Halaman

Sabtu, 02 Juli 2016

GLOBALISASI DAN RESPONS MADRASAH




(Suatu Upaya Pengembangan Mutu Madrasah Berbasis Pesantren)


Latar Belakang Masalah

Realitasnya, Sampai saat ini madrasah belum bisa mejadi pilihan unggulan bagi setiap orangtua dan anak itu sendiri, dengan belajar dari beberapa problematika publik dengan warna-warninya paradigma, hal ini terbukti dengan banyaknya orang tua memprioritaskan sekolah yang berlebel “Negeri” dari pada di sekolahkan pada madrasah yang dipandang sebagai suatu unit pendidikan yang belum siap memberikan kejelasan masa depan anaknya, “Pekerjaan” atau boleh disebut dengan mampu memberikan kejelasan terkait proggres secara duniawi semata setelah lulus. Bagaimana dengan kemampuan anak saya setelah di madrasah itu?, apakah bisa menjamin kualiltasnya dibanding dengan sekolah yang berlebel Negeri? Suatu animo masyarakat yang perlu diluruskan dan harus segera ada upaya modernisasi paradigma dengan bukan sebatas kesuksesan urusan duniawiya saja, melainkan juga urusan akhiratnya.
Disisilain, masih banyak madrasah yang masih perlu suntikan pembaharuan sistem dan gerakan pembaruan (reform movement) dalam menjawab tantangan zaman di era globalisasi ini. Jika diamati lebih dalam, sebagian madrasah di Indonesia memiliki beberapap faktor yang membuat kualitas  madrasah itu rendah, antaralian, masih rendahnya kompetensi pengelola, kondisi kultur masyarakat dan kebijakan politik negara dan banyaknya beban yang harus dijalani oleh siswa, hal ini tentunya akan berimplikasi terhadap keterlambatan sumber daya manusia, ekonomi dan maupun perkembangan pola pikir dan sosialnya. yang lebih parah lagi, implikasi dari globalisasi sudah benar-benar menyeret ruang gerak dan pola serta sistem dalam sebuah kehidupan yang lebih materialistis dan mendewakan akal. Kuatnya rasional mempengaruhi paradigma umat tentang apa dan bagaimana dengan esensi agama yang masih menjadi penghalang pembangunan suatu peradaban. Hal ini yang menjadi pekerjaan serius bagi setiap lembaga pendidikan Islam tentunya.
Dengan beberapa permasalahan demikian, menganalisis dan memberikan solusi alternatif pada era globalisasi dengan tema Globalisasi dan Respon Madrasah  (Suatu Upaya Pengembangan Mutu Madrasah dan Peningkatan Kompetensi SDM Berbasis Pesantren)”, yang sehingga madrasah mampu menjadi laternatif dan memberikan sumbangsih pola dan model yang layak dijadikan itba’ bagi lembaga lain dan lebih terpenting lagi untuk menannamkan kembali nilai-nilai spiritualitas yang hampir punah.
Beberapa Respons Madrasah dalam Peningkatan Mutu dan SDM
Penguatan Kapasitas Kelembagaan Madrasah
          Madrasah merupakan realitas pendidikan yang menampung aspirasi sosial, budaya dan agama penduduk muslim Indonesia yang secara kultural berakar kuat pada kelompok masyarakat santri. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa, adanya pola kebijakan dari lembaga khsusunya dari kementerian dan umumnya madrasah itu sendiri mengarah pada sosial dan kultur yang ada di masyarakat. Sentralisasi memiliki dampak positif bagi pemerintah tentunya, melainkan belum tentu dapat memberikan sumbangsih yang jelas bagi pendidikan masyarakat apalagi di pedesaan, hal ni yang sangat perlu dipertimbangkan ketika kapasitas kelembagaan ingin mewujudkan dengan serius kemajuan madrasah di era globalisasi.
Mastuki mengutip dari Fadjar (1999:31) mengemukakan bahwa apapun perubahan yang ingin disosong, kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yakni (1) kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam....membina ruh dan praktek hidup Islami, (2)  kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah, (3) kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.    

          Penguatan kapasitas kelembagaan madrasah ini sangat erat sekali kaitannya dengan public relation tentunya jika langsung kaitanya dengan madrasah. Sejauhmana kapasitas madrasah atau lembaga itu untuk menemukan satu persamaan persepsi, visi dan misinya kedepan dalam mensukseskan program madrasah dan kamauan masyarakat itu sendiri dalam hal keagamaan, setidak serta merta kemudian diberikan alternatif yang sepihak, sehingga mengakibatkan anomali relation antara masyarakat dan madrasah. Disislain, kepentingan berbasis masyarakat yang diuapayakan oleh pihak pengawal kebijakan ini sangat membantu daya saing madrasah tentunya di era global, bagaimana tidak, jika upaya tersebut dibangun secara tepat sasaran dengan kapasitas yang cakap, maka tidak sulit madrasah menammpak logo ikhlas beramalnya dengan tegap dan senyum, sesuatu yang penuh dengan dinamika jika menguraikan kepentingan pada tataran atas “Kementerian Agama”.
          Upaya lain dapat dilakukan dengan adanya kebijakan yang mengarahkan pada pendidikan madrasah sanggup mengantarkan peserta didik memiliki penguasaan secara memadai, baik pada sains, keterampilan dan agama tentunya, ketika sistem yang dibangun mengarah pada penguatan madrasah itu sendiri dengan tetap memprioritaskan nilai-nilai spiriualitasnya, maka identitas dan kualitas madrasah itu jelas dan tetap survive dimata public. Wujud dari sebuah identitas madrasah adalah dengan adanya kualitas alumni madrasah atau pesantren tetap bisa bersaing di era menegangkan ini, er globalisasi dan era reformasi suatu peradaban.
          Sistem selanjutnya, analisis penulis lebih pada dua aspek, yakni pada sistem yang memang dibangun dan dikawal oleh pengambil kebijakan itu sendiri, baik pemerintah pusat maupun di daerah  dan kemauan madrasah itu sendiri. Desentraliasi setidaknya memberikan celah dan peluang bagi madrasah guna menyampaikan identitas dan mengembangan dengan pola yang lebih fleksibel. Kaitanya dengan kemauan madrasah dapat wujudkan dengan analogi visi dan misinya dengan pemerintah dan masyarakat.
Dapat dicontohkan dengan kebijakan anggaran untuk peningkatan sumber daya manusia  guru madrasah, hal ini seyogyanya harus secara continue dijalankan dan diikuti, dan seyogyanya pula tidak ada dikotomi anggaran dengan sekolah umum atau negeri tentunya, baik untuk jumlah, tempat, penerima dan pelayanan lain dari pemerintah, sehingga tercipta satu kesamaan sumber daya manusia antara madrasah dan sekolah.  
Idi (2011:227) mengemukakan bahwa salah satu elemen penting dalam proses pembelajaran adalah pendidik yang profesional.
Kenyataanya, meskipun sejumlah pendidik memiliki profesi yang sama sebagai pendidik/ guru, mereka memiliki perbedaan atau beragam pada level profesionalismenya. Selain itu, madrasah akan bisa menyesuiakan identitasnya kepada msayarakat jika dikelola dengan pengelolaan yang baik dan transparan, artinya manajemen madrasah juga tidak bisa terlepas dengan visi dan misinya dalam mengembangkan madrasah itu lebih berkualitas baik sumber daya manusia, keuangan dan kurikulumnya serta madrasah itu sendiri.  
Di dalam pengetahuan manajemen, falsafah pada hakekatnya menyediakan seperangkat pengetahauan (a body of related knowledge) untuk berpikir efektif dalam memecehkan masalah-masalah manajemen. (Syukur, 2013:6).
          Esensisnya pedidik, dan pengelola madrasah memiliki peran yang sangat urgen dalam eksistensi madrasah, baik dan buruknya sebuah lembaga/ madrasah ataupun berjalan atau tidaknya madrasah sangat tergantung pada pengelolaan yang diterapkan oleh pemimpinnya, baik pola, model maupun gaya dan lainya yang menjadi karakteritistik madrasah tersebut, dan kelembagaan yang memberikan kebijakan searah dengan kondisi, kemauan dan kebutuhan pendidik, masyarakat dan madrasah tersebut.   


Menjadikan Madrasah sebagai laboratorium pemberdayaan pendidikan
          Peran dan fungsi madrasah sebagai aset utama pendidikan harus benar-benar dioptimalkan agar dapat menjadi sebuah laboratorium pendidikan secara makro. Madrasah merupakan lembaga yang dirangcang untuk pengajaran siswa di bawah pengawasan pendidik dengan lebih mengutamakan penguasaan keilmuan agamanya dengan tidak mendikotomikan keilmuan agama dan keilmuan umum yang secara strukturalnya berada di bawah naungan Kementerian Agama yang memiliki tujuan sederajat dengan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk manusia yang berakhlak dan berilmu serta mampu bersaing di era global.  Selain itu, madrasah juga bagian dari revitalisasi pendidikan Islam baik pada sistem, manajemen dan nilai-nilai yang diajarkan dengan tetap mengutamakan tujuan pada pembenahan akhlaq.
            Paradigma lama bagi setiap pendidik yang memaknai pendidikan secara reduktif  dengan sebatas proses mengajar saja (teaching process) harus segera dirubah, karena pada subtsansinya, mengajar bukan sebatas menyampaiakan materi saja melainkan pendidik dituntut untuk mengawal kemampuan siswa baik pada aspek afektif, psikomotorik dan kognitif.
Mastukki (2004:30) mengemukakan bahwa UNESCO telah menyebutkan empat visi pendidikan, (1) learning to think..., (2) Learning to do..., (3) learning to life together..., (4) learning to be.., yang disimpulkan dalam kata kunci “learning how to learn”
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia merupakan jawaban yang tepat bagi  madrasah Indonesia, madrasah bisa tetap eksis dan memberikan kontribusi yang jelas terhadap perkembangan pendidikan bangsa jika sumber daya manusianya benar-benar memahami substansi sebagai seorang pendidik. Unesco di atas telah menjelaskan secara akurat dan  akuntabel bahwa pendidikan bukan semata proses pengajaran semata saja, melainkan bagaimana siswa mampu untuk berpikir (learning to think) dengan logis, rasional dan ilmiah serta berani menyampaikan pendapatnya  serta memiliki semangat yang tinggi.
Kemudian selain itu, pendidikan juga merupakan suatu proses untuk belajar berbuat atau belajar tentang kehidupan (Learning to do), bagaiman seorang siswa dididik belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dengan sesuai “syari’at” dalam perspektif Islamnya, dengan tetap diarahkan pada pendidikan yang lebih mengutamakan kemampuan secara mandiri dari diri siswa tersebut, atau lebi dikenal dengan how to solve the problem.  Selain itu, pendidikan juga memiliki visi untuk belajar hidu bersama (learning to life together), aspek sosial sangatlah kental pada poin ini, bagaimana seorang siswa didik dengan multi pendekatan dengan menjelaskan bahwa siswa hidup tetap membutuhkan orang lain dan tidak bisa untuk hidup sendiri dengan beragam latarbelakang, baik agama, suku, jenis kelamin, dan status soal lainnya, lebih-lebih di era globalisasi. Pada visi yang ke empat adalah  siswa belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be),  dimaksudkan bahwa agar seorang pembelajar atau siswa mampu untuk berdikari, percaya diri dan tidak ketergantungan dengan potensi orang lain, sehingga siswa mampu menjawab kebutuhannya dengan segenap pengethuan yang mereka miliki tetap priporitaskan kemampuan sendiri daripada percaya dengan orang lain.
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Ramayulis (1994:158) bahwa di dalam madrasah berlangsung proses komunikasi pedagogis antara pendidk, peserta didik, yang darinya diharapkan mengarah kepada tercapainya tujuan instruksional. Oleh karena itu, madrasah merupakan salah satu tempat sekaligus media berinteraksi antar satu anak dengan anak lain yang didesain dengan sistem pendidikan Islam yang lebih komprehensif.

            Islam memberikan jawaban dengan komprehensifnya dalam pelbagai aspek permasalahan dalam pendidikan, seyogyanya juga, pendidikan madrasah di Indonesia mengejewantahkan sistem dan pola yang lebih komprehensif pula dengan heterogenitas sumber daya manusianya, walaupun masih dalam “proses” peningkatan kompetensi. Madrasah bukan sebatas tempat untuk belajar ilmu pengetahuan saja, melainkan madrasah juga merupakan media berinteraksi antar satu anak dengan anak yang lainnya, dan siswa dengan guru atau kiyai nya. Lebih-lebih dalam pesantren, erlu adanya suatu upaya yang lebih merendah diri kepada jika dihadapan kyai, “tawadlu” bahasa yang tepanya, sehingga benar-benar menciptakan suasana harmonis dalam sebuah pendidikan, dan inilah substansi dari suatu karakter santri atau lebih tepat dengan akhlaq santri.  


Belajar dari Tradisi Pesantren
            Esensinya, madrasah di Indonesia telah memberikan sumbangsih yang jelas terhadap pembaharuan pendidikan Islam sampai hari ini. Hal ini juga tidak bisa terlepas dengan ikatan atau hubungan yang terjalin antara madrasah timur tengah dengan pesantren di Indonesia di anggap memiliki latar belakang sendiri. Padahal embrio madrasah adalah pesantren yang dengan tekad dan jihad ilmiah dan spiritualnya para pendiri tokoh seperti Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan tentunya.
Idi (2006:20) mengemukakan bahwa secarsa historis kelahiran madrasah menjadi lambang kebangkitan dari sistem pendidikan Islam.
Sebagai lembaga pendidikan yang unik dan khas, awal keberadaan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim (w.1419 H), atau dikenal sebagai spiritual father walisongo. Haedari dalam (Dhofier, 1982. hlm. 34).
            Di Indonesia, madrasah secara historis sangat melekat dengan pondok pesantren, baik pada sistem, manajemen, serta pola dan gaya kepemimpinan kyai yang menjadi salah satu kharisma tersendiri di masyarakat. Dari satu generasi ke generasi penerusnya, para kyai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan putra-putrinya untuk menjadi pemimpin dalam pesantren ataupun madrasah mereka.
Syukur (2013:201), mengemukakan bahwa sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dari perut pesantren, maka pesantren harus siap dijadikan kiblat bagi pengembangan madrasah.
            Dapat diartikan bahwa dalam proses pengelolaan atau manajemennya madrasah bisa melihat dari pengembangan pesantren-pesantren yang telah ada, agar madrasah tetap survive dalam sistem pendidikan nasional (SPN) dibutuhkan konsep dalam mengelola madrasah yang baik dan tepat.   Dan madrasah juga harus tetap memprioritaskan khalifah yang menguasai teknologi dan beragama.
Sesuai dengan dikemukakan Wahid (2007: 183) bahwa prinsip yang digunakan dalam pembenahan dan pengembangan pesantren adalah diktum yang sudah lama dikenal kalangan pesantren sendiri yaitu memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik, (al-muhāfadlatu ‘ala al-qodhīmi ash shālih ma’a al akhzu bī al jadīdi al ashlāh).
          Diktum pesantren yang sudah ada yakni “memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik”, artinya keikutsetaan pesantren salaf pada pesantren khalaf bisa jadi dalam program, ataupun yang lainnya itu juga sah-sah saja selama tetap mempertahankan yang lama yang baik dan yang di ambil itu adalah hal yang lebih baik bagi pesantren dan masa depan santri khsususnya di era globalisasi.
            Pesantren harus membuka diri secara proporsional, khususnya dalam bidang pengembangan SDM pada madrasah maupun pesantren itu sendiri, sehingga era globaliasi akan tetap menjadi pilihan dan bagian yang di sistemkan dalam sebuah madrasah,  hal ini tentunya tidak terlepas dari penanaman nilai-nilai tawadlu’ yang di contohkan oleh kyai terhadap santri-santrinya.

Modernisasi Sistem dan Muatan Pendidikan Madrasah
            Suka atau tidak, mau atau tidak  mau, siap atau tidak siap semua madrasah dihadapkan dengan globalisasi yang telah menjadi bagian  dari suatu pola dan sistem dalam pendidikan. Globalisasi merupakan produk barat yang dihidangkan di dunia dengan mulai pada abad ke 15 masehi yang lalu,  dengan mengedepankan akal dan lebih materialistis. Indonesia sebenrnya belum siap jika dibahasakan oleh jalaludin rahmat,  karena produk Indonesia ini masih seperti kaset manusia dan manusia-manusia kaset.
Sebenarnya ironis mendengar sebuah pernyataan seperti hal itu, akan tetapi ada beberapa dampak yang baik pula tentunya dalam madrasah. Konsep 
Idi (2006:65) juga menjelaskan istilah “pembaruan” merupakan alih bahasa dari istilah itu pembaruan, tajdid, dan modernisasi.
Berkenaan dengan pembaruan, pola pikir dan sikap pandang kaum muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan pola pikir dan sikap pandang kaum muslim ke pagkal kemurnian Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. (Idi mengutip Iqbal, 1966:158-192).   
Selain itu, kemunculan  serta berkembangnya tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh organisasi keislaman di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan, (Mastukki mengutip dari Noer, 1995:12).
Dengan demikian, dalam pembaharuan madrasah yang unggul memerlukan sumberdaya  yang kreatif, inovatif  dan bertanggung jawab dalam mencapai visi dan misinya. Madrasah dikenal sebagai lembaga yang lebih dominan dalam penguasaan keilmuan keagamaan. Sehingga hal ini menjadi karakteristik yang memang harus dikembangkan dalam  menyesuaikan keadaan dan perkembangan zaman. Terutama pada aspek manajemen dan kemauan yang tinggi seorang pemimpim madrasah itu sendiri.
Bagaimanapun juga, suatu bentuk pembaharuan tentunya memerlukan suatu wadah dan strategi dalam rangka menjadi tujuan yang diharapkan. (Idi dan Suharto, 2006:71).
Nata, mengutip dari (Maksum, 1999:97), mengemukakan bahwa madrasah sebagai suatu sistem pendidikan Islam berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non kegamanaan sudah tampak sejak awall abad XX.
          Untuk itu, perubahan secara terus menerus dialami manusia dalam menjalani kehidupan, pemikiran-pemikiran teoritis tentang  perubahan-perubahan manusia yang dikenal dengan perubahan sosial. Dan hal ini menjadi salah satu pertimbangan besar dalam ilmu sosiologi. Perubahan-perubahan sosial yang direncanakan dengan gaya sosial seorang pemimpin  yang sesuai sangat membantu madrasah dalam efektifitas dan pengembagan program madrasah baik berbasis masyarakat atau intern saja.
Disisilain Nata, (2001:187), menjelaskan bahwa  madrasah dalam dekade terakhir abad XX ini  merupakan lembaga pendidikan alternatif bagi para orang tua untuk menjadi tempat penyelenggara pendidikan bagi putra-putrinya. Hal ini terlihat dengan beberapa daerah  tertentu madrasah meningkat cukup tajam dari tahun ketahun, oleh karena itu, peran leader dalam menajamen lembaga tesebut sangat menjadi tolak ukur dalam  kemajuan dan  kemunduran madrasah.
          Muatan kurikulum merupakan salah satu komponen utama dalam pondok pesantren yang tidak dapat ditinggalkan. Kurikulum dalam pesantren salaf sangat dominan dengan pembelajaran kitab klasik dengan tujuan untuk mendidik calon-calon ulama’. Pendidikan dari pesantren seyogyanya tetap diletarikan sehingga menjadi salah satu model muatan yang menjawab dari era globalisasi.  Dengan demikian, madrasah berbasis pesantren memiliki rencana yang jelas atau perubahan yang direncanakan (Planned-change) dalam mengejewantahkan dan nilai-nilai spiritualitas dalam diri manusia yang dimulai dari sumber daya manusianya, Kyai jika dalam pesantren, ustadz, dan kepada santri dan orang tuanya.
Dhofier (2011, hal. 87) mengemukakan bahwa dalam pesantren terdapat kitab-kitab klasik yang diajarkan, antaralain; (a) Nahwu (Syntax) dan sharaf (morfologi), (b) fiqih, (c), Usul Fiqh, (d) Hadits, (e) Tafsir, (f) Tauhid, (g) Tasawuf dan etika, (h) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balāghah.
Nata (2001:195), mengemukakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang di dalam kurikulumnya memuat materi pelajaran agama dan pelajaran umum, dimana mata pelajaran agama pada madrasah lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran agama pada sekolah umum.
Dimaksudkan bahwa dengan adanya lembaga sekolah atau madrasah, maka ini merupakan media sosial anak sekaligus media sosialisasi beberapa program dalam mengembangkan kompetensi anak, sehingga sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya, bukan hanya sebagai media pembelajaran  di bangku sekolah. Pada substansinya, manajemen merupakan aspek terpenting dalam madrasah atau sekolah, ini erat kaitanya dengan pemimpin yang kompeten dan kompetensi pendidik tentunya, baik pada aspek planning. Organizing, actuating, implementating dan evaluating. Pendidik profesional juga menjadi slaah satu syarat mutlak dalam kemajuan pendidikan bangsa.

Madrasah: Memprioritaskan Khalifah yang Berteknologi dan Berakhlaq
          Pendidikan Islam sebagai solusi alternatif dalam menata kembali kerusakan-kerusakan tata nilai  dunia, tinggal yang perlu di persiapkan adalah suatu konsep aplikatif dalam mewujudkan khalifah madrasah yang berteknologi dan berakhalq. Dengan sendirinya ketika khalifah madrsah sudah berteknologi dan berakhalq maka globalisasi akan benar-benar menjadi suatu pola media yang menarik dan tepat bagi pengembangan madrasah itu sendiri.
Dalam ilmu sosial, istilah pemimpin di identikkan dengan elite, yang lazim di definisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya serta berkuasa. (Idi, 2015:247).
Manusia sebagai seorang khalifah, Allah swt berfirman :
واذ قال ربك للملئكة انى جا عل  فى الارض خليفة
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah; 30).
          Ayat al-Qur’an dan hadits di atas sangat jelas telah menguraikan bahwa setiap manusia merupakan pemimpin dibanding dengan makhluk yang lain. Yakni suatu kaum yang akan menggantikan suatu kaum lainnya, kurun demi kurun, generasi demi generasi (Tafsir Ibnu Katsir juz 1, 2005: 99).  
Khalifah dalam kamus besar bahasa arab diartikan sebagai khalifah atau pemimpin, dengan lebih tepatnya dalam bahasa inggrisnya adalah leader.
Kepemimpinan  pada hakekatnya adalah membahas masyarakat manusia dengan seluk beluknya. Manusia adalah makhluk sosial, zoon politikon. Secara naluriah membutuhkan bergaul dan membutuhkan manusia lain, dalam prosesnya mereka membentuk kelompok-kelompok, masyarakat, berbangsa-bangsa dan bernegara, yang giliranya membutuhkan pemimpin.  (Syukur, 2013:15),
          Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa leadership merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam memengaruhi orang lain dengan tetap menjunjung nilai-nilai sosial baik dalam kondisi dan hal apapun guna mencapai tujuan tertentu. Salah satu fungsi yang dilakukan oleh seorang pemimpin adalah menjadi “pelayan” atau istilahnya sebagai public service. Kebanyakan pemimpin sekarang tidak sedikit kita jumpai sebaliknya, yakni pemimpin yang selalu ingin dilayani oleh orang lain, dalam pendekatan sosial, hal ini sangat jauh dari esensi leadership itu sendiri.  
          Leadership dalam persepektif sosial lebih menekankan adanya upaya yang lebih substantif dalam memberikan service kepada public, hal ini dapat dilakukan dengan fleksibel dan efisien, dengan cukup memberikan senyum atau jual senyum juga bisa menjadi salah satu awal dalam melayani public. Ramah, sopan, jujur, adil dan berwibawa merupakan beberapa kriteria sosok leader yang tepat untuk dijadikan uswah dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan tentunya. Pada aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh khalifah madrasah, setidaknya memiliki  integritas yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan dan lembaga atau madrasah itu sendiri.
Secara umum tugas dan peran kepala sekolah memiliki lima dimensi kompetensi sebagaimana termaktub pada peraturan menteri pendidikan nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala Sekolah/ Madrasah, yaitu kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan kompetensi sosial. (Rusman, 2012:7).
          Dengan demikian, gaya kepemimpinan dalam  madrasah sangat menentukan strategi pencapaian  visi dan misi dari lembaga itu  sendiri. Dari pembahasan di atas, maka madrasah, manajemen dan leadership adalah satu bangunan yang utuh dalam mengorganisir lembaga dan  sistem pendidikan menuju visi dan misi lembaga, leader, serta pola manajemen yang sudah dibangun.      Selain itu, madrasah masih membutuhkan  leadership yang sesuai dengan kebutuhan dan mampu menyelesaikan problematika sosial, baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan orang tua, masyarakat dengan lembaga ataupun pemerintah dengan seluruh komponen yang ada di dalam  madrasah itu sendiri.
Idi (2015:298), mengemukakan bahwa pemimpin yang ideal, dalam perspektif Islam, merupakan pemimpin yang perilakunya tidak menyimpang dari “garis” kebenaran yang diwahyukan oleh agama, menjunjung tinggi akhlakul karimah, adil, memberi rasa aman, dan menyejukkan bagi pengikut/ umat. 
Pernyataan Idi di atas seirama dengan firman Allah tentang sifat pemimpin,
ان الله يامر بلعد ل والاحسن
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (QS. An-Nahl : 90). 
          Dengan demikian, ketika pemimpin madrasah yang efektif  merupakan pemimpin yang mampu mengelola madrasah dengan mengutamakan dan menjunjung tinggi aspek perilaku, adil, bijakasana, transparan, tanggung jawab, lemah lembut agar dapat mencapai tujuan tertentu dan tidak membebani anggotanya. Dan ini juga sudah dicontohkan tentunya dalam Islam oleh Rasulullah SAW.  Transparansi seorang leader sangat penting, gejala-gejala sosial yang sudah merambah pada nilai-nilai kepercayaan bawahan terhadap atasan sangat erat kaitanya dengan adanya “pengelolaan financial ”, untuk itu karakter seorang pemimpin sangat berpengauh pada keberhasilan program madrasah.
          Sangat jelas bahwa, seorang pemimpin harus lebih kreatif dan inovatif dibanding dengan yang lain dalam menyelesaikan masalah. Substansinya ada upaya-upaya yang efektif dan efisien serta dengan penuh kasih sayang dalam melaksanakan tanggung jawabnya sehingga terdapat kemudahan dan great yang tinggi dihadapan public dengan sendirinya tanpa direncanakan. Selain itu, gaya sosial seorang khalifah madrasah juga sangat penting dalam mengubah keadaan sosial yang lebih baik di lingkungan madrasah, karena dengan perubahan keadaan sosial, maka tujuan sosialpun bisa terwujud  yang sesuai degan visi dan misi madrasah itu sendiri. Tidak bisa dibuat remeh, gaya juga sangat penting dan menjadi bagian integral dalam pengembangan dan komunikais dengan masyarakat pada umumnya. Disisilain, untuk menuju efektifitas kepemimpinan madrasah, kepemimpinan seseorang (pemimpin) harus mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis. Dimulai dari kepemimpinan erat hubunganya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris dimana  belum ada spesialisnya, biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat.  
M.N. Ibad (2010:138), Pemimpin yang besar adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang dipimpinnya) dengan apa adanya, “bisa gaul” istilah gusmiek, dan “memanusiakan manusia” istilah gusdur.
Dengan demikian, pada subtansinya seorang Kyai memiliki nilai kelebihan terutama dibidang spiritualisme, serta nilai karomah dan keberkahan yang kuat yang sekaligus merupakan amanah dari Allah swt. Kuat dan  luasnya hubungan tali kekerabatan kyai telah menghasilkan integrasi dan persatuan para kyai. Terkadang, kyai juga menikahkan anaknya dengan santri yang cerdas dan memiliki kemampuan dalam memimpin sebuah lembaga, sehingga dengan demikian nilai geneus tetap terjaga oleh pola kekerabatan secara sosial dalam pesantren dan atau madrsah untuk melahirkan generasi yang militan dan berakhlaq.   
Uraian di atas, telah menjelaskan bahwa madrasah harus benar-benar dijalankan oleh sosok khlaifah yang memang memiiki kecakapan berteknologi dan berakhalq dalam mengelola madrasah, sehingga mampu mengakomodir karakter bawahannya, lebih-lebih mencetak generasi tersebut sudah dari jauh-jauh hari, sehingga berimplikasi positif terhadap perkembangan madrasah. Salah satu bentuk eksistensi madrasah itu sendiri adalah dengan semakin tambah waktu, juga bertambah banyak madrasah di Indonesia, serta adanya generasi-generasi baru yang tidak kalah saing dengan sekolah-sekolah negeri maupun sekolah yang unggulan, karena substansinya madrasah lebih mengutamakan penguasaan keagamaannya terutama madrasah dalam naungan pondok pesantren dengan sistem kurikulum yang terintegratif.




























Kesimpulan


          Globalisasi merupakan produk modernitas  (Barat) yang bersendikan antroposentrisme yang hampir tak terelakkan, dengan lebih memfungsikan “mendewakan” akal/ rasionalitasnya dalam hidup, materialistis dan sehingga berimplikasi pada paradigma bahwa agama adalah salah satu penghambat kemajuan suatu dunia, Dengan hal demikian, lembaga pendidikan Islam “Madrasah”  harus tampil dengan penyempurnaan baik mutu maupun SDM nya guna menjadi solusi alternatif dalam mengembalikan nilai-nilai spiritualitas umat dengan tetap menjadikan globalisasi sebagai media sekaligus tantangan dalam pendidikan Islam. Diktum pesantren yang perlu dijadikan landasan pengembangan oleh madrasah  dalam merespon globalisasi yaitu memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik, (al-muhāfadlatu ‘ala al-qodhīmi ash shālih ma’a al akhzu bī al jadīdi al ashlāh).
          Adapun beberapa upaya  yang dapat dilakukan madrasah dalam merespons globalisasi antraralain dengan; (1) Melakukan penguatan kapasitas kelembagaan madrasah, (2) Menjadikan madrasah sebagai laboratorium pemberdayaan pendidikan, (3) Belajar dari tradisi pesantren (4) Modernisasi sistem dan muatan pendidikan madrasah, (5) Madrasah memprioritaskan khalifah yang berteknologi dan beragama “Berakhlaq”. Beberapa upaya tersebut setidaknya mencoba untuk menjawab kekurangan internal madrasah dalam merespon globalisasi, Sehingga asda balancing antara pengaruh globaliasi dengan kesiapan madrasah itu sendiri dalam merespons dan menjadi alternatif untuk mengembalikan nilai-nilai dan jati diri manusia dalam aspek agama.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...