A.
Pendahuluan
Dalam
rukun Islam, Sholat Fardhu berada pada posisi kedua yang juga menjadi syarat
bagi seseorang yang ingin masuk Islam[1]. Sholat
Fardhu mempunyai lima ketentuan waktu dalam sehari semalam. Bagi seseorang yang
mengerjakan sholat fardhu, Allah SWT menjamin kehidupan dan memasukkanya ke
dalam surga. Sebab, seseorang yang mengerjakan
Sholat akan terhindar dari perbuatan maksiat (keji dan mungkar). Hal ini
diperkuat dengan firman Allah SWT. yang berbunyi:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ
الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ
اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (٤٥)
45.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Qs. al-Ankabut, 29:45)
Pengertian Fahsya’ pada ayat diatas adalah dosa-dosa
yang diburukkan oleh syariat, akal dan nurani manusia, lebih banyak dipakai
dalam arti zina dan yang semisal dengannya. Sedangkan pengertian Mungkar
adalah segala macam bentuk dosa dan kesalahan.
Setiap
orang tentu ingin merasakan nikmat hidup melalui sholat. Dan kesejahteraan
hidup hanya bisa didapatkan melalui sholat yang dikerjakan secara sempurna.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ
الصَّلاةَ لِذِكْرِي (١٤)
14. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.(QS.
Taha;ayat 14)
Dalam ayat yang lain,
Allah SWT berfirman;
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا
بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (٢٨)
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Ra’d ayat 28)
Setiap perkataan Allah SWT adalah firman
yang termaktub dalam al-Qur’an dan menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk di
muka bumi dan langit. Dengan kata lain surat al-Ankabut ayat 45 tersebut juga
termasuk petunjuk bagi kita. Oleh karena itu kita harus menyikapi petunjuk itu
dan mengikutinya.
Setiap
hari kita melaksanakan kewajiban sholat lima waktu, Sebab, seseorang yang
mengerjakan sholat berarti telah menepati kewajibanya sebagai seorang hamba.
Akan tetapi hingga kini, masih ada saja manusia yang tergelincir dalam jurang
kesesatan. Padahal sholat seharusnya menjadi penolong bagi hamba yang
menjalankanya. Bagaimanakah proses yang terjadi bahwa sholat yang dikerjakan
seseorang hamba bisa mencegah hamba tersebut dari perbuatan maksiat (keji dan
mungkar).
B. Pengertian dan Hakekat Sholat
Pengertian
shalat secara bahasa, kata salat (ةصلا) berarti doa (دعاء)
yang berasal dari akar kata salla –yusalli yang artinya mendoakan. Hal
ini sebagaimanadijelaskan dalam kitab Al-Quran:
… dan berdoalah untuk mereka,
sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. At-Taubah/9:
103).
Menurut Imam
Ahmad bin Husain Asyahir dalam kitab Fatkhul Qorib:
عاءلد ا لغة ةلصلاا
Shalat
secara bahasa berarti berdo‟
Menurut
Zaenuddin bin Abdul Aziz al Malibari
dalam kitab Fathul Mu’in:
بالتسلممختتمةبالتكبيرمفتتحة مخصوصة وأفعال
أقوال شرعا الصلاة
“ Shalat menurut syari‟at adalah
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
Jadi,
shalat menurut syara' adalah ucapan dan perbuatan yang ditempatkan
secara spesifik, yang dibuka dengan takbiratu-ihram, dan ditutup dengan salam.
Shalat dinamakan demikian karena content yang terdapat dalam-nya adalah doa.
Adapun menurut etimologi, shalat berarti doa. Sedangkan menurut istilah,
para ahli mendefinisikan pengertian shalat sebagai berikut :
a. Hasbi Ash-Shiddieqy, mendefinisikan :
“Shalat adalah memohon kebajikan beberapa
rukun yang tertentu, beberapa dzikir tertentu dengan syarat-syarat tertentu di
waktu-waktu tertentu. Memohon kebesaran dan kemuliaan untuk Rosul SAW di dunia
dan akhirat, menyanjung dan memuja. Shalat yang difardlukan sehari semalam lima
kali, dinamai shalat maktubah (wajib)”.[2]
b.
Hafid Abdullah, mendefinisikan :
“Shalat merupakan kewajiban kepada
setiap orang yang sudah baligh (cukup umur), berakal, suci dan muslim”.[3]
c. Sayid Sabiq, menjelaskan :
“Shalat adalah ibadah yang terdiri
dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah
Ta‟ala dan disudahi dengan memberi salam”[4].
Dari
ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, shalat pada prinsipnya
merupakan suatu kegiatan ritual yang dilakukan oleh orang Islam dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah serta memohon atau berdo‟a kepada-Nya. Perintah
tersebut tidak boleh atau tidak ada alasan untuk meninggalkannya selama roh
(nyawa) masih di kandung badan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surat
Al-Mu‟minuun
ayat 32
فَأَرْسَلْنَا فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ (٣٢)
Lalu Kami utus kepada mereka,
seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): "Sembahlah
Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain
daripada-Nya.Maka mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya). (Q.S. Al-Mu‟minuun/23:32).[5]
Oleh
karena betapa pentingnya arti shalat bagi kehidupan manusia di muka bumi ini,
maka hendaklah perintah shalat ini ditanamkan dalam hati dan jiwa seorang
mahasiswa. Bahkan orang Islam yang sedang sakit dalam perjalanan dan sebagainya
masih tetap dituntut untuk mengerjakan shalat.
[6]
Dengan
demikian shalat adalah urusan nomor satu diantara ibadah-ibadah lain yang harus
dikerjakan oleh setiap muslim. Urusan shalat fardhu dianggap lebih penting,
sebab:
a.
Waktu Nabi Muhammad Saw menerima shalat ini, beliau dipanggil langsung oleh
Allah kehadirat-Nya.
b.
Shalat adalah wasiat yang terakhir dari nabi Muhammad kepada segenap umatnya.
c.
Orang yang mengerjakan shalat ada hubungannya dengan penciptanya yakni Allah
Swt.
d.
Besok di akherat yang pertama-tama ditanyakan oleh Allah adalah tentang shalat.
e.
Sekali saja meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa halangan, nama orang
tersebut ditulis oleh Malaikat di pintu neraka.
f.
Shalat merupakan tiang agama Islam, maksudnya adalah orang yang tidak mau
menjalankan shalat berarti ia telah merobohkan agamanya.[7] Oleh
sebab itu, shalat fardu harus tetap dikerjakan dalam keadaan bagaimanapun.
Sehingga orang Islam tidak dapat lepas dari kewajiban dan tanggung jawab
sebagai
C.
Pencegahan (Prevention) & Penanganan (Intervention)
dalam perspektif Psikologi
Yang
dimaksudkan dengan pencegahan dalam lingkup gangguan kejiwaan, menyangkut dua
hal, yaitu:
a.
Mencari dan sekaligus menghilangkan
penyebab-penyebab gangguan mental; dan
b. Membangun kondisi-kondisi yang dapat
mendorong lahirnya kesehatan mental.
Terdapat tiga jenis pencegahan dalam
masalah kejiwaan, ialah pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier.[8]
Istilah
intervensi merupakan istilah yang saat ini sangat umum digunakan orang untuk
menunjuk pada berbagai macam tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan
kesembuhan atas gangguan kejiwaan atau pelurusan atas penyesuaian diri yang
salah. Intervensi juga digunakan dalam berbagai istilah lain yang digunakan untuk
membantu orang yang terganggu secara kejiwaan (psychological disorders) atau memiliki masalah kejiwaan (psychological problems) dalam kehidupan
sehari-harinya.[9]
Disamping
psikoterapi dan psikoanalisis, juga dikenal nama lain, yaitu melatih (coaching), bimbingan (guidance), konseling, pemberian nasihat
(advising), perlakuan (treatment), dan pengubahan perilaku (behavior modification).
Dalam
membahas berbagai perlakuan (treatment) untuk
perilaku abnormal, Susan Nolen Hoeksema, mengemukakan tiga pendekatan perlakuan
yang biasa diberikan terhadap mereka yang mengalami gangguan kejiwaan atau
abnormalitas yaitu perlakuan biologis (biological
treatments), terapi-terapi psikologi (psychological
therapies), dan pendekatan-pendekatan social (social approaches).
C. Keabnormalan Mental (Jiwa)
Keabnormalan
mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang
berhubungan dengan fisik, maupun dengan psikis. Keabnormalan tersebut tidak
disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan meskipun
kadang-kadang gejalanya terlihat secara fisik.[10]
Keabnormalan
dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) gangguan mental (jiwa) (neurose), dan (2) sakit mental (jiwa) (psychose), perbedaan antara keduanya
kalau orang yang kena neurose, masih
mengetahui dan merasakan kesukarannya.
Sebaliknya orang yang terkena psycose
tidak mengetahui dan merasakan kesukaranya tersebut.
Secara
umum perbedaan psycose dan neurose dapat dilihat pada perasaan,
pikiran, perilaku dan personalitas penderita. Penderita neurose masih mampu merasakan kesukaran yang dihadapinya, sehingga
perilaku dari kepribadiannya belum memperlihatkan kelainan yang serius, ia
masih berada dalam kehidupan realitas. Orang yang terkena neurose mengetahui kesukaran yang dirasakan, tapi dia tidak tahu
bagaimana cara mengatasinya. Sedangkan penderita psycose karena yang terkena pikiranya, kepribadiannya tampak tidak
padu lagi. Karena itulah dia sudah tidak mampu lagi hidup dalam dunia nyata.
Bahkan bisa jadi penderita psycose
tidak bisa mengenali dirinya sendiri, apalagi orang lain.[11]
Oleh
karena itu, gejala-gejala gangguan dan penyakit mental dapat dilihat dari segi
perasaan, pikiran, tingkah laku dan kesehatan badan seseorang. Orang yang
mengalami neurose, dari segi
perasaan, tanda-tandanya, antar lain: rasa gelisah, cemas, takut kehilangan
harta, ketegangan batin, rasa putus asa, murung dan sebagainya. Dari segi
pikiran tanda-tandanya antara lain adanta ketidakmampuan berkonsentrasi, dan
sering munculnya pikiran-pikiran buruk. Dari segi perilaku, bagi mereka yang
terkena neurose, perbuatannya mengganggu dirinya sendiri. [12]
E.
Keabnormalan Mental dalam Islam
Dalam
perspektif Islam sehat atau tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek
spiritualitas keagamaan. Seberapa jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam
kehidupankeberagamaan dalam kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam
menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang.
Dalam
perspektif Islam gangguan dan sakit mental tidak hanya diukur dengan ukuran
humanistik saja, sebagaimana diikuti oleh semua aliran psikologi kontemporer.
Akan tetapi Islam juga melihat bagaimana kaitanya dengan Iman dan Akhlak.
Kajian
tentang keabnormalan mental sebenarnya sudah banyak dibicarakan dalam kitab
klasik. Diantara pakar yang membicarakannya adalah al-Ghazali. Beliau
menyebutkan dalam kitab “Tazkiyah al
Nafs” dengan istilah al-akhlak al madzmumah.[13]
Al
Ghazali memandang bahwa keabnormalan mental identik dengan akhlak yang buruk.
Akhlak yang baik, dikategorikanya sebagai sifat para rasul Allah SWT, perbuatan
para al shiddiqin paling utama. Sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai
racun yang berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan
seseorang dari Allah SWT. Di samping itu akhlak yang buruk juga termasuk ke
dalam langkah setan yang bisa menjerumuskan manusia masuk ke dalam
perangakapnya.
Ukuran
yang biasa dipergunakan untuk mengetahui ciri khas gangguan mental dalam Islam
adalah kesadaran diri sebagai hamba Allah, ketaatan beribadah dan kontinuitas
melakukan perbaikan akhlak menuju tercapainya derajat al Insan al Kamil atau untuk mencapai taqarrub ila Allah. Sebab orang yang selalu dekat dengan Tuhanya
dan selalu mengingatnya akan menggunakan potensi kekuatan dirinya secara
optimal, tidak akan menimbulkan kealpaan, dan tidak akan mengakibatkan
timbulnya mental negatif. Sebab ia akan selalu berada di lingkungan nur ilahi. Tetapi orang yang jauh dari
Allah akan masuk pada daerah kesuraman dan menjadi orang yang banyak lalainya.[14]
F. Kesehatan Mental (Jiwa) Menurut Al
Qur’an Dan Hadits
Sebagai
kitab suci yang berisi petunjuk (hudan)
dan penjelas, bagi petunjuk itu sendiri (wa
bayin min al huda) didalamnya banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan
dengan kesehatan mental dengan berbagai istilah yang digunakanya sebagai
sesuatu yang hendak di capai oleh setiap manusia. Manurut Langgulung,
istilah-istilah tersebut adalah kebahagiaan (sa’adah)
keselamatan (hajat) kejayaan (fawz), kemakmuran (falah) dan kesempurnaan (al
kamal).[15]
Di
samping beberapa istilah kesehatan mental tersebut, di dalam alQur’an juga
banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi kesehatan
mental, meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, sesama manusia,
lingkungan dan Tuhan, yang kesemuannya ditujukan untuk mendapatkan hidup
bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Dalam konteks ini tidaklah salah
kiranya kalau kalimat itu dianalogikan dengan mengembangkan dan memanfaatkan
potensi manusia.
Lebih
lanjut lagi al-Qur’an telah menjelaskan sikap manusia dalam usahanya
mengembangkan dan memanfaatkan potensi tersebut, yang secara makro dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu ashab al yamin dan ashab al
syimal, sebagai contoh-contoh ayat berikut:
1.
Yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (habl min al-nafs).
Dalam hubungan manusia mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalam bentuk
amr ma’ruf nahi mungkar atau sebaliknya mengumbar hawa nafsu yang ada pada
dirinya.
Firman Allah
Surat al-Maidah ayat 110.
“
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT”
Sedangkan Hadits
yang berhubungan dengan kesehatan mental adakalanya yang berkaitan dengan
indikator kesehatan mental dan adakalanya yang berkaitan dengan psikoterapi.
Yang berkaitandengan kesehatan mental: adalah Hadits dari Ubaid Ibn Muhashan,
bahwa:
“
Dan Ubaid Ibn Muhashan al-Khithmi bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa
diantara kalian yang telah merasa aman dengan lingkungan atau kelompok sosial,
tubuhnya sehat dan mampu mencukupi kebutuhan makanya setiap hari, maka baginya
sepadan dengan memiliki dunia dengan segala isinya”. (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan
hadits diatas Rasulullah SAW menyatakan bahwa ada tiga sebab seseorang untuk
merasakan kebahagiaan, yaitu: (1) Perasaan nyaman dalam sebuah komunitas (2)
Tubuh yang sehat (3) mampu mencukupi kebutuhanya sehari-hari. Ketentraman dan
kebahagiaan akantercapai jika seseorang merasa bahwa dirinya diterima dalam lingkungan
sosialnya, tubuhnya sehat dan terhindar dari berbagai penyakit dan mampu
memenuhi kebutuhan primer demi keberangsungan hidupnya . Ketiga hal ini
merupakan indikator penting bagi kesehatan mental.[16]
G. Psikoterapi Keagamaan
Istilah
“Psikoterapi” berasal dari dua kata, yaitu “Psiko”
dan “terapi”. “Psiko” artinya kejiwaan atau mental dan “terapi” adalah penyembuhan atau usada. Jadi kalau dibahasa
Indonesiakan psikoterapi mungkin dapat disebut usada jiwa atau usada mental.[17]
Definisi
psikoterapi dengan tepat memang sulit diberikan. Hanya saja secara umum dapat
penulis katakan bahwa: psikoterapi adalah proses formal interaksi antara dua
pihak atau lebih. Yang satu adalah profesional penolong dan yang lain adalah
“petolong” (orang yang ditolong) dengan catatan bahwa interaksi itu menuju pada
perubahan atau penyembuhan. Perubahan itu dapat berupa perubahan rasa, pikir,
perilaku, kebiasaan yang ditimbulkan dengan adanya tindakan profesional
penolong dengan latar ilmu perilaku dan teknik-teknik usada yang
dikembangaknnya.
Menurut carl wetherington dalm
muchtar buchari orang yang merasa tidak/ kurang aman dalam hatinya adalah orang
yang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa ini dapat ditelusuri berdasarkan
tiga hal. Pertama, persepsi orang yang mengganggap dirinya paling hebat atau
mnganggap orang lain berada dibawah dirinya. Kedua perilaku orang yang
menyimpang. Ketiga, orang merasa putus asa.
Dan ketiga hal tesebut, orang yang
mengalami gangguan jiwa yang disebabkan oleh persepsi dirinya yang dianggap paling hebat akan
memandang orang yang berada disekeliling sudah keliru. Penyesuaian dirinya
dengan orang disekelingnya pun selalu dinilai dengan ukuran prsepsi dirinya
yang dianggap paling hebat. Sikap orang yang mengalami gangguan seperti ini
akan terlihat aneh dan menyimpang dalam pandangan umum, sedangkan orang
tersebut menyadarinya. jiwa orang seperti ini selalu memberontak dan putus asa
yang disebabkan oleh kegelisahanya yang muncul dari konflik batin yang
dialaminya. Gangguan jiwa seperti ini melemahkan kemampuan penderita untuk
menemukan norma yang bersifat universal serta melemahkan ras tanggung jawabnya
dalam berinteraksi dengan realitas disekitarnya dengan baik.[18]
Gangguan jiwa
dapat pula terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar berupa kebutuhan
jasmani (makan, minum, seks dsb.) dan kebutuhan rohani (rasa aman, ingin
dicinti, ingin tahu dsb.) yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup.
Apabila seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut orang akan mengalami konflik
batin, frustasi, dan bahkan ada yang lari dari realitas kehidupan seperti ingin
bunuh diri. Dalam ilmu kesehatan mental orang tersebut disebut mengalami
gangguan jiwa (neurose,) bahkan ada yang menjurus kepada sakit jiwa (psychose).
Menurut William
Router dalam Athiyah Mahmud hanna pada dasarnya psikoterapi yang dilakukan oleh
psikiater tidak menggunakan obat-obatan, tetapi dengan menggunakan metode
sugesti, nasihat, hiburan, dan hipnosis.[19]Menurut
psikiater untuk menanggulangi gangguan jiwa ini dapat dilakukan oleh orang yang
mengalami penderitaan, dengan jalan menyesuaikan dan membiasakan diri dengan
norma-norma yang baik. Atau juga bisa melalui orang lain dengan menberikan
sugesti kepada penderita agar mematuhi norma-norma yang baik. Dalam konteks ini
terlihat adanya hubungan antara agama dan psikoterapi.
Psikologi agama
dalam Islam didasarkan pada kehadiran Islam sebagai rahmatan lilalamin membawa
norma-norma bagi manusia tantang jalan yang harus ditempuh dalam hidupnya.
Kehadiran Islam mengubah peradaban manusia dengan mengubah cara berfikir dan
memandang dirinya, orang lain, dan alam semesta. Dan begitu juga Islam
mengajarkan begaimana menjalani hubungan dengan Allah SWT dengan manusia dan
dengan alam sekitar, maupun dengan dirinya sendiri.
Psikoterapi
keagamaan dalam Islam dapat dirujuk dari ayat al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah
SAW yang dapat menjadikan pedoman dalam melaksanakan psikoterapi.
1. Ayat-ayat
al-Qur’an tentang Psikoterapi
Didalam
al-Qur’an ditemukan ayat yang berkaitan dengan psikoterapi, seperti yang
terdapat dalam ayat-ayat dibawah ini antara lain :
a.
Psikoterapi melalui Iman
Firman
Allah SWT.
منْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ (٩٧)
Artinya :
“barang siapa yang
mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan kami berikan alasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dan apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S An-Nahl : 97)
Dengan
beriman kepada allah dan selalu berprilaku yang baik dapt melahirkan kedamaian
jiwa, keridhoan, kelapangan, dan kebahagiaan seseuai dengan janji allah SWT yang
diperuntukan dan balasan yang setimpal diakhirat.
b.
Psikoterapi melalui Ibadah
1)
Ibadah Shalat
Firman allah SWT.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى
الْخَاشِعِينَ (٤٥
Artinya:
“dan mintalah pertolongan (kepada allah,)
dengan sabar dan (mengerjakan) shalat” (Q.S Al-Baqarah:45)
2)
Ibadah puasa
Firman allah SWT.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)
Artinya
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas seorang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S Al-Baqarah:183)
Ibadah
dapat mengajarkan manusia mengenai sifat terpuji seperti sabar dalam menerima
cobaan atau musibah, mengontrol hawa nafsu dan syahwat, taat, disiplin,
mencintai sesama manusia, saling tolong menolong diantara sesama, suka menolong
orang yang membutuhkan pertolongan, memiliki jiwa gotong royong, dan memiliki
jiwa solidaritas sosial, serta sifat terpuji lainya, kesemuaanya merupakan
indikator mental yang sehat.[20]
H. Analisis (Spikoterapi melalui
Sholat)
Perubahan pemikiran merupakan langkah
pertama dan penting untuk mengubah kepribadian dan tingkah laku seseorang.
Hanya saja untuk mempelajari tingkah laku yang baru, diperlukan juga praktek
dalam waktu yang cukup lama. Yakni, diperlukan latihan, sehingga tingkah laku
itu menjadi mantap dan mapan.
Hal ini juga berlaku pada
psikoterapi, dimana pasien tidak cukup hanya mengenal hakekat persoalanya,
berubahnya pikiran tentang persoalan tersebut dan juga pangdangannya tentang
diri dan kehidupanya. Namun, disamping itu, penting pula ia menjalani beberapa
latihan baru dalam kehidupan, dimana ia menerapkan pandangan barunya, baik
tengan dirinya sendiri maupun tentang orang lain, dan melihat sendiri maupun
orang lain.
Al Qur’an, dalam mendidik
kepribadian dan mengubah tingkah laku manusia, menggunakan metode latihan dan
praktek nyata terhadap pikiran dan kebiasaan tingkah laku baru yang ingin
ditanamkan kepada ke dalam jiwa mereka.
Untuk itu allah SWT mewajibkan berbagai ibadah. Diantaranya adalah ibadah
Sholat. Dengan pelaksanaan ibadah sholat tersebut secara ikhlas dan teratur,
seorang mukmin tentu akan memperoleh sifat-sifat terpuji yang merupakan pelengkap
unsur –unsur kesehatan jiwa.
Sebutan Shalat
menunjukkan bahwa didalamnya terhadap hubungan antara manusia denga Tuhanya.
Sebab ia dalam sholat, seseorang berdiri dengan khusu’ dan tunduk dihadapan
Allah SWT. Penciptaannya dan juga pecinta alam semesta. Berdirinya seseorang
ketika sholat, akan memberinya energi spiritual sehingga merasakan kesucian
rohani, ketentraman hati dan kedamaian jiwa. Sebab dalam sholat, jika dilakukan
sebagaimana mestinya, seseorang mengarahkan seluruh anggota tubuh dan inderanya
kepada Allah SWT; mengenyampingkan semua urusan dunia dan problemanya; dan
tidak memikirkan sesuatu, kecuali Allah SWT dan ayat-ayat alQur’an yang
dibacanya berulang-ulang. Apa yang dilakukannya dalam sholat itu, dengan
sendirinya akan membangkitkan dalam dirinya suasana
santai, jiwa yang tenang dan pikiran yang bebas.[21]
Kondisi yang ditimbulkan oleh sholat tersebut mempunyai dampak pengobatan yang
penting dalam mengatasi ketegangan saraf yang timbul akibat tekanan kehidupan sehari-hari.
Dan mengurangi kegelisahan yang dialami sementara orang.
Rileks
merupakan salah satu sarana yang dipergunakan oleh sebagian ahli psikoterapi
modern dalam menyembuhkan berbagai penyakit kejiwaan. Suasana rileks biasanya
biasanya dapat dipelajari oleh seseorang melalui latihan. Dan Sholat lima kali
sehari, merupakan sistem terbaik untuk melatih dan mempelajarinya, maka ia
akandapat melepaskan diri dari ketegangan syaraf yang disebabkan oleh tekanan dan kesulitan hidup. Rasulullah
SAW pernah berkata kepada bilal, ketika tiba waktu sholat.
“ Wahai Bilal, buatlah kami
istirahat dengan sholat”
Dalam Hadits yang lain disebutkan:
“Rasulullah SAW, bila menghadapi persoalan
berat, beliau melaksanakan sholat”
Juga dalam hadits yang lain,
“Kesenanganku terdapat dalam sholat”
Suasana santai
dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan oleh sholat, membantu melepaskan diri dari
kegelisahan yang dikeluhkan oleh para pasien jiwa. Keadaan seperti itu,
biasanya berlangsung beberapa saat
setelah selesei melaksanakan sholat. Seseorang
terkadang menghadapi atau mengingat beberapa hal dalam situasi yang
menimbulkan kegelisahan, sementara ia sedang dalam suasana santai dan jiwa yang
tenang. Jika hal ini terjadi berulang-ulang, maka kegelisahan itu akan hilang
secara bertahap. Dan berbagai persoalan dan situasi yang menimbulkan
kegelisahan ituakan terikat dengan suasana yang santai dan jiwa yang tenang.
Dengan demikian orang akan terbebas dari kegelisahan.[22]
Berbarenganya keadaan santai dan
ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat dengan situasi-situasi yang menimbulkan
kegelisahan secara berulanhg-ulang, baik dengan menghadapinya secara nyata
dalam kehidupan atau dengan mengingatnya, pada akhirnya akan mendorong
terbentuknya ikatan-ikatan kondisional baru antar berbagai situasi tersebut
dengan respons keadaan tenang dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat, yang
merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan. Dengan demikian,
orang akan terlepas dari perasaan gelisah.
Setelah selesai shalat, seorang
biasanya langsung membaca tasbih dan berdoa kepada Allah SWT. Ini membantu
berlangsungnya keadaan santai dan ketenagan jiwa untuk beberpa saat setelah
shalat. Dalam berdoa, seseorang bermunajat kepada Tuhanya. Ia mengunggkan semua
keluhan dan persoalan yang ia hadapi dalam kehidupan yang membuatnya gelisah,
dan memohon pertolonga-Nya untuk
mengatasi persoalan tersebut dan memenuhi kebutuhanya. Seseorang, dengan hanya
megungkapkan berbagai problema yang membingungkan dan mengelisahkannya, sementara
ia berada dalam suasana dan jiwa yang tenang, akan membuatnya terbebas dari
kegelisahan.dengan metode yang sama, seperti yang telah dijelaskan. Yaitu
dengan menciptakan suatu keterikatan kondisonal baru antara berbagai problem
dengan suasana santai dan jiwa yang tenang. Maka problem-problem tersebut akan
kehilangan kemempuanya secara bertahapuntuk menimbulkan kegelisahan dan terikat
secara kondisional dengan suasana santai dan jiwa yang tenang, yang merupakan
suasana yang berlawanan.
Lebih dari itu, mengungkapkan
problem dan kesulitan kepada orang lain akan membuat jiwa tenang. Dikalangan
para ahli psikoterapi telah diketahui, ingatnya penderita penyakit kejiwaan
akan problem-problemnya dan dibicarakan hal itu dengan orang lain, akan
meredakan kegelisahanya. Apabila suasana kejiwaan seseorang membaik karena ia
mengungkapkan problem-problem yang dihadapinya kepada seorang kepada seorang
teman karib atau kepada seoarang psikiater, maka tentu akan lebih membaik lagi,
jika problem-problem itu dikemukakan kepada Allah. Setiap selesai shalat, ia
bermunajat kepada tuhanya, berdo’a dan memohan pertolangan kepada-Nya. Selain
itu, semata-mata berdo’a dan tunduk kepada-Nya pun akan meredakan kegelisahan
dari segi lain. Ini dikarena seorang mukmin tahu, Allah SWT telah berfirman
dalam Al-Qur’an :
“
dan tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu..” (Qs, al-Mukmin/40:60)
“
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka(jawablah)
bahwasanya Aku akan dekat. Aku mengabulkanpermohonan orang yang mendo’a apabila
ia berdo’a kepada-Ku” (Qs. Al Baqarah/2: 186)
Oleh
karena itu, berdo’a kepada Allah SWT membantu meredakan kegelisahan, di mana
seorang mukmin berharap Allah SWT akan mengabulkan permohonannya dalam
mengatasi problem-problemnya, memenuhi kebutuhanya dan menghilangkan
kegelisahan dan kesusahannya. Terlepas dari apakah Allah benar-benar
mengabulkan do’a seseorang atau tidak, semata-mata mengharap kepada Allah
dengan berdo’a, dan berharap untuk dikabulkan, akan meringankan kegelisahanya,
yakni melalui otosugesti (auto sugestion) akan kemungkinan dikabulkanya do’a
yang dia panjatkan.
Sebagaimana
diketahui, kegelisahan biasanya timbul dari ketidakmampuan seseorang memecahkan
masalah konflik-konflik psikisnya. Sementara konflik psikis itu sendiri
menguras banyak energi psikis manusia. Karena itu, orang-orang yang menderita
penyakit kejiwaan, tidak mampu mengungkapkan secara benar kemampuan dan potensi
yang mereka miliki. Ketika disembuhkan dan energi psikisnya bebas dari belenggu
konflik tersebut. Biasanya mereka memperlihatkan vitalitas dan aktivitas.
Selain itu, kemampuan mereka untuk bekerja dan berproduksi meningkat.
Demikian
pula halnya dengan sholat. Ia memberikan hasil yang sama dengan yang dicapai
oleh psikoterapi yang berhasil. Sebab, apa yang ditimbulkan oleh sholat, berupa
perasaan aman dan bebas dari kegelisahan, membantu dalam melepaskan energi
psikis manusia yang sebelumnya terikat oleh belenggu kegelisahan. Sehingga ia
merasakan adanya gelombang aktivitas dan vitalitas dalam dirinya.
[1] Muhammad Mawaidi, aktivasi sholat agar dapat mencegah maksiat
(Yogyakarta: Diva Press, 2015) hlm. 7
[2]
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Mulya, 1996), hlm. 206.
[4]
Sayid
Sabiq, Fiqih Sunnah I, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1977), hlm. 157.
15
Moh Rifa‟i, Risalah
Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: Toha
[5]
Al-Qur'an,
Surat Al - Mu‟ minuun Ayat 23, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur'an,
Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag. RI, 1983), hlm. 528.
[6]
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 188
[7]
Abdul
Fatah, Pendidikan Agama Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 1988), hlm. 2.
[8] Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014) hlm. 24
[9] Freud, S The Ego and The Id. The Hogarth Press London, 1950 dalam Sumadi, S
,Psikologi Kepribadian (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014) hlm. 30
[10] Zakiah Darajat, Pendidikan Agama Islam dan Pembinaan Mental,
(Jakarta: Bulan Bintang; 1962) hlm. 30
[11] Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 165
[12] Ibid, hlm. 167
[13] al Ghazali; dalam Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta,
2003) hlm. 167
[14]
Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta,
2003) hlm. 169
[15] Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1986)
cet.I, Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta,
2003) hlm. 148
[16]
Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta,
2003) hlm. 153.
[17] Johana E.
Prawitasari dkk, Psikoterapi; Pendekatan
Konvensional dan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 1
[18] Muhammad Usman
Najati, al-Qur’an dan Psikologi,
(Jakarta: Aras Pustaka, 2002) hlm 231
[19]
Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta,
2003) hlm. 170.
[21] Muhammad Usman
Najati, al-Qur’an dan Psikologi,
(Jakarta: Aras Pustaka, 2002) hlm 231
[22]
Ibid, 231
Tidak ada komentar:
Posting Komentar