjak”[41]                                                                               Dengan demikian, peranan motivasi dalam belajar dan pembelajaran sangat besar, terutama untuk menjaga kontinuitas belajar, semangat, dan menentukan tujuan yang jelas dalam pembelajaran.  Pada esensinya, motivasi belajar merupakan dorongan internal dan eksternal pda siswaa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku pada umumnya dengan beberapa indikator. Adapun indikator tersebut disebutkan ada enam antaralain, adanya hasrat dan keinginan untuk berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan dasar dalam belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan lingkungan yang kondusif dalam pembelajaran.[42]

4.    Beberapa Teori Motivasi dalam Tinjauan Psikologis
a.    Teori The Affective Arousal Model
          Dalam hal ini, Motivasi berprestasi selalu melibatkan nama-nama seperti McClelland, Atkinson, Clark dan Lowell, karena merekalah yang mula-mula menyusun dan mengembangkan teori ini. Teori motivasi yang dikembangkannya disebut The Affective Arousal Model. Disebut demikian,  karena dalam konsep mereka, motif berasal dari perubahan afeksi. Menurut McClelland dkk, tedapat tiga point penting dalam motivasi, a) redintegration, b) cue, c) affective situation.[43]
            Redintegration secara etimologis berarti membulatkan kembali atau membuat suatu kesatuan baru. Dalam konteks ini redintegration berarti membulatkan kembali proses psikologis dalam kesadaran sebagai akibat adanya rangsangan suatu peristiwa di dalam lingkungannya. Cue, (Isyarat) merupakan penyebab tergugahnya afeksi dalam diri individu, contoh, bila seorang siswa melihat gurunya yang sudah berpisah, maka persepsi tentang guru tersebut akan bekerja sebagai isyarat yang menggugah perasaannya (affective feelings) dan keseluruhan proses psikologisnya dikembalikan lagi (reinstated). Affecive situation (disebut juga affective state), bahwa setiap orang memiliki situasi afeksi yang merupakan dasar semua motif. Afeksi ini dapat disebut primary affect yang tidak diplajari. Situasi ini berasal dari kesenjangan antara harapan (expectation, yang disebut adaptation level) dengan kenyataan. Situasi afeksi dsiebut positif, bila penyimpangan itu kecil, sedangkan afeksi negatif bila penyimpangan tersebut lebih besar.[44]
       Teori di atas menjelaskan bahwa adanya suatu kesatuan upaya awal yang utuh, atau pembaharuan kembali kemauan yang lebih positif, yang kemudian bertemu dengan adanya beberapa isyarat tertentu sehingga dapat menggugah perasaan seseorang menjadi suatu motif dalam melakukan tindakan baru. Motivasi intrinsik memang manjadi standar primer dalam melakukan suatu perubahan dalam individu, tentunya hal ini juga sudah ada dalam salah satu al-Qur’an tentang upaya individu atau kelompok dalam merubah keadaan, yakni tergantung pada usaha individu atau kelompok tersebut.   

b.   Teori Harapan
            Teori harapan didasarkan pada keyakinan bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan mereka tentang gambaran hasil tindakan mereka. Vroom mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada apa yang ia gambarkan sebagai kemampuan bersenyawa (valence), alat perantara (instrumentality) dan harapan (expectancy).[45]

                                                     

expectancy

instrumentality

Valence







Kemampuan Valence atau bersenyawa adalah pilihan lebih baik seseorang akan tercapainya hasil tertentu. Hasil tersebut misalnya, produktifitas tinggi. Namun, itu pun hanya dinilai  pada suatu batas yang dapat membantu orang tersebut mencapai hasil-hasil lain, seperti kenaikan gaji atau kenaikan pangkat. Sejauhmana hasil kedua dapat dicapai, dirumuskan sebagai alat perantara. Terakhir, harapan berhubungan dengan kekuatan kepercayaan orang itu bahwa kegiatan-kegiatan tertentu membawa hasil tertentu.[46]
Diungkapkan juga oleh Arden N Frandsen, mengatakan bahwa yang mendorong seseorang untuk  belajar itu adalah sebagai berikut; a) Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia lebih luas, b) adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju, c) adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orang tua, guru, dan teman-teman, d) adanya keinginan untuk memperbaaiki kegagalan yang lalu dengan usaha baru, baik dengan kooperasi maupun dengan kompetisi, e) adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran, f) adanya genjaran atau hukuman sebagai akhir daripada belajar.[47] 
Teori harapan di atas menjelaskan bahwa adanya pilihan yang tegas dan mengandung relevansinya dengan keinginan individu tersebut yang kemudian pilihan tersebut dijadikan perantara untuk mencapai tujuan apa yang di inginkan. Motivasi akan benar-benar timbul dan menginternalisasikan dengan individu tersebut jika ada keinginan prioritas yang sudah menjadi keyakinan utuh individu. Kreatifitas akan muncul jika ada rasa ingin tahu yang besar pada individu dalam hal apapun. Contohnya ketika ada keinginan siswa dalam belajar memiliki keinginan untuk datang tepat waktu yang sudah menjadi prioritas pilihannya, maka konsekuensinya adalah selalu berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terlambat dan tepat waktu.

c.    Teori Connectionism (Thorndike)
Teori Thorndike di Amerika Serikat terkenal dengan nama teori belajar connectionism, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi antara stimulus dan respons. Teori ini disebut Trial and Error dalam rangka memilih respons yang tepat bagi stimulus tertentu. Penelitiannya melihat tingkah laku berbagai binatang antaralain kucing, tingkah laku anak-anak dan orang dewasa. Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal danmembiarkan objek melakukan berbagai pola aktivitas untuk merespons situasi itu. Dalam hal ini objek mencoba berbagai cara reaksi, sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi suatu reaksi dengan stimulasinya. Ciri-ciri belajar dengan Trial and Error adalah ada motif pendorong aktivitas, ada berbagai respons terhadap situasi, ad eliminasi respons yang gagal/ salah, dan ada kemajuan reaksi mencapai tujuan.[48]
Berdasarkan penelitiannya, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai berikut;
1)  Law of readines, jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi, maka reaksi menjadi memuaskan.
2) Law of exercise, semakin banyak dipraktikkan atau digunakannya hubungan stimulus-respons, makin kuat hubungan itu, praktik perlu disertai dengan reward.
3)  Law of effect, apabila terjadi hubungan antara stimulus dan respons dan diikuti dengan state of affairs yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Jika sebaliknya, kekuatan hubungan menjadi berkurang.[49] 
Teori Thorndike di atas telah menjelaskan secara gamblang bahwa, adanya suatu tindakan yang berbasis reward atau stimulus, yang bisa diartikan adanya hubungan sebab-akibat, karena adanya stimulus, maka ada  upaya tindakan-tindakan yang mangarah pada nilai stimulus tersebut dengan tetap sesuai tujuan dari proses pembelajaran. Artinya bahwa, belajar merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan diri denga situasi dan kondisi lingkungan sekitar kemudian melakukan seuatu reaksi yang mengakibatkan suatu perubahan.
Dari beberapa teori di atas, baik teori The Affective Arousal Model, teori harapan dan teori connectionism (Thorndike), dapat disimpulkan dalam suatu tabel kerangka di bawah ini,
Teori
Uraian Teori
Simpulan Teori
Kerangka
The Affective Arousal Model
ü Redintegration
ü Cue
ü Affective situation
Suatu kesatuan upaya awal yang utuh, atau pembaharuan kembali kemauan yang lebih positif, yang kemudian bertemu dengan adanya beberapa isyarat tertentu sehingga dapat menggugah perasaan seseorang menjadi suatu motif dalam melakukan tindakan baru
Dari beberapa teori di atas, maka dapat dijadikan suatu kesatuan kerangka bahwa setiap individu akan meningkat minat untuk belajarnya jika adanya kemauan individu yang tinggi yang sudah menjadi pilihan prioritas dengan harapan bisa mencapai tujuan sehingga ada perubahan sesuai dengan isyarat yang ada.  

Teori Harapan
ü Valence
ü Instrumentality
ü Expectancy
Adanya pilihan yang tegas dan mengandung relevansinya dengan keinginan individu tersebut yang kemudian pilihan tersebut dijadikan perantara untuk mencapai tujuan apa yang di inginkan.
Teori Connectionism (Thorndike),
ü Law of readines
ü Law of exercise
ü Law of effect
Suatu tindakan yang berbasis reward atau stimulus, karena adanya stimulus, maka ada  upaya respons dengan tindakan-tindakan yang mangarah pada nilai stimulus tersebut dengan tetap sesuai tujuan dari proses pembelajaran

Dari tabel di atas telah terlihat jelas bahwa, masing-masing teori memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, baik teori The Affective Arousal Model, teori harapan dan teori connectionism (Thorndike). Akan tetapi dengan beberapa kelebihannya dapat disimpulkan bahwa setiap individu akan meningkat minat untuk belajarnya jika adanya kemauan individu yang tinggi yang sudah menjadi pilihan prioritas dengan harapan bisa mencapai tujuan sehingga ada perubahan sesuai dengan isyarat yang ada.
Ketercapaian setiap individu tergantung dengan kuatnya motivasi intrinsik, dalm hal ini bisa disebut sebagai cita-cita maupun harapan-harapan untuk mencapai suatu tujuan dan berakibat ada perubahan mutlak pada individu tersebut. Analisa di atas setidaknya memberikan deskripsi bahwa adanya upaya peneliti eropa sudah bersusah payah dengan melakukan eksperimen  yang memerlukan waktu, tenaga dan fikiran serta biaya sehingga dapat menemukan suatu temuan baru dalam memberikan perubahan tingkah laku manusia walaupun dengan tidak memandang objek uji cobanya, artinya antara manusia dengan hewan dijadikan sebagai objek yang sama.    


F.   Suatu Analisa Simpulan Paradigma wahyu dan Simpulan Preposisi
Setelah proses analisis teori yang menghasilkan kesimpulan sebagai kerangka teori, maka tahapan selanjutnya adalah adanya deep analisys terhadap simpulan paradigma wahyu dan simpulan preposisi, hal ini dikaji dengan melihat substansi dan esensi masing-masing. Adapun proses analisisnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini,


Tabel analisis simpulan
Simpulan
paradigma wahyu
Simpulan preposisi

Hasil
Dalam surat al-Alaq ayat ke-1, setelah di analisis, tertuang substansi penting dan pokok tentang pendidikan. Salah satunya adalah adanya kesungguhan niat untuk bertindak dengan mendayagunakan potensi yang ada berbasis akhlak dengan sikap optimistis yang bersandar pada Allah swt serta memerlukan motif eksternal yang cukup dan efisien.
Konsep al-insan mengacu kepada bagaimana manusia mampu memerankan dirinya semaksimal mungkin menuju klimaks pengetahuan dengan segala potensi yang dimilikinya, serta apa potensi positif yang seharusnya dikembangkan, motivasi intrinsik yang kuat juga menjadi salah satu bagian penting dalam mengembangkan nilai-nilai esensial potensi tersebut.
Manusia memiliki potensi yang utuh, komprehensif dan  majemuk, kemauan individu menjadi pondasi penting dalam proses pemberdayaannya dengan tetap bersandar kepada Allah swt dalam setiap kekuatan, gerakan dan fikiran  yang dikeluarkan. Karena rasional tidak bisa menjadi jaminan mutlak untuk signifikansi perubahan, akan tetapi  optimisme  juga menjadi suatu kewajiban dalam merekonstruksi suatu pola dan sistem yang kemudian bisa menjadi embrio bagi individu yang potensial.  

Tabel di atas telah jelas menguraikan hasil analisa masing-masing aspek, baik aspek  analisis paradigma wahyu dan analisis preposisi dan kemudian terdapat hasil analisis dari kedua aspek tersebut. Setiap manusia diciptakan dalam keadaan fitrah. Fitrah disini sesuai dengan pendapat Qurais Shihab, fitrah bukan hanya dalam keadaan suci saja, melainkan juga dimaknakan adanya potensi pada setiap manusia yang baru dilahirkan. Untuk itu, dengan demikian, minat belajar itu bisa tumbuh jika memang individu tersebut berusaha mengelolanya dengan segenap proses yang dilakukannya. Usaha dengan niat yang tulus dan ikhlas untuk mendapatkan ridlo Allah swt merupakan suatu keharusan mutlak bagi setiap individu dalam belajar, tentunya dalam ta’limul muta’alaim juga dijelaskan etika dalam mencari ilmu, salah satunya adalah berdo’a sebelum dan sesudah belajar, serta  
Manusia memiliki potensi yang utuh, komprehensif dan  majemuk, kemauan individu menjadi pondasi penting dalam proses pemberdayaannya dengan tetap bersandar kepada Allah swt dalam setiap kekuatan, gerakan dan fikiran  yang dikeluarkan. Karena rasional tidak bisa menjadi jaminan mutlak untuk signifikansi perubahan, akan tetapi  optimisme  juga menjadi suatu kewajiban dalam merekonstruksi suatu pola dan sistem yang kemudian bisa menjadi embrio bagi individu yang potensial. 
Untuk selanjutnya, upaya yang dilakukan dalam kajianini adalah dengan mengkomparasikan hasi analisis dengan kerangka teori yang sudah ada di atas. Jika melihat dari hasil analisis, manusia memiliki potensi yang utuh, komprehensif dan  majemuk, kemauan individu menjadi pondasi penting dalam proses pemberdayaannya dengan tetap bersandar kepada Allah swt dalam setiap kekuatan, gerakan dan fikiran  yang dikeluarkan. Karena rasional tidak bisa menjadi jaminan mutlak untuk signifikansi perubahan, akan tetapi  optimisme  juga menjadi suatu kewajiban dalam merekonstruksi suatu pola dan sistem yang kemudian bisa menjadi embrio bagi individu yang potensial.  Sedangkan pada kerangka teori, minat setiap individu akan meningkat untuk belajar jika ada kemauan individu sendiri yang tinggi dan sudah menjadi pilihan prioritas, dengan harapan bisa mencapai tujuan sehingga ada perubahan sesuai dengan isyarat yang ada. 

Studi Komparatif terhadap hasil analisis dengan kerangka teori
Hasil Analisis Kajian
Kerangka Teori
Sesuai hasil analisis kajian ini, ada beberapa tahapan supaya terdapat perubahan tingkah laku dalam belajar, antaralain;
ü Adanya niat yang serius
ü Adanya tindakan
ü Pendayagunaan potensi
ü Tujuan
ü Optimistis spiritualistik
Sesuai hasil analisis, adapun kerangka teori dari simpulan beberapa teori di atas, tentang tahapan-tahapan perubahan tingkah laku dalam belajar, antaralain;
ü Adanya kemauan yang tinggi
ü Adanya prioritas pilihan
ü Harapan
ü Tujuan
ü Reward / isyarat

Dari tabel di atas, terlihat perbedaan yang urgent antara hasil analisa kajian dengan kerangka teori yang tersimpulkan dari beberapa teori di atas, pada hasil analisis kajian, terdapat kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya, memiliki pemahaman motif sipiritualisme. Hal ini menjadi satu kelebihan yang berbeda tentunya dengan simpulan kerangka teori tersebut, selain itu juga ada upaya rasionalisasi yang direalisasikan dalam bentuk tindakan yang utuh dengan lebih mnegutamakan bekal potensi dari pada bekal fisiologisny. Yang lebih menarik lagi adalah, dalam tahapannya, tidak tercantum suatu reward atau stimulus yang disediakan dalam membangkitkan minat belajar individu, karena dengan niat ibadah, salah satu ganjaran terbesar juga sudah diberikan oleh Allah swt kepada makhlukya. Selain itu mestinya juga terdapat kekurangan, adapun kekurangannya adalah belum setiap individu menerima akan hal ini, karena masing-masing memiliki  keyakinan dan kemantapan yang berbeda, dan dalam melakukan tindakan belum ada skala prioritas yang dijadikan bagian aktifitas utama untuk mencapai tujuan tertentu.   
Sedangkan pada kerangka teori, terdapat kelebihan dan kelemahan juga, jika di analisa kembali, kelebihannya adanya skala prioritas yang dijadikan bagian penting dalam merubah suatu kebiasaan negatif menjadi kebiasaan positif. Akan tetapi, juga terdapat kekurangan yang serius, yakni adanya ketergantungan pada reward dan stimulus, tentunya ini berbasis ekonomis dan sosiologis, artinya membutuhkan motivasi ektrinsik secara kontinue. Salah satu kelemahannya lagi adalah adanya pendekatan yang monoton, yakni pendekatan pemahaman rasionalisme, dan kurang begitu melihat aspek pemahaman spiritualisme, artinya belum ada keseimbangan antara akal dan hati.  Dari perbedaan tersebut di atas, adanya perbedaan yang signifikan antara analisis kajian dengan kerangka teori yang ada, untuk itu lebih tepat jika adanya keseimbangan antara rasional dengan spiritual dalam berupaya membuat suatu tahapan perubahan perilaku pada individu dari perilaku negatif menuju perilaku yang labih positif dan bermanfaat. Artinya, hal ini menjadi penting karena semua upaya dapat dilakukan dengan akal tanpa harus meninggalkan irasionalnya, yakni kekuasaan yang hakiki, kebenaran yang hakiki.    


G.   Analisis Konsep Motif Imbang
Motif Imbang, berasal dari bahasa indonesia, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, motif diartikan corak, konsep, dsb, sedangkan  imbang diartikan sebagai sebanding, sama (berat, derajat, ukuran, dsb). Filosofisnya, imbang disini merupakan suatu ukuran yang sama dalam menggunakan pendekatan, baik pendekatan rasional maupun pendekatan spiritual. Ketika pendekatan yang digunakan hanya sebatas rasional saja, maka upaya itu hanya sesuai apa yang dipandang oleh panca indera saja, akan tetapi kekuatan rohaniahnya juga penting digunakan oleh setiap individu, karena setiap manusia akan menemui masa yang diluar akal manusia. Dan ini belum bisa dilihat secara jelas oleh individu itu sendiri. Dengan teori Motif  Imbang, maka secara  filosofis ada beberapa poin yang substansial yang mengacu pada hasil kajian di atas  dalam mendefinisikan kekuatan motivasi guna mendorong individu menuju keberhasilan dalam belajar, khususnya dalam hal membaca adalah sebagai berikut; Pertama,  motivasi intrinsik individu yang ada harus diserasikan antara niat dengan tujuan, sehingga niat tersebut bukan sebatas upaya untuk merubah suatu keadaan, melainkan juga diniatkan untuk ibadah, tentunya hal ini bisa menjadi bagian penting dalam menginternalisasikan nilai-nilai sekaligus menjadi awal yang manfaat dalam membaca. Kedua, Upaya keseimbangan ini dilihat atas kondisi lingkungan individu yang kemudian menjadi bagian terpenting dalam merubah pola, tehnik dan strategi belajar dalam keadaan, waktu dan kondisi apapun. Ketiga, adanya keseimbangan antara tindakan dengan tujuan yang dilakukan oleh setiap individu, tidak sedikit individu yang menghabiskan waktunya dengan kurang fokus untuk bertindak yang seimbang dengan apa yang direncakan dan apa tujuan awal dari suatu tindakan tersebut.  Keempat, adanya upaya menjadikan belajar khususnya membaca sebagai kebutuhan yang selaras dan serasi dengan potensi individu guna penyempurnaan aspek kognitif, psikomotorik dan afektif.   


H.    Simpulan
Dari uraian di atas,  dapat disimpulkan bahwa pada substansinya motivasi merupakan unsur penting sebagai pengaruh perubahan individu untuk berbuat dan bertindak mencapai suatu keberhasilan dengan beberapa tahapan-tahapan sesuai dari hasil analisis kajian dari simpulan kerangka teori di atas. Dengan demikian, untuk mencapai perubahan tingkah laku pada individu secara intrinsik dalam proses pembelajaran, sehingga meningkatan minat belajar individu, ada beberapa tahapan dalam konsep motif imbang ini, antaralain; Pertama, Adanya niat yang serius, niat merupakan suatu upaya awal yang menjadi bagian penting dalam menentukan keberhasilan suatu aktifitas individu, niat disini lebih diutamakan adanya niat belajar bukan hanya sebagai kewajiban, melainkan juga diniatkan untuk ibadah. Kedua, adanya pilihan prioritas, setelah niat, maka adanya pilihan prioritas aktifitas oleh  individu sehingga dapat tercapai seluruh kegiatannya dengan tetap mengutamakan hal yang paling penting, dan menaggalkan hal yang kurang penting. Ketiga, adanya tindakan,   setelah melakukan pilihan prioritas, lebih tepat untuk melakukan tindakan nyata, yakni belajar dengan membaca, sedikit atau banyak dengan tetap istiqomah atau kontinue. Keempat, Pendayagunaan potensi, potensi yang ada menjadi kesatuan yang utuh dan proporsional, sehingga setiap individu percaya terhadap kemampuan dirinya dan menjadikan potensi apapun disekitarnya menjadi bagian yang potensial untuk dijadikan potensi dalam proses pembelejaran. Kelima, Adanya Fokus pada tujuan, adanya tujuan yang difokuskan, tentunya menjadi penting dalam tahapan ini, minat bisa benar-benar tumbuh ketika ada tujuan yang jelas, sasaran dan target yang terarah sehingga membutuhkan nilai-nilai keseimbangan. Keenam, Optimistis spiritualistik, salah satu upaya terakhir dengan bekal niat ibadah, maka optimis spiritualistik merupakan keharusan yang tidak bisa ditinggalkan, yakni adanya unsur internalisasi antara jiwa dengan pencipta terkait niat, tujuan dan tahapan lainnya. Tahapan inilah yang menjadikan menigkatnya budaya belajar pada anak, yakni kulturisasi intrinsik membaca.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam syafi’i. 2005.

Ahmad E.Q, Nurwadjah, Tafsir  Ayat-Ayat Pendidikan. Bandung: Marja. 2010.

Ahmadi dan Supriyono, Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. 2013.

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009.

As’ad, Aly, Terjemah Ta;limul Muta’alim. Kudus: Menara Kudus. 2007.

Asy-syafrowi, Mahmud, Indeks Ayat-Ayat Lengkap Al-Qur’an. Jakarta: Mutiara Media. 2012. 

Al-Qalami, Abu Fajar. Inti Sari Kitab Al-Hikam. Gita Media Press. 2005.

B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2014.

Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Sistem & Metode. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. 1997.

Badwilan, Ahmad Salim, Panduan Cepat Menghafal al-Qur’an  dan  Rahasia-rahasia keajaibannya. Yoyakarta: DIVA Press. 2009.

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988

Djaali, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2013.

Fauzi, Ahmad, Psikologi Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2004.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2003

................, Filsafat Pendidikan Islam, Tela’ah sejarah dan Pemikirannya. Jakarta: Kalam Mulia. 2011

................., Filsafat  Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2014.

Katsir, Ibnu, Ismail Ibn Katsir, Al-Misbahul Munir Fii Tahdzib Tafsiir Ibnu Katsir, Riyadh: Daarus Salaam Lin Nasyr Wa Tauzi, 2000, cet-II

Mangunsuwito, Kamus saku Ilmiah Populer. Jakarta: Widyatamma Pressindo: 2011.

Nata, Abudin, Tafsir ayat-ayat pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012

Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya  Media Pratama. 1999.

P. Siagian, Sondang, Teori dan Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta. 2012.

Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta; Bumi Aksara: 2009.

Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2014.

Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan. 2003.    







[1] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 67.
[2] Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hal. 12.

[3] Nata, Abudin, “Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontomporer tentang Pendidikan Islam”, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 13-17.

[7] Departeman Agama RI. 1971. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an. Jakarta.

[8] Imam Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain 2, terj. Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2015, hal.1354.
[9] Nata, Abudin, Tafsir ayat-ayat pendidikan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,2012, hal 43, yang dikutip dari karya yang berjudul al-raghib al-asfahani, Mu’jam Mufradat al-fadz al-Qur’an.
[10] Ahmad E.Q, Nurwadjah, Tafsir  Ayat-Ayat Pendidikan. Bandung: Marja. 2010, hal. 195. 
[11]Nata, Abudin, Tafsir ayat-ayat pendidikan, Ibid, hal 43,
[12] Katsir, Ibnu, Ismail Ibn Katsir, Al-Misbahul Munir Fii Tahdzib Tafsiir Ibnu Katsir, Riyadh: Daarus Salaam Lin Nasyr Wa Tauzi, terj. 2004:503-504.
[13]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Ibid, hal. 12.
[14]Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Ibid, hal. 65.
[15] Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2003, hal. 23.          
[16]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Ibid, hal. 21.
[17]Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Ibid, hal. 65
[18]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Ibid, hal. 21.
[19]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Ibid, hal. 23.
[20] Djaali, Psikologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2013, hal. v. 
[21]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.3.
[22]Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 70.
[23]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2014, hal.9.
[24]Djaali, Psikologi Pendidikan, Ibid, hal. 206. 
[25]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.3.
[26]Djaali, Psikologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2013, hal. 101. 
[27]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.5.
[28]Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2014, hal. 71.
[29]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.4.
[30][30]Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan. Ibid, hal. 71.
[31]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.3.
[32]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.14.
[33] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal.126.
[34]Ahmadi dan Supriyono, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hal.126.
[35] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 23.
[36]Djaali, Psikologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2013, hal. 99.
[37]B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 27.
[38]As’ad, Aly, Ta;limul Muta’alim, Terjemah. Kudus, Menara Kudus, 2007, hal. 53. 
[39]As’ad, Aly, Ta;limul Muta’alim, Ibid, hal. 53. 
[40]As’ad, Aly, Ta;limul Muta’alim, ter, Ibid, hal.19. 
[41]As’ad, Aly, Ta;limul Muta’alim, ter, Ibid, hal.58. 
[42] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 31.
[43] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 107.
[44]  B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 107-108.
[45] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 47-48.
[46] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 48, mengutip dari Vroom, V.H., Work and Motivation. New York: Wiley, 1964.
[47] Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 236-237, mengutip dari Frandsen, 1961, hal. 216.
[48] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 92.
[49] B. Uno, Hamzah, Teori Motivasi & pengukurannya; analisis di bidang pendidikan, Ibid, 2014, hal. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...