A.
Latar Belakang
Anak merupakan
titipan Allah yang paling berharga dalam setiap kehidupan manusia. Anak yang
lahir dalam suatu perkawinan yang sah, sangat ditunggu-tunggu oleh setiap
pasangan suami istri, karena perkawinan tanpa anak terasa belum sempurna
perkawinan tersebut. Anak merupakan harapan setiap orang tua sekaligus harapan
bagi setiap negara. [1]
Sesungguhnya sejak lahir anak telah membawa fitrah keagamaan. fitrah
itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses. Menurut Jalaludin seperti
yang dikutip Slamet, ada tiga potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, yaitu
potensi ruh, jasmani, dan fisik.[2]
Perhatian
terhadap anak harus dapat sejalan dengan peradaban itu sendiri, yang makin hari
makin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan dan bimbingan khusus agar dapat
berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.[3]
Pola asuh terhadap anak harus dilakukan dengan pendidikan yang
baik,[4] jika
dilakukan dengan salah, maka akan berdampak yang tidak baik bagi perkembangan
jiwa dan raganya, dan tentunya juga akan berdampak pada lingkungan sekitarnya. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang akhir-akhir ini marak terjadi.
Beberapa kasus yang marak terjadi tersebut berupa tindakan kriminalitas seperti
mencuri, menggunakan obat-obatan terlarang, free sex, tawuran dan lain
sebagainya. Sepanjang tahun 2014 Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menerima pengaduan kejahatan yang dilakukan anak sebanyak 1.851, angka
ini meningkat dari tahun 2013 yang hanya berjumlah 730 kasus. Hampir 52 persen
dari angka itu adalah kasus pencurian yang diikuti dengan kasus kekerasan,
perkosaan, narkoba, judi serta penganiayaan.[5]
Tindakan kriminalitas tersebut, tentunya bertentangan dengan
norma-norma ajaran Islam, sebab perbuatan tersebut dapat menjerumuskan setiap
pelakunya ke dalam api neraka. Ajaran Islam telah memberikan kewajiban kepada
setiap orang-orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari
perbuatan yang dapat menjerumuskan diri ke dalam api neraka. Pada tulisan ini,
penulis akan membahas mengenai bagaimana pemeliharaan diri dan keluarga dalam
konsep Islam melalui telaah dari perintah Allah dalam al-Quran Surat At-Tahrim
(66) Ayat (6).
B.
Paradigma
Wahyu
Mengenai pemeliharaan diri, sesungguhnya Islam telah memberikan
peringatan kepada manusia melalui firman Allah Swt dalam QS. 66:6 yang berbunyi
:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Ayat tersebut penulis jadikan sebagai paradigma wahyu guna
menemukan sebuah teori dalam upaya menjawab pemeliharaan seperti apa yang
dimaksud dalam ayat tersebut, khususnya pemeliharaan orang tua terhadap anaknya
agar terhindar dari siksaan Neraka.
C. Penjelasan QS. 66:6
Ibnu Katsir memberikan penafsiran QS. 66:6
bahwa terdapat kewajiban bagi setiap hamba Allah yang mengaku beriman untuk
menaati Allah Swt dengan segala syarat-syarat keimanannya. Salah satu kewajiban
tersebut adalah dengan menta’dib (mengajarkan Adab) dan mengajari mereka
agama serta mendorong mereka melaksanakan perintah Allah. Oleh karena itu
seorang hamba tidaklah akan selamat sampai dapat melaksanakan perintah Allah
pada dirinya dan pada orang yang berada di bawah kekuasaanya seperti Istri,
anak dan sebagainya.[6]
Menurut
al-Maraghi,[7] pada ayat
tersebut terdapat kata qu anfusakum yang berarti buatlah sesuatu
yang dapat menjadi penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara
menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak memiliki hawa nafsu,
dan senantiasa taat dan menjalankan perintah Allah. Selanjutnya wa
ahlikum maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak,
pembantu, dan budak, dan diperintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan
cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan hadis
Rasulullah yang diriwayatkan oleh ibn al-Munzir, al-Hakim, dan oleh riwayat
lain dari Ali RA.
Al-Maraghi menuturkan maksud dari ayat
tersebut adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan
terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian al waqud adalah
sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan al-hijarah
adalah batu berhala yang biasa disembah oleh masyarakat jahiliyah. Malaikatun dalam
ayat tersebut maksunya mereka yang jumlahnya sebanyak 19 dan bertugas menjaga
neraka. Sedangkan ghiladzun maksudnya adalah hati yang keras,
yaitu hati yang tidak memiliki rasa belas kasihan apabilah ada orang yang
diminta dikasihani. Dan syidadun artinya memiliki kekuatan.
Al-Maraghi mengatakan bahwa
setelah Allah SWT memerintahkan sebagian istri rasulullah SAW agar bertaubat
dari segalah kekeliruan, dan menjelaskan kepadanya bahwa Allahlah yang
memelihara dan menolong utusan-Nya, maka tidak ada yang dapat memperdayakannya,
karenanya mereka diminta agar tidak mengkhianati Rasul karena takut diceraikan
karena mereka adalah ibu dari kaum muslimin (Ummahat al-Mu’minin), maka
selanjutnya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
pada umumnya, agar memelihara diri dan keluarganya dari siksaan api
neraka dan kayu bakarnya terdiri dari bebatuan berhala dan manusia (kafir).
Dangan demikian permasalahan yang menimpa keluarga Nabi yang dapat menimbulkan
azab agar dijadikan juga peringatan bagi kaum muslimin pada umumnya, mengingat
Rasulullah adalah sebagai panutan kaum Muslimin.[8]
Lebih lanjut al-Maraghi
mengemukakan maksud ayat tersebut (yaa ayyuhal ladzina amanu…..
al-hijarah), dengan keterangan: wahai orang-orang yang membenarkan adanya
Allah dan Rasul-Nya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan kepada
sebagian yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan
menolaknya,yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan yang dapat memelihara
dirinya dengan cara memberikan nasihat dan pendidikan. Jelasnya ayat tersebut
berisi perintah atau kewajibn terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama
kepada mereka. Hal yang demikian sejalan dengan hadis yang mengatakan bahwa
Allah memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan bahwa sholatnya,
puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, anak yatimnya, tetangganya mudah-mudahan
dapat mengumpulkan mereka di surga pada hari kiamat.[9]
Menurut
Jalalain, (hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan
keluarga kalian) dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan kepada
Allah SWT – (dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia) orang-orang
kafir (dan batu) seperti berhala-berhala yang mereka sembah
adalah sebagian dari bahan bakar neraka itu. Atau dengan kata lain api neraka
itu sangat panas, sehingga hal-hal tersebut dapat terbakar. Berbeda halnya
dengan api di dunia, karena dinyalakan dengan kayu dan lain-lainnya -
(penjaganya malaikat-malaikat) yakni, juru kunci neraka itu adalah
malaikat-malaikat yang jumlahnya ada sembilan belas malaikat - (yang
kasar) lafaz Ghilazhun ini diambil dari asal kata Ghilazul
Qalbi, yakni kasar hatinya - (yang keras) sangat keras
hantamannya - (mereka tidak pernah mendurhakai Allah Swt terhadap apa
yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka) lapaz Ma Amarahum berkedudukan
sebagai Badal dari lafaz Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat
penjaga neraka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah Swt– (dan
mereka selalu mengerjakan apa yang diperinahkan) lapaz ayat ini
berkedudukan menjadi Badal dari lafaz yang sebelumnya. Dalam ayat ini
terkandung ancaman bagi orang-orang mu’min supaya jangan Murtad dan juga ayat
ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang munafik yaitu, mereka yang mengaku
beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap kafir.[10]
Menurut Jalalain Qu Anfusakum: jadilah dirimu itu pelindung
api neraka dengan meninggalkan maksiat. Wa Ahlikum: membawa keluargamu
kepada hal itu dengan nasehat dan pelajaran. Al-Waqud: kayu
bakar Al-Hijarah: berhala-berhala yang disembah. Malaikah: para
penjaga neraka yang Sembilan belas orang. Gilaz: kesat hati dan
tidak mau mengasihi apabilah mereka diminta belas kasihan. Syidad: kuat
badan. At-Taubatun Nasuh: menyesali apa yang telah dilakukan dan
berkemaun kuat untuk tidak melakukannya kembali pda waktu yang akan datang.[11]
Penjelasan dari Jalalain mengenai ayat
tersebut adalah, sesudah Allah swt memerintahkan kepada sebagian istri-istri
nabi Saw Untuk bertaubat dari kesalahan yang terlanjur dilakukan, dan
menjelaskan kepada mereka bahwa Allah swt Akan menjaga dan menolong rasul-Nya
hingga kerja sama mereka untuk menyakitinya tidak akan membahayakannya,
kemudian memperingatkan mereka agar tidak berkepanjangan dalam menentangnya
karena khawatir akan ditalak dan dijatuhkan dari kedudukannya yang mulia
sebagai ibu-ibu kaum mukminin, karena digantikan dengan istri-istri yang lain
dan wanita-wanita mukmin yang saleha, dia memerintahkan kaum mukmin pada
umumnya untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka yang kayu bakarnya adalah
manusia dan berhala-berhala pada hari kiamat. Yaitu pada hari dikatakan pada
orang orang kafir,”janganlah kamu beruzur karena waktunya sudah terlambat. Kamu
itu menerima balasan dari apa yang kamu lakukan didunia.” Kemudian dia menerima
orang-orang mukmin agar meninggalkan kesalahan-kesalahan mereka dan bertaubat
dengan taubat nasuha, sehingga mereka menyesali
kekeliruan-kekeliruan yang terlanjur mereka lakukan dan berkemauan kuat untuk
tidak mengulanginya pada waktu yang akan dating supaya Allah SWT menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memasukan mereka ke dalam surga-surga yang penuh
nikmat. Senjata paling ampuh untuk memelihara diri dari siksa neraka yaitu
mengerjakan perintah Allah SWT dan menghentikan larangan-Nya.[12]
D.
Konsep
Dasar Manusia
Telaah
ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran kontradiktif
menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat
pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan
yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini
dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering
pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar
nikmat, dan sangat banyak membantah serta bersifat keluh kesah lagi kikir.[13]
Dalam al-Qur’an manusia disebut
dengan berbagai nama antara lain: al-Basyr, al-Insan, an-Nas, Bani Adam,
al-Ins, Abd Allah dan Khalifah Allah. Sehubungan dengan hal ini maka untuk
memahami peran manusia, berikut dua hal kata yang berhubungan dengan manusia
guna dijadikan acuan dalam tulisan ini.[14]
1.
Konsep
Abd Allah
Dalam konteks
konsep Abd Allah ini ternyata peran manusia harus disesuaikan dengan
kedudukannya sebagai abdi (hamba). Al-Qur’an surat Al-dzariyat ayat 56 Dalam
menjelaskan pengertian ayat tersebut, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa
eksistensi kehambaan manusia tidak akan sempurna jika manusia itu tidak
memiliki kesadaran ilahiyyah dan kesadaran ubudiyah. Kesadaran ilahiyah adalah kesadaran
tentang eksistensi Allah sebagai rab bagi alam semesta. Kesadaran ini
meniscayakan adanya penolakan Tuhan selain Allah; tidak ada yang berkuasa
selain Allah; tidak ada yang patut disembah, dipuja dan dipuji selain Allah.
Sedang kesadaran ubudiyah adalah kesadaran akan kewajiban manusia untuk
menghamba atau mengabdi hanya kepada Allah. Manusia harus mengerti posisinya
sebagai makhluk yang harus patuh kepada Khaliknya. Karenanya, kesadaran
akan posisinya inilah kemudian ketaqwaan seseorang dapat diukur kualitasnya,
hal ini sesusai dengan pengertian takwa itu sendiri[15]
2.
Konsep
Khalifah Allah
Tugas dan tanggung jawab manusia
sebagai khalifah lebih luas maknanya dari sekedar tanggung jawab manusia
sebagai makhluk sosial, bila tanggung jawab sosial hanya terbatas pada hubungan
antar manusia, maka tanggung jawab khalifah meliputi hubungan antar sesama
manusia juga hubungannya dengan seluruh makhluk Allah, termasuk hewan,
tumbuh-tumbuhan dan benda-benda alam lainnya.[16]
Beranjak
dari pemahaman makna yang termuat didalamnya, barangkali akan jelas bagaimana
peran yang harus dilaksanakan manusia menurut statusnya selaku khallifah Allah.
Peran yang harus dilakukan manusia terdiri dari dua jalur, yaitu jalur
horizontal yang mengacu pada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik
dengan sesama manusia dan alam sekitarnya dan yang kedua jalur vertical yang
menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah
E.
Pola
Asuh Anak Model Lukman Al-Hakim
Model pola asuh dalam rangka memberikan pendidikan yang baik kepada
anak sesungguhnya telah tersebar diberbagai surat dan ayat dalam al-Quran,
salah satunya dapat ditelaah dalam Surat Luqman. QS. 31:12 menjelaskan bahwa
Luqman adalah seorang laki-laki yang dikarunia Hikmah oleh Allah Swt. Hikmah
yang diberikan kepadanya berupa Ilmu agama, benar dalam ucapan, dan kata-kata
bijakanmya cukup banyak lagi telah dima’tsur.[17]
Hikmah menurut bahasa, terdapat dalam Kamus Munjid: Kalimat yang
sesuai dengan kiebenaran, filsafat, urusan yang benar, keadilan, ilmu,
ketulusan. Menurut Ibnu Abbas, hikmah adalah: Ilmu, kefahaman, serta kebenaran
dalam ucapan dan tindakan.[18]
Dalam pemakaian sehari-hari hikmah adalah: Kearifan dan kebijaksanaan.
Al-Qurthubi mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, Luqman adalah
anak laki-laki saudara perempuan Nabi Ayyub yang kawin dengan anak laki-laki
adik perempuan Ibunya. Tentang pekerjaan Luqman ada beberapa pendapat: Sa’id
Ibnul Musayyab menyatakan; dia seorang penjahit. Menurut Kholid ar Ruba’ie: dia
seorang tukang kayu.[19] dari
pendapat lain: Lukman adalah seorang tukang kayu, orang miskin berkulit hitam
dari Sudan, yang diberi hikmah oleh Allah setingkat dengan kenabian.[20]
Pendidikan aqidah tauhid merupakan pendidikan pertama dan utama
yang harus diberikan kepada anak-anak, agar anak sejak dini mengenal Tuhan yang
menciptakan alam semesta termasuk manusia dan diri anak itu sendiri. Pendidikan
tauhid bertujuan agar anak menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Perlu dijelaskan bahwa yang dilarang ialah mempersekutukan Allah dengan
sesuatu, tetapi kena apa justeru yang dibahas tentang pendidikan tauhid? Dalam
Islam ada satu kaidah hukum yang menyatakanالنهي عن الشئ أمر بضـده (Larangan
terhadap sesuatu itu berarti perintah terhadap kebalikan sesuatu itu).[21]
Jadi kalau yang dilarang musyrik, maka orang diperintah mentauhidkan
(mengesakan) Allah. Larangan musyrik terhadap anak sudah barang tentu
sebelumnya sudah melaui proses pembentukan keimanan yang kokoh kuat melalui
pendidikan. Sebab tidak mungkin orang melarang orang lain terutama anaknya
terhadap sesuatu perbuatan tanpa diketahui terlebih dahulu tentang hal
dilarangnya.
Sejak baru lahir anak telah dikenalkan dengan Tuhan Allah, dengan
cara membisikkan kalimat adzan pada telinganya, sebagai pendidikan utama dan
pertama setelah lahir di dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Saw, yang
diriwayatkan oleh Abu Rofi’ ia menyatakan bahwa dia menyaksikan Rasulullah
saw.:
رايت رسول الله صلى الله عليه وسلم
اَذَّنَ فى اُذنِ الحسـن بن علىٍّ حين ولدته فاطمـةُ بالصلاةِ (ابو داود)
(Saya melihat Rasulullah saw. melakukan adzan pada telinga al
Hasan bin Ali ketika baru dilahirkan oleh Fathimah, seperti adzan untuk
sholat).[22]
Sebagaimana
tersebut dalam QS. 31:13
pernyataan “hai
anakku”, menunjukkan bahwa pendidikan Lukman menggunakan pendekatan cinta
kasih. Kemudian dilanjutkan dengan nasehat yang dijelaskan oleh Ahmad Musthofa
al Maroghie dalam tafsirnya bahwa “Dholim adalah: meletakkan sesuatu bukan peda
tempatnya”. Kedholiman besar ketika orang menyamakan antara Dzat yang tidak ada
kenikmatan kecuali dari pada-Nya, yakni Allah SWT. dengan makhluk yang tidak
mampu memberi kenikmatan kepada siapapun, yakni patung atau berhala”.[23]
Aqidah yang baik akan membawa manusia menjadi baik, sebagai tanda bahwa manusia
itu baik adalah paham akan agama Islam dengan baik pula. Sebagaimana sabda
Rasululah saw.
من يـرد الله به خيـرًا يفـقهـه فى
الدين (رواه الشيخان عن معاوية)
(Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik,
maka Allah memberikan kemampuan memahami tentang seluk beluk agama).[24]
Berbicara tentang pendidikan anak, maka tekanannya adalah bagaimana
mendidik anak agar menyadari bahwa dia banyak berhutang budi kepada kedua orang
tua terutama ibu, ibu sebagai perantara dia lahir ke dunia, maka dia wajib
menghargai dan menghormati kedua orang tua sebagai manusia yang paling berjasa
terhadap dirinya sehingga dia lahir dan hidup di dunia ini. Anak dididik memiliki
sopan santun, etika, dan hormat kepada orang tua dan yang lebih tua dari
padanya. Allah sangat bijaksana dalam mengantar pendidikan ini, Allah sendiri
langsung yang memerintahkan
dalam QS. 31: 14-15
Selanjutnya
Allah Swt dalam QS. 31:15 menjelaskan bahwa anak dilatih untuk melakukan yang
terbaik, agar mereka sadar bahwa semua yang dilakukan sekecil apapun baik atau
buruk, pasti akan dibalas oleh Allah. Anak dilatih untuk tidak melanggar
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku lebih-lebih syari’at yang
ditetapkan oleh Allah
Lukman al Hakim mendidik anaknya untuk menjadi manusia yang
berkepribadian mandiri dan bertanggung jawab terhadap profesi. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. 31:17. Ada tiga hal yang diharapkan oleh Lukman al hakim
terhadap anaknya:
1.
Agar
anaknya tekun melaksanakan sholat, sebagai tanggungjawabnya sebagai makhluk
individu, sholat bisa dimaknai sebagai sholat secara harfiyah, tetapi juga
sholat sebagai simbul dari ibadah secara keseluruhan.
2.
Anak
yang sudah dewasa dan mandiri bertanggung jawab sebagai makhluk sosial, untuk
beramar ma’ruf nahi anil mungkar di tengah masyarakat luas.
3.
Dididik
menjadi manusia yang sabar menghadapi semua rintangan dan tantangan hidup,
termasuk dalam menjalankan tugas amar ma’ruf nahi anil mungkar, melalui
keteladanan dalam hidup
Selanjutnya dalam QS. 31: 18-19, Lukman
mendidik anaknya agar memiliki akhlaqul karimah, memiliki rasa sosial
kemasyarakatan yang tinggi, memiliki human relationship yang kuat, tidak
sombong dan congkak, ketika nanti sudah menjadi manusia yang berstatus di
masyarakat, hidup dalam kecukupan atau bahkan memiliki status atau posisi penting
di tengah masyarakat.
Uraian dalam ayat ini
menggambarkan pendidikan bagi anak-anak setelah dewasa nanti dan memiliki
status sosial yang mapan, kedudukan yang lumayan, maka hendaknya jangan berbuat
dholim terhadap siapapun saja terutama terhadap profesinya, dan berkhianat
terhadap amanat yang diberikan kepadanya.
F.
Pendekatan
Kajian
1.
Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi
orang yang berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang
terpuji. Orang tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam kehidupan anak,
dan harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Zakiyah Daradjat, bahwa kepribadian orang tua, sikap dan cara
hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke
dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.[25]
Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam
bentuk pola asuh yang bisa dipilih dan digunakan oleh orang tua. Sebelum
berlanjut kepada pembahasan berikutnya, terlebih dahulu akan dikemukakan
pengertian dari pola asuh itu sendiri.
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola
dan asuh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak,
model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.[26] Sedangkan kata asuh dapat berati menjaga
(merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan
sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau
lembaga.[27] Kata asuh adalah mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang
tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.[28] Menurut Ahmad Tafsir seperti yang dikutip
oleh Danny I. Yatim-Irwanto. Pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan
adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[29]
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu
keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud
menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta
nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri,
tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
2.
Macam-Macam
Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para
ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir
mempunyai persamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam empat macam
pola, yaitu :
a.
Kasar
dan tegas; Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotik
menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan mereka
membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri dan anak-anak
mereka.
b.
Baik
hati dan tidak tegas; Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan
anak-anak nakal yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat
kekanak-kanakan secara emosional.
c.
Kasar
dan tidak tegas; Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut
biasanya diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku
buruk dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.
d.
Baik
hati dan tegas; Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka
tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka membuat
suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri, tidak pernah si
anak atau pribadinya.[30]
Abu Ahmadi mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Fels Research Institute, corak hubungan orang tua-anak dapat
dibedakan menjadi tiga pola, yaitu :
a. Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan
atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
b. Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan
atas sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap
orang tua yang overprotektif dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan
anak sama sekali.
c. Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan
atas taraf partisifasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga.
Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak,
sedangkan dalam pola demokrasi, sampai batas-batas tertentu, anak dapat
berpartisifasi dalam keputusan-keputusan keluarga.[31]
Menurut Elizabet B. Hurlock ada beberapa sikap
orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain :
a. Melindungi secara berlebihan; Perlindungan
orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan.
b. Permisivitas; Permisivitas terlihat pada orang
tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian.
c. Memanjakan; Permisivitas yang
berlebih-memanjakan membuat anak egois, menuntut dan sering tiranik.
d. Penolakan; Penolakan dapat dinyatakan dengan
mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak
dan sikap bermusuhan yang terbuka.
e. Penerimaan; Penerimaan orang tua ditandai oleh
perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan
perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.
f. Dominasi; Anak yang didominasi oleh salah satu
atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung
malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif.
g. Tunduk pada anak; Orang tua yang tunduk pada
anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka.
h. Favoritisme; Meskipun mereka berkata bahwa
mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai
favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya
dari pada anak lain dalam keluarga.
i.
Ambisi orang tua; Hampir semua orang tua mempunyai ambisi
bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini
sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang
tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial.[32]
Danny I. Yatim-Irwanto mengemukakan beberapa
pola asuh orang tua, yaitu :
a. Pola asuh otoriter, pola ini ditandai dengan
adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi.
b. Pola asuh demokratik, pola ini ditandai dengan
adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya.
c.
Pola asuh permisif, pola asuhan ini ditandai dengan
adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan
keinginannya.
d.
Pola asuhan dengan ancaman, ancaman atau peringatan yang
dengan keras diberikan pada anak akan dirasa sebagai tantangan terhadap otonomi
dan pribadinya. Ia akan melanggarnya untuk menunjukkan bahwa ia mempunyai harga
diri.
e.
Pola asuhan dengan hadiah, yang dimaksud disini adalah
jika orang tua mempergunakan hadiah yang bersifat material atau suatu janji
ketika menyuruh anak berprilaku seperti yang diinginkan.[33]
Thomas Gordon mengemukakan metode pengelolaan
anak, yaitu :
a. Pola asuh menang
b. Pola asuh mengalah
c. Pola asuh tidak menang dan tidak kalah.[34]
Menurut Syamsu Yusuf terdapat 7 macam bentuk
pola asuh yaitu :
a)
Overprotection (terlalu melindungi)
b)
Permisivienes (pembolehan)
c)
Rejection
(penolakan)
d)
Acceptance
(penerimaan)
e)
Domination
(dominasi
f)
Submission
(penyerahan)
Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes mengemukakan empat macam
pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu :
a.
Autokratis
(otoriter); Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan
kebebasan anak sangat di batasi.
b. Demokratis; Ditandai dengan adanya sikap
terbuka antara orang tua dan anak.
c. Permisif; Ditandai dengan adanya kebebasan
tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
d.
Laissez
faire; Ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya.[36]
Oleh karena, jika dilihat dari berbagai macam bentuk pola asuh di
atas pada intinya hampir sama. Misalnya saja antara pola asuh autokratis,
over protection, over discipline. Dominasi, favoritisme, ambisi orang tua dan
otoriter, semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan
kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh laissez
faire, rejection, submission, permisiveness, memanjakan. Secara implisit,
kesemuanya itu memperlihatkan suatu sikap yang kurang berwibawa, bebas, acuh
tak acuh. Adapun acceptance (penerimaan) bisa termasuk bagian dari pola asuh
demokratis.
G.
Teori
Beberapa
penjelasan yang telah penulis uraikan pada bagian terdahulu dan juga
berdasarkan rumusan pendekatan teori pola asuh yang telah disajikan mengenai
pemeliharaan diri dan keluarga agar terhindar dari api neraka menurut Allah Swt
dalam QS. 66:6, maka penulis dapat merumuskan teori yang penulis beri nama Teori
Kites.
Kites dalam bahasa Indonesia
diartikan dengan layang-layang, sebuah
permainan yang sering dimainkan oleh anak-anak dan juga sebahagian orang
dewasa, dengan berbagai bentuk dan coraknya serta kekhasannya masing-masing. Tata
cara permainan layang-layang adalah mengikatnya dengan menggunakan benang untuk
diterbangkan. Memperhatikan dari cara memainkannya, maka akan tampak pola asuh
yang dapat diterapkan oleh orang tua terhadap anak, yaitu :
1. Anak dengan segala karakter, ciri
khas, dan keunikannya masing-masing, harus diberikan kebebasan untuk melakukan
dan memainkan perannya dalam kehidupan, namun tetap harus tetap diikat dengan
akidah yang benar. Sebagai seorang muslim, salah satu dasar dalam
kehidupan adalah keyakinan atau keimanan. Keimanan
kepada Allah Swt membuat hidup menjadi berarti dan bernilai serta mempunyai makna
serta arah tujuan tertentu. Meskipun kadang-kadang keimanan tersebut mempunyai
konsekuensi yang mengikat dan membatasi gerak-gerik di dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Anak yang menjadi tanggung jawab
orang tua harus diberikan kesempatan untuk belajar bertanggung jawab terhadap
peran dan tanggung jawabnya sebagai anak dan sebagai hamba Allah yang
berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya, seperti halnya layang-layang yang
terbang tinggi dan meliuk-liuk di angkasa. Namun tetap harus disadari bahwa ia
terikat dengan benangnya, dan dalam dikendalikan oleh pemainnya.
3.
Jika anak tidak diberikan pendidikan yang benar
dan sesuai dengan perintah agama yaitu keimanan yang benar, maka ia seperti
layang-layang yang putus dari benangnya, dimana setelah bebas
dari benang, yang terjadi ternyata tidak sebebas layang-layang yang masih terikat dengan benangnya,
layang-layang yang bebas dari benangnya akan terombang-ambing
ditiup ke mana saja arah angin bertiup, membumbung
tinggi ketika ada angin vertikal yang membawanya dan melayang-layang tak tentu
arah ketika angin yang bertiup menghilang. Ketika angin
menerpa ke arah pepohonan dan diapun tersangkut di dahan pohon. Lama kelamaan
akan terkoyak, tidak ada lagi yang memperhatikan,
hina serta tidak berguna lagi.
H.
Simpulan
Pola asuh terhadap anak harus dilakukan dengan pendidikan yang
baik, jika dilakukan dengan salah, maka akan berdampak yang tidak baik bagi
perkembangan jiwa dan raganya, dan tentunya juga akan berdampak pada lingkungan
sekitarnya. Mengenai pemeliharaan diri, sesungguhnya Islam telah memberikan
peringatan kepada manusia melalui firman Allah Swt dalam Surat At-Tahrim ayat 6. Peran yang
harus dilakukan manusia terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal dan yang
kedua jalur vertical. Jika dilihat dari berbagai macam bentuk pola asuh pada
penjelasan sebelumnya, pada intinya hampir sama. Misalnya saja pola asuh autokratis,
over protection, over discipline. Dominasi, favoritisme, ambisi orang tua dan
otoriter, semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan
kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh laissez
faire, rejection, submission, permisiveness, memanjakan. Secara implisit,
kesemuanya itu memperlihatkan suatu sikap yang kurang berwibawa, bebas, acuh
tak acuh. Adapun acceptance (penerimaan) bisa termasuk bagian dari pola asuh
demokratis. Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan dan juga
berdasarkan rumusan pendekatan teori pola asuh yang telah disajikan mengenai
pemeliharaan diri dan keluarga agar terhindar dari api neraka menurut Allah Swt
dalam QS. 66:6, maka maka penulis dapat merumuskan teori, yang penulis sebut
dengan Teori Kites.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Abu Thohir bin, Tafsir
Ibnu Abbas, Beirut: Darul Fikri, 1995
Abdurrahman, Jamal, Athfaalul Muslim kaifa Rabbahumun Nabiyyul
Amiin, Makkah Al-Mukarramah: Darut Thaibah Al-Khadra, 1421/2000, Edisi I
Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta
: PT Rieneka Cipta, 1991
al Hasyimie Bek, As Sayyid Ahmad, Mukhtarul
ahaaditsi an Nabawiyyah wal
Hikami Muhammadiyyah, Surabaya: Al Hidayah, tt
al Maroghie, Ahmad Musthofa, Tafsir
al Maroghie, jilid 7, Juz: 21, Beirut: Darul
Fikri
Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III
Surabaya : Hidayah, tt
Alqaththan, Manna’, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Muzakkir AS,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996
B. Soerin, Az-Zikra terjemahan
dan tafsir Al-Qur’an dalam huruf arab dan latin. Bandung: Angkasa. 2002
Copmac Disc (CD) “Mausu’ah al
Hadits as Syarif al Kutubut Tasi’ah”, Sunan Abu dawud, hadits no. 4441.
Darajat,
Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1996, Cet ke-15
Depdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988
Donelson,
Elaine, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, Yogyakarta : Kanisius, 1990),
Cet. Ke-1
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak/Child Development, Terj.
Meitasari Tjandrasa, Jakarta : Erlangga, 1990,
Cet. Ke-2
Gordon, Thomas, Menjadi orang tua efektif, Jakarta
: Gramedia, 1994
Hakim, Abdul Hamid, As Sulam,
Juz II, As Sa’diyah Putra, Jakarta.
Hardy, Malcom,
dan Steve Heyes, Terj. Soenardji, Pengantar Psikologi, Jakarta :
Erlangga, 1986, Edisi ke-2
Hauck, Paul, Psikologi Populer,
(Mendidik Anak dengan Berhasil), Jakarta : Arcan, 1993, Cet.Ke-5
Irwanto, Danny I. Yatim- Kepribadian
Keluarga Narkotika, Jakarta : Arcan, 1991, Cet. Ke-1
Jalaluddin, Teologi Pendidikan,
Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001
Katsir, Ibnu, Ismail Ibn Katsir, Al-Misbahul
Munir Fii Tahdzib Tafsiir Ibnu Katsir, Riyadh: Daarus Salaam Lin Nasyr Wa
Tauzi, 2000, cet-II
Majid, Hussaini Abdul (dkk), Child
Care in Islam, terj. Ahmad Bakir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran
Islam: Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Jakarta: Penerbit Pustaka
Shadra, 2004
Musthafah, A. Tafsir
Al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra Semarang. 1993
Nata, Abudin, Tafsir ayat-ayat
pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002
Shalih, Adnan Hasan, Tanggung
Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Shihab,
Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1994
Sirait ”Peran masyarakat Terhadap
Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Masalah Hukum” (Makalah tidak di
publikasikan: Universitas Islam Kediri, 2015
TIM Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1
Yahya, M. Slamet, “Potensi Dasar Manusia”, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, INSANIA,
Vol. 12, No. 2, Mei-Agustus 2007.
Yusuf, Syamsu, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, Terj. Sumarji, Jakarta : Erlangga, 1986
[1]Adnan Hasan
Shalih, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996)., h. 45
[2]M.
Slamet Yahya, “Potensi Dasar Manusia”, dalam INSANIA, (Vol. 12, No. 2,
Mei-Agustus 2007), h. 45
[3] Hussaini Abdul Majid (dkk), Child Care in
Islam, terj. Ahmad Bakir, Mengasuh
Anak Menurut Ajaran Islam: Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir,
(Jakarta: Penerbit Pustaka Shadra, 2004)., h. 125
[4]Mengenai hal ini Nabi Muhammad Saw telah bersabda yang artinya:
”muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan
oleh Ibnu Majjah 2/1211, tetapi al-Bani menilainya dha’if. Dan dalam hadits
lain disebutkan ”Tiada suatu pemberianpun yang lebih utama dari orang tua
kepada anaknya, selain pendidikan yang baik” (hadits ini diketengahkan oleh
Hakim dalam Kitaabul Adab Juz 4, hal. 7679; sanadnya shahih, meskipun Bukhari
dan Muslim tidak mengetengahkannya. Baihaqi mengetengahkannya dalam Kitab
Sunanul Kubranya. Hadits No. 2319; Tirmidzi hadits no. 1952, dan Musnan Ahmad
Juz 4 hal. 14977. Lihat. Jamal Abdurrahman, Athfaalul Muslim kaifa
Rabbahumun Nabiyyul Amiin, (Makkah Al-Mukarramah: Darut Thaibah Al-Khadra,
1421/2000), Edisi I., h. 16-17
[5]Data ini meningkat 16 % dari tahun 2013, dan menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak (KPAI), faktor penyebab dari tindakan kriminal ini adalah
dari lingkungan terdekat dari anak, salah satunya adalah keluarga, dalam hal
ini berkenaan dengan pola asuh orang tua terhadap anak. Lihat lebih lanjut
dalam ”Peran masyarakat Terhadap Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan
Masalah Hukum” (Makalah tidak di publikasikan: Universitas Islam Kediri,
2015), lihat juga Laporan Wartawan Reza Aditiya, ”Sepanjang 2014, Kejahatan
Anak Meningkat”, Tempo, 31 Desember 2014, h. 5
[6]Ibnu Katsir, Ismail Ibn Katsir, Al-Misbahul Munir Fii Tahdzib Tafsiir
Ibnu Katsir, (Riyadh: Daarus Salaam Lin Nasyr Wa Tauzi, 2000), cet-II., h. 166
[9]Ibid
[10]Ibid
[12]B. Soerin. Az-Zikra
terjemahan dan tafsir Al-Qur’an dalam huruf arab dan latin. (Bandung:
Angkasa. 2002)., h. 202
[14]
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada,
2001. h. 12-52
[16]Jalaluddin,
Teologi….h. 61
[17]Menurut
Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil ma’tsur adalah tafsir berdasarkan
kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran,
al-Quran dengan hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan kitab Allah, dan
juga dengan perkataan sahabat, sebab merekalah yang lebih mengetahui kitab
Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena pada
umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Lihat, Manna’ Alqaththan, Studi
Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Muzakkir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
1996), h. 482-483
[20] Ahmad
Musthofa al Maroghie, Tafsir al Maroghie, jilid 7, Juz: 21, (Beirut:
Darul Fikri), h. 78.
[22] Copmac
Disc (CD) “Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutubut Tasi’ah”, Sunan Abu
dawud, hadits no. 4441.
[24]As Sayyid Ahmad al Hasyimie Bek, Mukhtarul
ahaaditsi an Nabawiyyah wal Hikami Muhammadiyyah, (Surabaya: Al
Hidayah, tt), h. 175
[25]Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, h. 56
[26]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 54
[27]TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), Cet. Ke-1, h. 692
[28]Elaine Donelson, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), Cet. Ke-1, h.5
[29] Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian
Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991), Cet. Ke-1, h. 94
[30] Paul Hauck, Psikologi Populer, (Mendidik Anak dengan Berhasil),
(Jakarta: Arcan, 1993),
Cet.Ke-5, h. 47
[31] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : PT Rieneka Cipta,
1991), h. 180
[32]
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak/Child Development, Terj. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta : Erlangga, 1990), Cet. Ke-2, h. 204
[33]Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian ....
h. 94
[34]Thomas Gordon, Menjadi orang tua efektif, (Jakarta : Gramedia,
1994), h. 127
[35]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, Terj. Sumarji, (Jakarta : Erlangga, 1986), h. 21
[36]Malcom Hardy dan Steve Heyes, Terj. Soenardji,
Pengantar Psikologi, (Jakarta : Erlangga, 1986), Edisi ke-2, h. 131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar