(Suatu
Upaya Pengembangan Mutu Madrasah Berbasis Pesantren)
Latar Belakang Masalah
Realitasnya, Sampai saat
ini madrasah belum bisa mejadi pilihan unggulan bagi setiap orangtua dan anak
itu sendiri, dengan belajar dari beberapa problematika publik dengan warna-warninya
paradigma, hal ini terbukti dengan banyaknya orang tua memprioritaskan sekolah
yang berlebel “Negeri” dari pada di sekolahkan pada madrasah yang dipandang
sebagai suatu unit pendidikan yang belum siap memberikan kejelasan masa depan
anaknya, “Pekerjaan” atau boleh disebut dengan mampu memberikan kejelasan
terkait proggres secara duniawi semata setelah lulus. Bagaimana dengan
kemampuan anak saya setelah di madrasah itu?, apakah bisa menjamin kualiltasnya
dibanding dengan sekolah yang berlebel Negeri? Suatu animo masyarakat yang
perlu diluruskan dan harus segera ada upaya modernisasi paradigma dengan bukan
sebatas kesuksesan urusan duniawiya saja, melainkan juga urusan akhiratnya.
Disisilain, masih banyak
madrasah yang masih perlu suntikan pembaharuan sistem dan gerakan pembaruan (reform
movement) dalam menjawab tantangan zaman di era globalisasi ini. Jika
diamati lebih dalam, sebagian madrasah di Indonesia memiliki beberapap faktor
yang membuat kualitas madrasah itu
rendah, antaralian, masih rendahnya kompetensi pengelola, kondisi kultur
masyarakat dan kebijakan politik negara dan banyaknya beban yang harus dijalani
oleh siswa, hal ini tentunya akan berimplikasi terhadap keterlambatan sumber
daya manusia, ekonomi dan maupun perkembangan pola pikir dan sosialnya. yang
lebih parah lagi, implikasi dari globalisasi sudah benar-benar menyeret ruang
gerak dan pola serta sistem dalam sebuah kehidupan yang lebih materialistis dan
mendewakan akal. Kuatnya rasional mempengaruhi paradigma umat tentang apa dan
bagaimana dengan esensi agama yang masih menjadi penghalang pembangunan suatu
peradaban. Hal ini yang menjadi pekerjaan serius bagi setiap lembaga pendidikan
Islam tentunya.
Dengan beberapa
permasalahan demikian, menganalisis dan memberikan solusi alternatif pada era
globalisasi dengan tema “Globalisasi
dan Respon Madrasah (Suatu Upaya
Pengembangan Mutu Madrasah dan Peningkatan Kompetensi SDM Berbasis Pesantren)”, yang sehingga madrasah mampu menjadi laternatif dan memberikan
sumbangsih pola dan model yang layak dijadikan itba’ bagi lembaga lain
dan lebih terpenting lagi untuk menannamkan kembali nilai-nilai spiritualitas
yang hampir punah.
Beberapa Respons Madrasah dalam
Peningkatan Mutu dan SDM
Penguatan Kapasitas Kelembagaan Madrasah
Madrasah
merupakan realitas pendidikan yang menampung aspirasi sosial, budaya dan agama
penduduk muslim Indonesia yang secara kultural berakar kuat pada kelompok
masyarakat santri. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa, adanya pola kebijakan dari
lembaga khsusunya dari kementerian dan umumnya madrasah itu sendiri mengarah
pada sosial dan kultur yang ada di masyarakat. Sentralisasi memiliki dampak
positif bagi pemerintah tentunya, melainkan belum tentu dapat memberikan
sumbangsih yang jelas bagi pendidikan masyarakat apalagi di pedesaan, hal ni
yang sangat perlu dipertimbangkan ketika kapasitas kelembagaan ingin mewujudkan
dengan serius kemajuan madrasah di era globalisasi.
Mastuki mengutip dari Fadjar (1999:31)
mengemukakan bahwa apapun perubahan yang ingin disosong, kebijakan-kebijakan
mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yakni (1)
kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat
Islam....membina ruh dan praktek hidup Islami, (2) kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh
keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas,
berpengetahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah,
(3) kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon
tuntutan-tuntutan masa depan.
Penguatan
kapasitas kelembagaan madrasah ini sangat erat sekali kaitannya dengan public
relation tentunya jika langsung kaitanya dengan madrasah. Sejauhmana
kapasitas madrasah atau lembaga itu untuk menemukan satu persamaan persepsi,
visi dan misinya kedepan dalam mensukseskan program madrasah dan kamauan
masyarakat itu sendiri dalam hal keagamaan, setidak serta merta kemudian
diberikan alternatif yang sepihak, sehingga mengakibatkan anomali relation
antara masyarakat dan madrasah. Disislain, kepentingan berbasis masyarakat yang
diuapayakan oleh pihak pengawal kebijakan ini sangat membantu daya saing
madrasah tentunya di era global, bagaimana tidak, jika upaya tersebut dibangun
secara tepat sasaran dengan kapasitas yang cakap, maka tidak sulit madrasah
menammpak logo ikhlas beramalnya dengan tegap dan senyum, sesuatu yang penuh
dengan dinamika jika menguraikan kepentingan pada tataran atas “Kementerian
Agama”.
Upaya
lain dapat dilakukan dengan adanya kebijakan yang mengarahkan pada pendidikan
madrasah sanggup mengantarkan peserta didik memiliki penguasaan secara memadai,
baik pada sains, keterampilan dan agama tentunya, ketika sistem yang dibangun
mengarah pada penguatan madrasah itu sendiri dengan tetap memprioritaskan
nilai-nilai spiriualitasnya, maka identitas dan kualitas madrasah itu jelas dan
tetap survive dimata public. Wujud dari sebuah identitas madrasah
adalah dengan adanya kualitas alumni madrasah atau pesantren tetap bisa
bersaing di era menegangkan ini, er globalisasi dan era reformasi suatu
peradaban.
Sistem
selanjutnya, analisis penulis lebih pada dua aspek, yakni pada sistem yang
memang dibangun dan dikawal oleh pengambil kebijakan itu sendiri, baik
pemerintah pusat maupun di daerah dan
kemauan madrasah itu sendiri. Desentraliasi setidaknya memberikan celah dan
peluang bagi madrasah guna menyampaikan identitas dan mengembangan dengan pola
yang lebih fleksibel. Kaitanya dengan kemauan madrasah dapat wujudkan dengan
analogi visi dan misinya dengan pemerintah dan masyarakat.
Dapat dicontohkan dengan kebijakan
anggaran untuk peningkatan sumber daya manusia
guru madrasah, hal ini seyogyanya harus secara continue dijalankan dan
diikuti, dan seyogyanya pula tidak ada dikotomi anggaran dengan sekolah umum
atau negeri tentunya, baik untuk jumlah, tempat, penerima dan pelayanan lain
dari pemerintah, sehingga tercipta satu kesamaan sumber daya manusia antara
madrasah dan sekolah.
Idi (2011:227) mengemukakan bahwa
salah satu elemen penting dalam proses pembelajaran adalah pendidik yang
profesional.
Kenyataanya, meskipun sejumlah
pendidik memiliki profesi yang sama sebagai pendidik/ guru, mereka memiliki
perbedaan atau beragam pada level profesionalismenya. Selain itu, madrasah akan
bisa menyesuiakan identitasnya kepada msayarakat jika dikelola dengan
pengelolaan yang baik dan transparan, artinya manajemen madrasah juga tidak
bisa terlepas dengan visi dan misinya dalam mengembangkan madrasah itu lebih
berkualitas baik sumber daya manusia, keuangan dan kurikulumnya serta madrasah
itu sendiri.
Di dalam pengetahuan manajemen,
falsafah pada hakekatnya menyediakan seperangkat pengetahauan (a body of
related knowledge) untuk berpikir efektif dalam memecehkan masalah-masalah
manajemen. (Syukur, 2013:6).
Esensisnya
pedidik, dan pengelola madrasah memiliki peran yang sangat urgen dalam
eksistensi madrasah, baik dan buruknya sebuah lembaga/ madrasah ataupun
berjalan atau tidaknya madrasah sangat tergantung pada pengelolaan yang
diterapkan oleh pemimpinnya, baik pola, model maupun gaya dan lainya yang
menjadi karakteritistik madrasah tersebut, dan kelembagaan yang memberikan
kebijakan searah dengan kondisi, kemauan dan kebutuhan pendidik, masyarakat dan
madrasah tersebut.
Menjadikan Madrasah sebagai laboratorium
pemberdayaan pendidikan
Peran
dan fungsi madrasah sebagai aset utama pendidikan harus benar-benar
dioptimalkan agar dapat menjadi sebuah laboratorium pendidikan secara makro. Madrasah
merupakan lembaga yang dirangcang untuk pengajaran siswa di bawah pengawasan
pendidik dengan lebih mengutamakan penguasaan keilmuan agamanya dengan tidak
mendikotomikan keilmuan agama dan keilmuan umum yang secara strukturalnya
berada di bawah naungan Kementerian Agama yang memiliki tujuan sederajat dengan
tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk manusia yang berakhlak dan berilmu
serta mampu bersaing di era global.
Selain itu, madrasah juga bagian dari revitalisasi pendidikan Islam baik
pada sistem, manajemen dan nilai-nilai yang diajarkan dengan tetap mengutamakan
tujuan pada pembenahan akhlaq.
Paradigma
lama bagi setiap pendidik yang memaknai pendidikan secara reduktif dengan sebatas proses mengajar saja (teaching
process) harus segera dirubah, karena pada subtsansinya, mengajar bukan
sebatas menyampaiakan materi saja melainkan pendidik dituntut untuk mengawal
kemampuan siswa baik pada aspek afektif, psikomotorik dan kognitif.
Mastukki (2004:30) mengemukakan bahwa
UNESCO telah menyebutkan empat visi pendidikan, (1) learning to think..., (2)
Learning to do..., (3) learning to life together..., (4) learning
to be.., yang disimpulkan dalam kata kunci “learning how to learn”
Peningkatan kompetensi
sumber daya manusia merupakan jawaban yang tepat bagi madrasah Indonesia, madrasah bisa tetap eksis
dan memberikan kontribusi yang jelas terhadap perkembangan pendidikan bangsa
jika sumber daya manusianya benar-benar memahami substansi sebagai seorang
pendidik. Unesco di atas telah menjelaskan secara akurat dan akuntabel bahwa pendidikan bukan semata proses
pengajaran semata saja, melainkan bagaimana siswa mampu untuk berpikir (learning
to think) dengan logis, rasional dan ilmiah serta berani
menyampaikan pendapatnya serta memiliki
semangat yang tinggi.
Kemudian selain itu,
pendidikan juga merupakan suatu proses untuk belajar berbuat atau belajar tentang
kehidupan (Learning to do), bagaiman seorang siswa dididik belajar untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri dengan sesuai “syari’at” dalam
perspektif Islamnya, dengan tetap diarahkan pada pendidikan yang lebih
mengutamakan kemampuan secara mandiri dari diri siswa tersebut, atau lebi
dikenal dengan how to solve the problem.
Selain itu, pendidikan juga memiliki visi untuk belajar hidu bersama (learning
to life together), aspek sosial sangatlah kental pada poin ini,
bagaimana seorang siswa didik dengan multi pendekatan dengan menjelaskan bahwa
siswa hidup tetap membutuhkan orang lain dan tidak bisa untuk hidup sendiri
dengan beragam latarbelakang, baik agama, suku, jenis kelamin, dan status soal
lainnya, lebih-lebih di era globalisasi. Pada visi yang ke empat adalah siswa belajar untuk menjadi diri sendiri (learning
to be), dimaksudkan bahwa
agar seorang pembelajar atau siswa mampu untuk berdikari, percaya diri dan
tidak ketergantungan dengan potensi orang lain, sehingga siswa mampu menjawab
kebutuhannya dengan segenap pengethuan yang mereka miliki tetap priporitaskan
kemampuan sendiri daripada percaya dengan orang lain.
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh
Ramayulis (1994:158) bahwa di dalam madrasah berlangsung proses komunikasi
pedagogis antara pendidk, peserta didik, yang darinya diharapkan mengarah
kepada tercapainya tujuan instruksional. Oleh karena itu, madrasah merupakan salah satu tempat
sekaligus media berinteraksi antar satu anak dengan anak lain yang didesain
dengan sistem pendidikan Islam yang lebih komprehensif.
Islam
memberikan jawaban dengan komprehensifnya dalam pelbagai aspek permasalahan
dalam pendidikan, seyogyanya juga, pendidikan madrasah di Indonesia
mengejewantahkan sistem dan pola yang lebih komprehensif pula dengan
heterogenitas sumber daya manusianya, walaupun masih dalam “proses” peningkatan
kompetensi. Madrasah bukan sebatas tempat untuk belajar ilmu pengetahuan saja,
melainkan madrasah juga merupakan media berinteraksi antar satu anak dengan
anak yang lainnya, dan siswa dengan guru atau kiyai nya. Lebih-lebih dalam
pesantren, erlu adanya suatu upaya yang lebih merendah diri kepada jika
dihadapan kyai, “tawadlu” bahasa yang tepanya, sehingga benar-benar
menciptakan suasana harmonis dalam sebuah pendidikan, dan inilah substansi dari
suatu karakter santri atau lebih tepat dengan akhlaq santri.
Belajar dari Tradisi Pesantren
Esensinya,
madrasah di Indonesia telah memberikan sumbangsih yang jelas terhadap
pembaharuan pendidikan Islam sampai hari ini. Hal ini juga tidak bisa terlepas
dengan ikatan atau hubungan yang terjalin antara madrasah timur tengah dengan
pesantren di Indonesia di anggap memiliki latar belakang sendiri. Padahal
embrio madrasah adalah pesantren yang dengan tekad dan jihad ilmiah dan
spiritualnya para pendiri tokoh seperti Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan
tentunya.
Idi (2006:20) mengemukakan bahwa secarsa historis
kelahiran madrasah menjadi lambang kebangkitan dari sistem pendidikan Islam.
Sebagai lembaga pendidikan yang unik dan khas, awal keberadaan pesantren di
Indonesia, khususnya di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana
Malik Ibrahim (w.1419 H), atau dikenal sebagai spiritual father
walisongo. Haedari dalam (Dhofier, 1982. hlm. 34).
Di
Indonesia, madrasah secara historis sangat melekat dengan pondok pesantren,
baik pada sistem, manajemen, serta pola dan gaya kepemimpinan kyai yang menjadi
salah satu kharisma tersendiri di masyarakat. Dari satu generasi ke generasi
penerusnya, para kyai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan
putra-putrinya untuk menjadi pemimpin dalam pesantren ataupun madrasah mereka.
Syukur (2013:201), mengemukakan bahwa
sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dari perut pesantren, maka
pesantren harus siap dijadikan kiblat bagi pengembangan madrasah.
Dapat
diartikan bahwa dalam proses pengelolaan atau manajemennya madrasah bisa
melihat dari pengembangan pesantren-pesantren yang telah ada, agar madrasah
tetap survive dalam sistem pendidikan nasional (SPN) dibutuhkan konsep
dalam mengelola madrasah yang baik dan tepat.
Dan madrasah juga harus tetap memprioritaskan khalifah yang menguasai
teknologi dan beragama.
Sesuai dengan
dikemukakan Wahid (2007: 183) bahwa prinsip yang digunakan dalam pembenahan dan
pengembangan pesantren adalah diktum yang sudah lama dikenal kalangan pesantren
sendiri yaitu memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan
hal-hal yang baru yang lebih baik, (al-muhāfadlatu ‘ala al-qodhīmi
ash shālih ma’a al akhzu bī al jadīdi al ashlāh).
Diktum pesantren
yang sudah ada yakni “memelihara hal-hal baik
yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik”, artinya
keikutsetaan pesantren salaf pada pesantren khalaf bisa jadi dalam program, ataupun
yang lainnya itu juga sah-sah saja selama tetap mempertahankan yang lama yang
baik dan yang di ambil itu adalah hal yang lebih baik bagi pesantren dan masa
depan santri khsususnya di era globalisasi.
Pesantren harus membuka diri secara proporsional,
khususnya dalam bidang pengembangan SDM pada madrasah maupun pesantren itu
sendiri, sehingga era globaliasi akan tetap menjadi pilihan dan bagian yang di
sistemkan dalam sebuah madrasah, hal ini tentunya tidak terlepas dari penanaman
nilai-nilai tawadlu’ yang di contohkan oleh kyai terhadap
santri-santrinya.
Modernisasi Sistem
dan Muatan Pendidikan Madrasah
Suka
atau tidak, mau atau tidak mau, siap
atau tidak siap semua madrasah dihadapkan dengan globalisasi yang telah menjadi
bagian dari suatu pola dan sistem dalam
pendidikan. Globalisasi merupakan produk barat yang dihidangkan di dunia dengan
mulai pada abad ke 15 masehi yang lalu,
dengan mengedepankan akal dan lebih materialistis. Indonesia sebenrnya
belum siap jika dibahasakan oleh jalaludin rahmat, karena produk Indonesia ini masih seperti
kaset manusia dan manusia-manusia kaset.
Sebenarnya ironis mendengar sebuah
pernyataan seperti hal itu, akan tetapi ada beberapa dampak yang baik pula
tentunya dalam madrasah. Konsep
Idi (2006:65) juga menjelaskan istilah
“pembaruan” merupakan alih bahasa dari istilah itu pembaruan, tajdid,
dan modernisasi.
Berkenaan dengan pembaruan, pola pikir
dan sikap pandang kaum muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi
Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan pola
pikir dan sikap pandang kaum muslim ke pagkal kemurnian Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan al-Hadits. (Idi mengutip Iqbal, 1966:158-192).
Selain itu, kemunculan serta berkembangnya tidak bisa dilepaskan
dari gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh organisasi keislaman di
Jawa, Sumatera maupun Kalimantan, (Mastukki mengutip dari Noer, 1995:12).
Dengan demikian, dalam
pembaharuan madrasah yang unggul memerlukan sumberdaya yang kreatif, inovatif dan bertanggung jawab dalam mencapai visi dan
misinya. Madrasah dikenal sebagai lembaga yang lebih dominan dalam penguasaan
keilmuan keagamaan. Sehingga hal ini menjadi karakteristik yang memang harus
dikembangkan dalam menyesuaikan keadaan
dan perkembangan zaman. Terutama pada aspek manajemen dan kemauan yang tinggi
seorang pemimpim madrasah itu sendiri.
Bagaimanapun juga, suatu bentuk
pembaharuan tentunya memerlukan suatu wadah dan strategi dalam rangka menjadi
tujuan yang diharapkan. (Idi dan Suharto, 2006:71).
Nata, mengutip dari (Maksum, 1999:97),
mengemukakan bahwa madrasah sebagai suatu sistem pendidikan Islam berkelas dan
mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non kegamanaan sudah tampak sejak
awall abad XX.
Untuk
itu, perubahan secara terus menerus dialami manusia dalam menjalani kehidupan,
pemikiran-pemikiran teoritis tentang
perubahan-perubahan manusia yang dikenal dengan perubahan sosial. Dan
hal ini menjadi salah satu pertimbangan besar dalam ilmu sosiologi.
Perubahan-perubahan sosial yang direncanakan dengan gaya sosial seorang
pemimpin yang sesuai sangat membantu
madrasah dalam efektifitas dan pengembagan program madrasah baik berbasis
masyarakat atau intern saja.
Disisilain Nata, (2001:187),
menjelaskan bahwa madrasah dalam dekade
terakhir abad XX ini merupakan lembaga
pendidikan alternatif bagi para orang tua untuk menjadi tempat penyelenggara
pendidikan bagi putra-putrinya. Hal ini terlihat dengan beberapa daerah tertentu madrasah meningkat cukup tajam dari
tahun ketahun, oleh karena itu, peran leader dalam menajamen lembaga tesebut sangat
menjadi tolak ukur dalam kemajuan dan kemunduran madrasah.
Muatan
kurikulum merupakan salah satu komponen utama dalam
pondok pesantren yang tidak dapat ditinggalkan. Kurikulum dalam pesantren salaf
sangat dominan dengan pembelajaran kitab klasik dengan tujuan untuk mendidik
calon-calon ulama’. Pendidikan dari
pesantren seyogyanya tetap diletarikan sehingga menjadi salah satu model muatan
yang menjawab dari era globalisasi.
Dengan demikian, madrasah berbasis pesantren memiliki rencana yang jelas
atau perubahan yang direncanakan (Planned-change)
dalam mengejewantahkan dan nilai-nilai spiritualitas dalam diri manusia
yang dimulai dari sumber daya manusianya, Kyai jika dalam pesantren, ustadz,
dan kepada santri dan orang tuanya.
Dhofier (2011, hal. 87) mengemukakan bahwa dalam
pesantren terdapat kitab-kitab klasik yang diajarkan, antaralain; (a) Nahwu (Syntax)
dan sharaf (morfologi), (b) fiqih, (c), Usul Fiqh, (d) Hadits, (e) Tafsir, (f)
Tauhid, (g) Tasawuf dan etika, (h) cabang-cabang lain seperti tarikh dan
balāghah.
Nata (2001:195), mengemukakan bahwa
madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang di dalam kurikulumnya
memuat materi pelajaran agama dan pelajaran umum, dimana mata pelajaran agama
pada madrasah lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran agama pada
sekolah umum.
Dimaksudkan bahwa dengan
adanya lembaga sekolah atau madrasah, maka ini merupakan media sosial anak
sekaligus media sosialisasi beberapa program dalam mengembangkan kompetensi
anak, sehingga sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya, bukan hanya sebagai
media pembelajaran di bangku sekolah. Pada
substansinya, manajemen merupakan aspek terpenting dalam madrasah atau sekolah,
ini erat kaitanya dengan pemimpin yang kompeten dan kompetensi pendidik tentunya,
baik pada aspek planning. Organizing, actuating, implementating dan
evaluating. Pendidik profesional juga menjadi slaah satu syarat mutlak dalam
kemajuan pendidikan bangsa.
Madrasah:
Memprioritaskan Khalifah yang Berteknologi dan Berakhlaq
Pendidikan
Islam sebagai solusi alternatif dalam menata kembali kerusakan-kerusakan tata
nilai dunia, tinggal yang perlu di
persiapkan adalah suatu konsep aplikatif dalam mewujudkan khalifah madrasah
yang berteknologi dan berakhalq. Dengan sendirinya ketika khalifah madrsah
sudah berteknologi dan berakhalq maka globalisasi akan benar-benar menjadi
suatu pola media yang menarik dan tepat bagi pengembangan madrasah itu sendiri.
Dalam ilmu sosial, istilah pemimpin di
identikkan dengan elite, yang lazim di definisikan sebagai anggota suatu
kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya serta
berkuasa. (Idi, 2015:247).
Manusia sebagai seorang khalifah, Allah swt berfirman :
واذ قال ربك للملئكة انى جا
عل فى الارض خليفة
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS.
Al-Baqarah; 30).
Ayat
al-Qur’an dan hadits di atas sangat jelas telah menguraikan bahwa setiap
manusia merupakan pemimpin dibanding dengan makhluk yang lain. Yakni suatu kaum
yang akan menggantikan suatu kaum lainnya, kurun demi kurun, generasi demi
generasi (Tafsir Ibnu Katsir juz 1, 2005: 99).
Khalifah dalam kamus besar bahasa arab
diartikan sebagai khalifah atau pemimpin, dengan lebih tepatnya dalam bahasa
inggrisnya adalah leader.
Kepemimpinan pada hakekatnya adalah membahas masyarakat
manusia dengan seluk beluknya. Manusia adalah makhluk sosial, zoon politikon.
Secara naluriah membutuhkan bergaul dan membutuhkan manusia lain, dalam
prosesnya mereka membentuk kelompok-kelompok, masyarakat, berbangsa-bangsa dan
bernegara, yang giliranya membutuhkan pemimpin.
(Syukur, 2013:15),
Dari
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa leadership merupakan
suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam memengaruhi orang lain
dengan tetap menjunjung nilai-nilai sosial baik dalam kondisi dan hal apapun
guna mencapai tujuan tertentu. Salah satu fungsi yang dilakukan oleh seorang
pemimpin adalah menjadi “pelayan” atau istilahnya sebagai public service.
Kebanyakan pemimpin sekarang tidak sedikit kita jumpai sebaliknya, yakni
pemimpin yang selalu ingin dilayani oleh orang lain, dalam pendekatan sosial,
hal ini sangat jauh dari esensi leadership itu sendiri.
Leadership
dalam persepektif sosial lebih menekankan adanya upaya yang lebih substantif
dalam memberikan service kepada public, hal ini dapat dilakukan dengan
fleksibel dan efisien, dengan cukup memberikan senyum atau jual senyum juga
bisa menjadi salah satu awal dalam melayani public. Ramah, sopan, jujur,
adil dan berwibawa merupakan beberapa kriteria sosok leader yang tepat
untuk dijadikan uswah dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan
tentunya. Pada aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh khalifah madrasah,
setidaknya memiliki integritas yang sesuai
dengan visi dan misi pendidikan dan lembaga atau madrasah itu sendiri.
Secara umum tugas dan peran kepala sekolah
memiliki lima dimensi kompetensi sebagaimana termaktub pada peraturan menteri pendidikan
nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala
Sekolah/ Madrasah, yaitu kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan,
supervisi dan kompetensi sosial. (Rusman, 2012:7).
Dengan
demikian, gaya kepemimpinan dalam
madrasah sangat menentukan strategi pencapaian visi dan misi dari lembaga itu sendiri. Dari pembahasan di atas, maka madrasah,
manajemen dan leadership adalah satu bangunan yang utuh dalam mengorganisir
lembaga dan sistem pendidikan menuju
visi dan misi lembaga, leader, serta pola manajemen yang sudah dibangun.
Selain itu, madrasah masih
membutuhkan leadership yang
sesuai dengan kebutuhan dan mampu menyelesaikan problematika sosial, baik
antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan orang tua, masyarakat
dengan lembaga ataupun pemerintah dengan seluruh komponen yang ada di
dalam madrasah itu sendiri.
Idi (2015:298), mengemukakan bahwa
pemimpin yang ideal, dalam perspektif Islam, merupakan pemimpin yang
perilakunya tidak menyimpang dari “garis” kebenaran yang diwahyukan oleh agama,
menjunjung tinggi akhlakul karimah, adil, memberi rasa aman, dan menyejukkan
bagi pengikut/ umat.
Pernyataan Idi di atas seirama dengan firman
Allah tentang sifat pemimpin,
ان الله يامر بلعد ل
والاحسن
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (QS. An-Nahl : 90).
Dengan
demikian, ketika pemimpin madrasah yang efektif
merupakan pemimpin yang mampu mengelola madrasah dengan mengutamakan dan
menjunjung tinggi aspek perilaku, adil, bijakasana, transparan, tanggung jawab,
lemah lembut agar dapat mencapai tujuan tertentu dan tidak membebani
anggotanya. Dan ini juga sudah dicontohkan tentunya dalam Islam oleh Rasulullah
SAW. Transparansi seorang leader sangat
penting, gejala-gejala sosial yang sudah merambah pada nilai-nilai kepercayaan
bawahan terhadap atasan sangat erat kaitanya dengan adanya “pengelolaan financial
”, untuk itu karakter seorang pemimpin sangat berpengauh pada keberhasilan
program madrasah.
Sangat
jelas bahwa, seorang pemimpin harus lebih kreatif dan inovatif dibanding dengan
yang lain dalam menyelesaikan masalah. Substansinya ada upaya-upaya yang
efektif dan efisien serta dengan penuh kasih sayang dalam melaksanakan tanggung
jawabnya sehingga terdapat kemudahan dan great yang tinggi dihadapan
public dengan sendirinya tanpa direncanakan. Selain itu, gaya sosial seorang khalifah
madrasah juga sangat penting dalam mengubah keadaan sosial yang lebih baik di
lingkungan madrasah, karena dengan perubahan keadaan sosial, maka tujuan
sosialpun bisa terwujud yang sesuai
degan visi dan misi madrasah itu sendiri. Tidak bisa dibuat remeh, gaya juga
sangat penting dan menjadi bagian integral dalam pengembangan dan komunikais
dengan masyarakat pada umumnya. Disisilain, untuk menuju efektifitas
kepemimpinan madrasah, kepemimpinan seseorang (pemimpin) harus mempunyai
sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis. Dimulai dari
kepemimpinan erat hubunganya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat
yang agraris dimana belum ada
spesialisnya, biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang kehidupan
masyarakat.
M.N. Ibad (2010:138), Pemimpin yang
besar adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang
dipimpinnya) dengan apa adanya, “bisa gaul” istilah gusmiek, dan “memanusiakan
manusia” istilah gusdur.
Dengan demikian, pada subtansinya seorang Kyai memiliki
nilai kelebihan terutama dibidang spiritualisme, serta nilai karomah dan
keberkahan yang kuat yang sekaligus merupakan amanah dari Allah swt. Kuat
dan luasnya hubungan tali kekerabatan
kyai telah menghasilkan integrasi dan persatuan para kyai. Terkadang, kyai juga
menikahkan anaknya dengan santri yang cerdas dan memiliki kemampuan dalam
memimpin sebuah lembaga, sehingga dengan demikian nilai geneus tetap terjaga
oleh pola kekerabatan secara sosial dalam pesantren dan atau madrsah untuk
melahirkan generasi yang militan dan berakhlaq.
Uraian di atas, telah menjelaskan bahwa madrasah harus
benar-benar dijalankan oleh sosok khlaifah yang memang memiiki kecakapan
berteknologi dan berakhalq dalam mengelola madrasah, sehingga mampu
mengakomodir karakter bawahannya, lebih-lebih mencetak generasi tersebut sudah
dari jauh-jauh hari, sehingga berimplikasi positif terhadap perkembangan
madrasah. Salah satu bentuk eksistensi madrasah itu sendiri adalah dengan semakin
tambah waktu, juga bertambah banyak madrasah di Indonesia, serta adanya
generasi-generasi baru yang tidak kalah saing dengan sekolah-sekolah negeri
maupun sekolah yang unggulan, karena substansinya madrasah lebih mengutamakan
penguasaan keagamaannya terutama madrasah dalam naungan pondok pesantren dengan
sistem kurikulum yang terintegratif.
Kesimpulan
Globalisasi
merupakan produk modernitas (Barat) yang
bersendikan antroposentrisme yang
hampir tak terelakkan, dengan lebih memfungsikan “mendewakan” akal/
rasionalitasnya dalam hidup, materialistis dan sehingga berimplikasi pada paradigma
bahwa agama adalah salah satu penghambat kemajuan suatu dunia, Dengan hal
demikian, lembaga pendidikan Islam “Madrasah”
harus tampil dengan penyempurnaan baik mutu maupun SDM nya guna menjadi
solusi alternatif dalam mengembalikan nilai-nilai spiritualitas umat dengan
tetap menjadikan globalisasi sebagai media sekaligus tantangan dalam pendidikan
Islam. Diktum pesantren yang perlu dijadikan landasan pengembangan oleh
madrasah dalam merespon globalisasi yaitu memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil
mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik, (al-muhāfadlatu ‘ala
al-qodhīmi ash shālih ma’a al akhzu bī al jadīdi al ashlāh).
Adapun beberapa
upaya yang dapat dilakukan madrasah
dalam merespons globalisasi antraralain dengan; (1) Melakukan penguatan kapasitas kelembagaan madrasah, (2) Menjadikan
madrasah sebagai laboratorium pemberdayaan pendidikan, (3) Belajar dari tradisi
pesantren (4) Modernisasi sistem dan muatan pendidikan madrasah, (5) Madrasah memprioritaskan khalifah yang berteknologi dan beragama
“Berakhlaq”. Beberapa upaya tersebut setidaknya mencoba untuk menjawab
kekurangan internal madrasah dalam merespon globalisasi, Sehingga asda
balancing antara pengaruh globaliasi dengan kesiapan madrasah itu sendiri dalam
merespons dan menjadi alternatif untuk mengembalikan nilai-nilai dan jati diri
manusia dalam aspek agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar