Halaman

Sabtu, 02 Juli 2016

PENCEGAHAN TIMBAL-BALIK; PSIKOTERAPI MELALUI SHOLAT



 
A.    Pendahuluan
Dalam rukun Islam, Sholat Fardhu berada pada posisi kedua yang juga menjadi syarat bagi seseorang yang ingin masuk Islam[1]. Sholat Fardhu mempunyai lima ketentuan waktu dalam sehari semalam. Bagi seseorang yang mengerjakan sholat fardhu, Allah SWT menjamin kehidupan dan memasukkanya ke dalam surga. Sebab, seseorang yang mengerjakan  Sholat akan terhindar dari perbuatan maksiat (keji dan mungkar). Hal ini diperkuat dengan firman Allah SWT. yang berbunyi:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (٤٥)
45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Ankabut, 29:45)
Pengertian Fahsya’ pada ayat diatas adalah dosa-dosa yang diburukkan oleh syariat, akal dan nurani manusia, lebih banyak dipakai dalam arti zina dan yang semisal dengannya. Sedangkan pengertian  Mungkar adalah segala macam bentuk dosa dan kesalahan.
Setiap orang tentu ingin merasakan nikmat hidup melalui sholat. Dan kesejahteraan hidup hanya bisa didapatkan melalui sholat yang dikerjakan secara sempurna.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي (١٤)
14. Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.(QS. Taha;ayat 14)
Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman;
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (٢٨)
28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Ra’d ayat 28)
Setiap perkataan Allah SWT adalah firman yang termaktub dalam al-Qur’an dan menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk di muka bumi dan langit. Dengan kata lain surat al-Ankabut ayat 45 tersebut juga termasuk petunjuk bagi kita. Oleh karena itu kita harus menyikapi petunjuk itu dan mengikutinya.
Setiap hari kita melaksanakan kewajiban sholat lima waktu, Sebab, seseorang yang mengerjakan sholat berarti telah menepati kewajibanya sebagai seorang hamba. Akan tetapi hingga kini, masih ada saja manusia yang tergelincir dalam jurang kesesatan. Padahal sholat seharusnya menjadi penolong bagi hamba yang menjalankanya. Bagaimanakah proses yang terjadi bahwa sholat yang dikerjakan seseorang hamba bisa mencegah hamba tersebut dari perbuatan maksiat (keji dan mungkar).

B.     Pengertian dan Hakekat Sholat
Pengertian shalat secara bahasa, kata salat (ةصلا)  berarti doa  (دعاء) yang berasal dari akar kata salla –yusalli yang artinya mendoakan. Hal ini sebagaimanadijelaskan dalam kitab Al-Quran:
… dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. At-Taubah/9: 103).
 Menurut Imam  Ahmad bin Husain Asyahir dalam kitab Fatkhul Qorib:
            عاءلد ا لغة ةلصلاا
Shalat secara bahasa berarti berdo‟
      Menurut Zaenuddin bin Abdul Aziz  al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in:
بالتسلممختتمةبالتكبيرمفتتحة مخصوصة وأفعال أقوال شرعا الصلاة
“ Shalat menurut syari‟at adalah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”
Jadi, shalat menurut syara' adalah ucapan dan perbuatan yang ditempatkan secara spesifik, yang dibuka dengan takbiratu-ihram, dan ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena content yang terdapat dalam-nya adalah doa. Adapun menurut etimologi, shalat berarti doa. Sedangkan menurut istilah, para ahli mendefinisikan pengertian shalat sebagai berikut :
a.  Hasbi Ash-Shiddieqy, mendefinisikan :
    “Shalat adalah memohon kebajikan beberapa rukun yang tertentu, beberapa dzikir tertentu dengan syarat-syarat tertentu di waktu-waktu tertentu. Memohon kebesaran dan kemuliaan untuk Rosul SAW di dunia dan akhirat, menyanjung dan memuja. Shalat yang difardlukan sehari semalam lima kali, dinamai shalat maktubah (wajib)”.[2]
b. Hafid Abdullah, mendefinisikan :
“Shalat merupakan kewajiban kepada setiap orang yang sudah baligh (cukup umur), berakal, suci dan muslim”.[3]
c.  Sayid Sabiq, menjelaskan :
“Shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Ta‟ala dan disudahi dengan memberi salam”[4].
Dari ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, shalat pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan ritual yang dilakukan oleh orang Islam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta memohon atau berdo‟a kepada-Nya. Perintah tersebut tidak boleh atau tidak ada alasan untuk meninggalkannya selama roh (nyawa) masih di kandung badan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam surat
Al-Mu‟minuun ayat 32
فَأَرْسَلْنَا فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ (٣٢)
Lalu Kami utus kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): "Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya.Maka  mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya). (Q.S. Al-Mu‟minuun/23:32).[5]
Oleh karena betapa pentingnya arti shalat bagi kehidupan manusia di muka bumi ini, maka hendaklah perintah shalat ini ditanamkan dalam hati dan jiwa seorang mahasiswa. Bahkan orang Islam yang sedang sakit dalam perjalanan dan sebagainya masih tetap dituntut untuk mengerjakan shalat. [6]
Dengan demikian shalat adalah urusan nomor satu diantara ibadah-ibadah lain yang harus dikerjakan oleh setiap muslim. Urusan shalat fardhu dianggap lebih penting, sebab:
a. Waktu Nabi Muhammad Saw menerima shalat ini, beliau dipanggil langsung oleh Allah kehadirat-Nya.
b. Shalat adalah wasiat yang terakhir dari nabi Muhammad kepada segenap umatnya.
c. Orang yang mengerjakan shalat ada hubungannya dengan penciptanya yakni Allah Swt.
d. Besok di akherat yang pertama-tama ditanyakan oleh Allah adalah tentang shalat.
e. Sekali saja meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa halangan, nama orang tersebut ditulis oleh Malaikat di pintu neraka.
f. Shalat merupakan tiang agama Islam, maksudnya adalah orang yang tidak mau menjalankan shalat berarti ia telah merobohkan agamanya.[7] Oleh sebab itu, shalat fardu harus tetap dikerjakan dalam keadaan bagaimanapun. Sehingga orang Islam tidak dapat lepas dari kewajiban dan tanggung jawab sebagai

C.    Pencegahan (Prevention) & Penanganan (Intervention)  dalam perspektif Psikologi
Yang dimaksudkan dengan pencegahan dalam lingkup gangguan kejiwaan, menyangkut dua hal, yaitu:
a.       Mencari dan sekaligus menghilangkan penyebab-penyebab gangguan mental; dan
b.      Membangun kondisi-kondisi yang dapat mendorong lahirnya kesehatan mental.
Terdapat tiga jenis pencegahan dalam masalah kejiwaan, ialah pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.[8]


Istilah intervensi merupakan istilah yang saat ini sangat umum digunakan orang untuk menunjuk pada berbagai macam tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan kesembuhan atas gangguan kejiwaan atau pelurusan atas penyesuaian diri yang salah. Intervensi juga digunakan dalam berbagai istilah lain yang digunakan untuk membantu orang yang terganggu secara kejiwaan (psychological disorders) atau memiliki masalah kejiwaan (psychological problems) dalam kehidupan sehari-harinya.[9]
Disamping psikoterapi dan psikoanalisis, juga dikenal nama lain, yaitu melatih (coaching), bimbingan (guidance), konseling, pemberian nasihat (advising), perlakuan (treatment), dan pengubahan perilaku (behavior modification).
Dalam membahas berbagai perlakuan (treatment) untuk perilaku abnormal, Susan Nolen Hoeksema, mengemukakan tiga pendekatan perlakuan yang biasa diberikan terhadap mereka yang mengalami gangguan kejiwaan atau abnormalitas yaitu perlakuan biologis (biological treatments), terapi-terapi psikologi (psychological therapies), dan pendekatan-pendekatan social (social approaches).

C.    Keabnormalan Mental (Jiwa)
Keabnormalan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan psikis. Keabnormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat secara fisik.[10]
Keabnormalan dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) gangguan mental (jiwa) (neurose), dan (2) sakit mental (jiwa) (psychose), perbedaan antara keduanya kalau orang yang kena neurose, masih mengetahui  dan merasakan kesukarannya. Sebaliknya orang yang terkena psycose tidak mengetahui dan merasakan kesukaranya tersebut.
Secara umum perbedaan psycose dan neurose dapat dilihat pada perasaan, pikiran, perilaku dan personalitas penderita. Penderita neurose masih mampu merasakan kesukaran yang dihadapinya, sehingga perilaku dari kepribadiannya belum memperlihatkan kelainan yang serius, ia masih berada dalam kehidupan realitas. Orang yang terkena neurose mengetahui kesukaran yang dirasakan, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Sedangkan penderita psycose karena yang terkena pikiranya, kepribadiannya tampak tidak padu lagi. Karena itulah dia sudah tidak mampu lagi hidup dalam dunia nyata. Bahkan bisa jadi penderita psycose tidak bisa mengenali dirinya sendiri, apalagi orang lain.[11]
Oleh karena itu, gejala-gejala gangguan dan penyakit mental dapat dilihat dari segi perasaan, pikiran, tingkah laku dan kesehatan badan seseorang. Orang yang mengalami neurose, dari segi perasaan, tanda-tandanya, antar lain: rasa gelisah, cemas, takut kehilangan harta, ketegangan batin, rasa putus asa, murung dan sebagainya. Dari segi pikiran tanda-tandanya antara lain adanta ketidakmampuan berkonsentrasi, dan sering munculnya pikiran-pikiran buruk. Dari segi perilaku, bagi mereka yang terkena neurose, perbuatannya  mengganggu dirinya sendiri. [12]

E.     Keabnormalan  Mental dalam  Islam
Dalam perspektif Islam sehat atau tidaknya mental seseorang berpijak pada aspek spiritualitas keagamaan. Seberapa jauh keimanan seseorang yang tercermin dalam kehidupankeberagamaan dalam kesehariannya menjadi titik tolak penting dalam menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang.
Dalam perspektif Islam gangguan dan sakit mental tidak hanya diukur dengan ukuran humanistik saja, sebagaimana diikuti oleh semua aliran psikologi kontemporer. Akan tetapi Islam juga melihat bagaimana kaitanya dengan Iman dan Akhlak.
Kajian tentang keabnormalan mental sebenarnya sudah banyak dibicarakan dalam kitab klasik. Diantara pakar yang membicarakannya adalah al-Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab “Tazkiyah al Nafs” dengan istilah al-akhlak al madzmumah.[13]
Al Ghazali memandang bahwa keabnormalan mental identik dengan akhlak yang buruk. Akhlak yang baik, dikategorikanya sebagai sifat para rasul Allah SWT, perbuatan para al shiddiqin paling utama. Sedangkan akhlak yang buruk dinyatakan sebagai racun yang berbisa yang dapat membunuh, atau kotoran yang bisa menjauhkan seseorang dari Allah SWT. Di samping itu akhlak yang buruk juga termasuk ke dalam langkah setan yang bisa menjerumuskan manusia masuk ke dalam perangakapnya.
Ukuran yang biasa dipergunakan untuk mengetahui ciri khas gangguan mental dalam Islam adalah kesadaran diri sebagai hamba Allah, ketaatan beribadah dan kontinuitas melakukan perbaikan akhlak menuju tercapainya derajat al Insan al Kamil atau untuk mencapai taqarrub ila Allah. Sebab orang yang selalu dekat dengan Tuhanya dan selalu mengingatnya akan menggunakan potensi kekuatan dirinya secara optimal, tidak akan menimbulkan kealpaan, dan tidak akan mengakibatkan timbulnya mental negatif. Sebab ia akan selalu berada di lingkungan nur ilahi. Tetapi orang yang jauh dari Allah akan masuk pada daerah kesuraman dan menjadi orang yang banyak lalainya.[14]

F.     Kesehatan Mental (Jiwa) Menurut Al Qur’an Dan Hadits
Sebagai kitab suci yang berisi petunjuk (hudan) dan penjelas, bagi petunjuk itu sendiri (wa bayin min al huda) didalamnya banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan kesehatan mental dengan berbagai istilah yang digunakanya sebagai sesuatu yang hendak di capai oleh setiap manusia. Manurut Langgulung, istilah-istilah tersebut adalah kebahagiaan (sa’adah) keselamatan (hajat) kejayaan (fawz), kemakmuran (falah) dan kesempurnaan (al kamal).[15]
Di samping beberapa istilah kesehatan mental tersebut, di dalam alQur’an juga banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan uraian definisi kesehatan mental, meliputi hubungan manusia dengan dirinya sendiri, sesama manusia, lingkungan dan Tuhan, yang kesemuannya ditujukan untuk mendapatkan hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat. Dalam konteks ini tidaklah salah kiranya kalau kalimat itu dianalogikan dengan mengembangkan dan memanfaatkan potensi manusia.
Lebih lanjut lagi al-Qur’an telah menjelaskan sikap manusia dalam usahanya mengembangkan dan memanfaatkan potensi tersebut, yang secara makro dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu ashab al yamin dan ashab al syimal, sebagai contoh-contoh ayat berikut:
1.         Yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri (habl min al-nafs). Dalam hubungan manusia mengembangkan dan memanfaatkan potensinya dalam bentuk amr ma’ruf nahi mungkar atau sebaliknya mengumbar hawa nafsu yang ada pada dirinya.
Firman Allah Surat al-Maidah ayat 110.
“ Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT”
Sedangkan Hadits yang berhubungan dengan kesehatan mental adakalanya yang berkaitan dengan indikator kesehatan mental dan adakalanya yang berkaitan dengan psikoterapi. Yang berkaitandengan kesehatan mental: adalah Hadits dari Ubaid Ibn Muhashan, bahwa:
“ Dan Ubaid Ibn Muhashan al-Khithmi bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa diantara kalian yang telah merasa aman dengan lingkungan atau kelompok sosial, tubuhnya sehat dan mampu mencukupi kebutuhan makanya setiap hari, maka baginya sepadan dengan memiliki dunia dengan segala isinya”. (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan hadits diatas Rasulullah SAW menyatakan bahwa ada tiga sebab seseorang untuk merasakan kebahagiaan, yaitu: (1) Perasaan nyaman dalam sebuah komunitas (2) Tubuh yang sehat (3) mampu mencukupi kebutuhanya sehari-hari. Ketentraman dan kebahagiaan akantercapai jika seseorang merasa bahwa dirinya diterima dalam lingkungan sosialnya, tubuhnya sehat dan terhindar dari berbagai penyakit dan mampu memenuhi kebutuhan primer demi keberangsungan hidupnya . Ketiga hal ini merupakan indikator penting bagi kesehatan mental.[16]

G.    Psikoterapi Keagamaan
Istilah “Psikoterapi” berasal dari dua kata, yaitu “Psiko” dan “terapi”. “Psiko” artinya kejiwaan atau mental dan “terapi” adalah penyembuhan atau usada. Jadi kalau dibahasa Indonesiakan psikoterapi mungkin dapat disebut usada jiwa atau usada mental.[17]
Definisi psikoterapi dengan tepat memang sulit diberikan. Hanya saja secara umum dapat penulis katakan bahwa: psikoterapi adalah proses formal interaksi antara dua pihak atau lebih. Yang satu adalah profesional penolong dan yang lain adalah “petolong” (orang yang ditolong) dengan catatan bahwa interaksi itu menuju pada perubahan atau penyembuhan. Perubahan itu dapat berupa perubahan rasa, pikir, perilaku, kebiasaan yang ditimbulkan dengan adanya tindakan profesional penolong dengan latar ilmu perilaku dan teknik-teknik usada yang dikembangaknnya.
Menurut carl wetherington dalm muchtar buchari orang yang merasa tidak/ kurang aman dalam hatinya adalah orang yang mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa ini dapat ditelusuri berdasarkan tiga hal. Pertama, persepsi orang yang mengganggap dirinya paling hebat atau mnganggap orang lain berada dibawah dirinya. Kedua perilaku orang yang menyimpang. Ketiga, orang merasa putus asa.
Dan ketiga hal tesebut, orang yang mengalami gangguan jiwa yang disebabkan oleh persepsi  dirinya yang dianggap paling hebat akan memandang orang yang berada disekeliling sudah keliru. Penyesuaian dirinya dengan orang disekelingnya pun selalu dinilai dengan ukuran prsepsi dirinya yang dianggap paling hebat. Sikap orang yang mengalami gangguan seperti ini akan terlihat aneh dan menyimpang dalam pandangan umum, sedangkan orang tersebut menyadarinya. jiwa orang seperti ini selalu memberontak dan putus asa yang disebabkan oleh kegelisahanya yang muncul dari konflik batin yang dialaminya. Gangguan jiwa seperti ini melemahkan kemampuan penderita untuk menemukan norma yang bersifat universal serta melemahkan ras tanggung jawabnya dalam berinteraksi dengan realitas disekitarnya dengan baik.[18]
Gangguan jiwa dapat pula terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar berupa kebutuhan jasmani (makan, minum, seks dsb.) dan kebutuhan rohani (rasa aman, ingin dicinti, ingin tahu dsb.) yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Apabila seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut orang akan mengalami konflik batin, frustasi, dan bahkan ada yang lari dari realitas kehidupan seperti ingin bunuh diri. Dalam ilmu kesehatan mental orang tersebut disebut mengalami gangguan jiwa (neurose,) bahkan ada yang menjurus kepada sakit jiwa (psychose).
Menurut William Router dalam Athiyah Mahmud hanna pada dasarnya psikoterapi yang dilakukan oleh psikiater tidak menggunakan obat-obatan, tetapi dengan menggunakan metode sugesti, nasihat, hiburan, dan hipnosis.[19]Menurut psikiater untuk menanggulangi gangguan jiwa ini dapat dilakukan oleh orang yang mengalami penderitaan, dengan jalan menyesuaikan dan membiasakan diri dengan norma-norma yang baik. Atau juga bisa melalui orang lain dengan menberikan sugesti kepada penderita agar mematuhi norma-norma yang baik. Dalam konteks ini terlihat adanya hubungan antara agama dan psikoterapi.
Psikologi agama dalam Islam didasarkan pada kehadiran Islam sebagai rahmatan lilalamin membawa norma-norma bagi manusia tantang jalan yang harus ditempuh dalam hidupnya. Kehadiran Islam mengubah peradaban manusia dengan mengubah cara berfikir dan memandang dirinya, orang lain, dan alam semesta. Dan begitu juga Islam mengajarkan begaimana menjalani hubungan dengan Allah SWT dengan manusia dan dengan alam sekitar, maupun dengan dirinya sendiri.
Psikoterapi keagamaan dalam Islam dapat dirujuk dari ayat al-Qur’an maupun Hadis Rasulullah SAW yang dapat menjadikan pedoman dalam melaksanakan psikoterapi.
                     1.  Ayat-ayat al-Qur’an tentang Psikoterapi
Didalam al-Qur’an ditemukan ayat yang berkaitan dengan psikoterapi, seperti yang terdapat dalam ayat-ayat dibawah ini antara lain :
a.         Psikoterapi melalui Iman
Firman Allah SWT.
منْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٩٧)
Artinya :
“barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami berikan alasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dan apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S An-Nahl : 97)
Dengan beriman kepada allah dan selalu berprilaku yang baik dapt melahirkan kedamaian jiwa, keridhoan, kelapangan, dan kebahagiaan seseuai dengan janji allah SWT yang diperuntukan dan balasan yang setimpal diakhirat.
b.          Psikoterapi melalui Ibadah
1)    Ibadah Shalat
Firman allah SWT.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (٤٥
Artinya:
 “dan mintalah pertolongan (kepada allah,) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat” (Q.S Al-Baqarah:45)
2)    Ibadah puasa
Firman allah SWT.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (١٨٦)
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas seorang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S Al-Baqarah:183)
Ibadah dapat mengajarkan manusia mengenai sifat terpuji seperti sabar dalam menerima cobaan atau musibah, mengontrol hawa nafsu dan syahwat, taat, disiplin, mencintai sesama manusia, saling tolong menolong diantara sesama, suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan, memiliki jiwa gotong royong, dan memiliki jiwa solidaritas sosial, serta sifat terpuji lainya, kesemuaanya merupakan indikator mental yang sehat.[20]
                           
H.    Analisis (Spikoterapi melalui Sholat)
Perubahan pemikiran merupakan langkah pertama dan penting untuk mengubah kepribadian dan tingkah laku seseorang. Hanya saja untuk mempelajari tingkah laku yang baru, diperlukan juga praktek dalam waktu yang cukup lama. Yakni, diperlukan latihan, sehingga tingkah laku itu menjadi mantap dan mapan.
Hal ini juga berlaku pada psikoterapi, dimana pasien tidak cukup hanya mengenal hakekat persoalanya, berubahnya pikiran tentang persoalan tersebut dan juga pangdangannya tentang diri dan kehidupanya. Namun, disamping itu, penting pula ia menjalani beberapa latihan baru dalam kehidupan, dimana ia menerapkan pandangan barunya, baik tengan dirinya sendiri maupun tentang orang lain, dan melihat sendiri maupun orang lain.
Al Qur’an, dalam mendidik kepribadian dan mengubah tingkah laku manusia, menggunakan metode latihan dan praktek nyata terhadap pikiran dan kebiasaan tingkah laku baru yang ingin ditanamkan kepada  ke dalam jiwa mereka. Untuk itu allah SWT mewajibkan berbagai ibadah. Diantaranya adalah ibadah Sholat. Dengan pelaksanaan ibadah sholat tersebut secara ikhlas dan teratur, seorang mukmin tentu akan memperoleh sifat-sifat terpuji yang merupakan pelengkap unsur –unsur  kesehatan jiwa.
Sebutan Shalat menunjukkan bahwa didalamnya terhadap hubungan antara manusia denga Tuhanya. Sebab ia dalam sholat, seseorang berdiri dengan khusu’ dan tunduk dihadapan Allah SWT. Penciptaannya dan juga pecinta alam semesta. Berdirinya seseorang ketika sholat, akan memberinya energi spiritual sehingga merasakan kesucian rohani, ketentraman hati dan kedamaian jiwa. Sebab dalam sholat, jika dilakukan sebagaimana mestinya, seseorang mengarahkan seluruh anggota tubuh dan inderanya kepada Allah SWT; mengenyampingkan semua urusan dunia dan problemanya; dan tidak memikirkan sesuatu, kecuali Allah SWT dan ayat-ayat alQur’an yang dibacanya berulang-ulang. Apa yang dilakukannya dalam sholat itu, dengan sendirinya akan membangkitkan dalam dirinya suasana santai, jiwa yang tenang dan pikiran yang bebas.[21] Kondisi yang ditimbulkan oleh sholat tersebut mempunyai dampak pengobatan yang penting dalam mengatasi ketegangan saraf yang timbul akibat tekanan kehidupan sehari-hari. Dan mengurangi kegelisahan yang dialami sementara orang.
Rileks merupakan salah satu sarana yang dipergunakan oleh sebagian ahli psikoterapi modern dalam menyembuhkan berbagai penyakit kejiwaan. Suasana rileks biasanya biasanya dapat dipelajari oleh seseorang melalui latihan. Dan Sholat lima kali sehari, merupakan sistem terbaik untuk melatih dan mempelajarinya, maka ia akandapat melepaskan diri dari ketegangan syaraf yang disebabkan  oleh tekanan dan kesulitan hidup. Rasulullah SAW pernah berkata kepada bilal, ketika tiba waktu sholat.
“ Wahai Bilal, buatlah kami istirahat dengan sholat”
Dalam Hadits yang lain disebutkan:
Rasulullah SAW, bila menghadapi persoalan berat, beliau melaksanakan sholat”
Juga dalam hadits yang lain,
“Kesenanganku terdapat dalam sholat”
Suasana santai dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan oleh sholat, membantu melepaskan diri dari kegelisahan yang dikeluhkan oleh para pasien jiwa. Keadaan seperti itu, biasanya  berlangsung beberapa saat setelah selesei melaksanakan sholat. Seseorang  terkadang menghadapi atau mengingat beberapa hal dalam situasi yang menimbulkan kegelisahan, sementara ia sedang dalam suasana santai dan jiwa yang tenang. Jika hal ini terjadi berulang-ulang, maka kegelisahan itu akan hilang secara bertahap. Dan berbagai persoalan dan situasi yang menimbulkan kegelisahan ituakan terikat dengan suasana yang santai dan jiwa yang tenang. Dengan demikian orang akan terbebas dari kegelisahan.[22]
Berbarenganya keadaan santai dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat dengan situasi-situasi yang menimbulkan kegelisahan secara berulanhg-ulang, baik dengan menghadapinya secara nyata dalam kehidupan atau dengan mengingatnya, pada akhirnya akan mendorong terbentuknya ikatan-ikatan kondisional baru antar berbagai situasi tersebut dengan respons keadaan tenang dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat, yang merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan. Dengan demikian, orang akan terlepas dari perasaan gelisah.
Setelah selesai shalat, seorang biasanya langsung membaca tasbih dan berdoa kepada Allah SWT. Ini membantu berlangsungnya keadaan santai dan ketenagan jiwa untuk beberpa saat setelah shalat. Dalam berdoa, seseorang bermunajat kepada Tuhanya. Ia mengunggkan semua keluhan dan persoalan yang ia hadapi dalam kehidupan yang membuatnya gelisah, dan memohon pertolonga-Nya  untuk mengatasi persoalan tersebut dan memenuhi kebutuhanya. Seseorang, dengan hanya megungkapkan berbagai problema yang membingungkan dan mengelisahkannya, sementara ia berada dalam suasana dan jiwa yang tenang, akan membuatnya terbebas dari kegelisahan.dengan metode yang sama, seperti yang telah dijelaskan. Yaitu dengan menciptakan suatu keterikatan kondisonal baru antara berbagai problem dengan suasana santai dan jiwa yang tenang. Maka problem-problem tersebut akan kehilangan kemempuanya secara bertahapuntuk menimbulkan kegelisahan dan terikat secara kondisional dengan suasana santai dan jiwa yang tenang, yang merupakan suasana yang berlawanan.
Lebih dari itu, mengungkapkan problem dan kesulitan kepada orang lain akan membuat jiwa tenang. Dikalangan para ahli psikoterapi telah diketahui, ingatnya penderita penyakit kejiwaan akan problem-problemnya dan dibicarakan hal itu dengan orang lain, akan meredakan kegelisahanya. Apabila suasana kejiwaan seseorang membaik karena ia mengungkapkan problem-problem yang dihadapinya kepada seorang kepada seorang teman karib atau kepada seoarang psikiater, maka tentu akan lebih membaik lagi, jika problem-problem itu dikemukakan kepada Allah. Setiap selesai shalat, ia bermunajat kepada tuhanya, berdo’a dan memohan pertolangan kepada-Nya. Selain itu, semata-mata berdo’a dan tunduk kepada-Nya pun akan meredakan kegelisahan dari segi lain. Ini dikarena seorang mukmin tahu, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an :
“ dan tuhanmu berfirman: Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (Qs, al-Mukmin/40:60)
“ Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka(jawablah) bahwasanya Aku akan dekat. Aku mengabulkanpermohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku” (Qs. Al Baqarah/2: 186)
Oleh karena itu, berdo’a kepada Allah SWT membantu meredakan kegelisahan, di mana seorang mukmin berharap Allah SWT akan mengabulkan permohonannya dalam mengatasi problem-problemnya, memenuhi kebutuhanya dan menghilangkan kegelisahan dan kesusahannya. Terlepas dari apakah Allah benar-benar mengabulkan do’a seseorang atau tidak, semata-mata mengharap kepada Allah dengan berdo’a, dan berharap untuk dikabulkan, akan meringankan kegelisahanya, yakni melalui otosugesti (auto sugestion) akan kemungkinan dikabulkanya do’a yang dia panjatkan.
Sebagaimana diketahui, kegelisahan biasanya timbul dari ketidakmampuan seseorang memecahkan masalah konflik-konflik psikisnya. Sementara konflik psikis itu sendiri menguras banyak energi psikis manusia. Karena itu, orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan, tidak mampu mengungkapkan secara benar kemampuan dan potensi yang mereka miliki. Ketika disembuhkan dan energi psikisnya bebas dari belenggu konflik tersebut. Biasanya mereka memperlihatkan vitalitas dan aktivitas. Selain itu, kemampuan mereka untuk bekerja dan berproduksi meningkat.
Demikian pula halnya dengan sholat. Ia memberikan hasil yang sama dengan yang dicapai oleh psikoterapi yang berhasil. Sebab, apa yang ditimbulkan oleh sholat, berupa perasaan aman dan bebas dari kegelisahan, membantu dalam melepaskan energi psikis manusia yang sebelumnya terikat oleh belenggu kegelisahan. Sehingga ia merasakan adanya gelombang aktivitas dan vitalitas dalam dirinya.

 


[1] Muhammad Mawaidi, aktivasi sholat agar dapat mencegah maksiat (Yogyakarta: Diva Press, 2015) hlm. 7
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Mulya, 1996), hlm. 206.
[3] Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, (Semarang: Asy-Syifa‟, 1999), hlm. 16.
[4] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah I, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1977), hlm. 157.
15 Moh Rifa‟i, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: Toha
[5] Al-Qur'an, Surat Al - Mu‟ minuun Ayat 23, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag. RI, 1983), hlm. 528.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 188
[7] Abdul Fatah, Pendidikan Agama Islam, (Semarang: Aneka Ilmu, 1988), hlm. 2.
[8] Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hlm. 24
[9] Freud, S The Ego and The Id. The Hogarth Press London, 1950 dalam Sumadi, S ,Psikologi Kepribadian (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hlm. 30
[10] Zakiah Darajat, Pendidikan Agama Islam dan Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang; 1962) hlm. 30
[11] Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 165
[12] Ibid, hlm. 167
[13] al Ghazali; dalam Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 167
[14] Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 169
[15]  Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1986) cet.I, Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 148
[16] Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 153.
[17] Johana E. Prawitasari dkk, Psikoterapi; Pendekatan Konvensional dan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)  hlm. 1
[18] Muhammad Usman Najati, al-Qur’an dan Psikologi, (Jakarta: Aras Pustaka, 2002) hlm 231
[19] Ramayulis, Psikologi Agama, (Kalam Mulia; Jakarta, 2003) hlm. 170.
[20] Ibid, hlm. 171
[21] Muhammad Usman Najati, al-Qur’an dan Psikologi, (Jakarta: Aras Pustaka, 2002) hlm 231
[22] Ibid, 231

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...