Membaca dari berita utama sumeks, terkait adnaya paying hukum kuota pendamping kelompok bimbingan ibadah haji bagi jama’ah. “saya melihat perlunya sinergitas sistem yang dibnagun oleh pemangku kebijakan bersama kelompok bimbingan ibadah haji, karena indikatornya bukan hanya jama’ah bisa melaksanakan ibadah haji sesuai syarat dan rukunnya saja, akan tetapi pertimbangan lain yang juga penting adalah kenyamanan dan kemantepan jama’ah dalam melaksanakan ibadah haji”.
Sesuai dengan
ketegasan peraturan pemerintah (PP) 79/2012 tentang haji, pemerintah tidak
mempunyai dasar bagi pemerintah untuk menyiapkan kuota khusus pendamping
kelompok bimbingan ibadah haji. “kelompok bimbingan ibadah haji hanya
diperbolehkan melkaukan bimbingan jama’ah selama di tanah Air. (Sumeks,
14/06/16)
Tentunya, peraturan yang dibuat oleh pemangku kebijakan di atas sudah dengan
berbagai pertimbangan yang matang yang sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan
dalam ruang lingkup nasional dan internasional. dalam ruang lingkup nasional
sendiri, baik secara struktural maupun yang lain, secara struktural tentunya
pemangku kebijakan memiliki fungsi dan tanggung jawab yang jelas terkait
penyelenggaran ibadah haji, baik dalam urusan planning, implementasi,
lebih-lebih dalam pertanggung jawabannya kepada pemangku kebijakan pusat dan
publik umumnya, atau secara teknis dan mekanisme lain yang sudah disesuaikan
dengan kebutuhan publik atau calon jama’ah. dimaksudkan adalah boleh dibilang
hal yang wajar dan mempermudah instansi dalam mengorganisir jama’ah. selain
itu, fungsi dari pemangku kebijakan juga menjadi lebih besar dalam
mengorganisir jama’ah baik ketika mulai pemberangkatan, pelaksanaan dan
penjemputannya, sehingga dengan kebijakan satu pintu yang disatukan ini bisa
menjadi bagian upaya dalam mempermudah pelaksanaan secara adminstratif,
organisatoris dan lebih penting lagi adalah mempermudah dalam kontrolnya. Dalam
ruang lingkup internasional sendiri, kuota juga sudah ditentukan jumlahnya tiap
tahun kepada seluruh negara terutama di Indonesia.
Disisilain, pertimbangan lain khususnya bagi jama’ah adalah selain
menjadi satu kebijakan yang menuntut kemandirian dalam hal ubudiyah bagi
jama’ah baik secara psikologis maupun sosilogis dalam implementasinya, hal ini
juga bisa menjadi problematika yang serius tentunya yang kebetulan dari awal
sudah terbiasa dibimbing oleh kyai atau petugas dari kelompok bimbingan ibadah
haji sebelum pemberangkatan, dari teknis, mekanisme dan tatacara ibadah yang di
ajarkan dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut. dan jika dikatakan oleh
pengamat haji dari uin syarif hidayatullah jakarta (Dadi Mardadi) perlunya
dipertimbangkan kembali kebijakan
tersebut karena tidak sedikit keluhan dai jama’ah dari pemerintah masih
kwalahan mengurusi satu kloter saja ketika di lapangan, disisilain
pertimbanganya adalah bagi kelompok bimbingan ibadah haji yang jama’ahnya sudah
sampai ribuan.
Pertimbangan yang harus
dipandang penting juga adalah tidak semua calon jam’ah haji dari Indonesia memiliki pengetahuan,
pengalaman dan kompetensi yang mumpuni dalam bidang ubudiyah maupun
dalam bidang tehnis dan mekanisme dilapangan. hal ini menjadi sulit jika
kelompok bimbingan ibadah haji tidak diikutsertakan dalam pelaksanaannya,
karena selain mengetahui jumlahnya, tentunya dalam aspek psikologis juga mengetahui
karakter masing-masing jama’ah, sehingga mempermudah mengarahkan dan
mengorganisir jama’ah tersebut, pada aspek sosiologisnya, kebiasaan dan watak
dari jama’ah yang multi dan kompleks, hal ini tentunya menjadi pertimbangan serius dalam pelaksnaan ibadah bagi calon
jama’ haji. Selain itu, dalam bidang soft skill jama’ah, salah satu
contohnya adalah kemampuan berbahasa arab atau berbahasa inggris setiap jama’ah
masih sangat rendah, hal in juga menjadi pertimbangan juga ketika pendamping
dari kelompok bimbingan ibadah haji tidak di ikutsertakan dalam kuota.
Untuk itu, sangat penting jika terdapat kemaslahatan yang merata dan
kompleks baik bagi pemangku kebijakan maupun bagi kelompok bimbingan ibadah
haji dan khususnya bagi calon jama’ah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan mensinergikan kebijakan yang ada dengan kebutuhan jama’ah ataupun
kelompok bimbingan ibadah haji itu sendiri. Pertama, tentunya dapat dilakukan dengan adanya persamaan persepsi yang sesuai dengan
visi dan misi dari pemangku kebijakan, kelompok bimbingan ibadah haji dan
khususnya dari calon jama’ah itu sendiri. Kedua, menentukan indikator bagi pelaksanaan ibadah haji yang lebih fokus
pada kemaslahatan dan kenyamanan ibadah
calon jama’ah yang tidak memberatkan pihak lain, baik pada pihak kedua
maupun pihak ketiga, hal ini dapat dilakukan dengan penyusunan pedoman ibadah haji
dengan melibatkan berbagai pihak yang berkecimpung dalam pelaksanaan ibadah haji
tersebut. Ketiga, adanya
komunikasi yang asertif dan komitmen yang tinggi terhadap hasil mufakat yang
telah dibangun dengan tetap memprioritaskan kemasahatan bagi ibadah calon
jama’ah. Semoga bermanfaat. Barakallah.
Oleh : Darul Abror, M.Pd.I
Dosen STAI As-Shiddiqiyah OKI (Peraih Beasiswa Mora Scholarship 5000 Doktor Kemenag RI di UIN Raden Fatah Palembang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar