Halaman

Sabtu, 02 Juli 2016

POLA ASUH ANAK DALAM ISLAM



A.    Latar  Belakang

Anak merupakan titipan Allah yang paling berharga dalam setiap kehidupan manusia. Anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang sah, sangat ditunggu-tunggu oleh setiap pasangan suami istri, karena perkawinan tanpa anak terasa belum sempurna perkawinan tersebut. Anak merupakan harapan setiap orang tua sekaligus harapan bagi setiap negara. [1]
Sesungguhnya sejak lahir anak telah membawa fitrah keagamaan. fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses. Menurut Jalaludin seperti yang dikutip Slamet, ada tiga potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, yaitu potensi ruh, jasmani, dan fisik.[2]
Perhatian terhadap anak harus dapat sejalan dengan peradaban itu sendiri, yang makin hari makin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan dan bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.[3]
Pola asuh terhadap anak harus dilakukan dengan pendidikan yang baik,[4] jika dilakukan dengan salah, maka akan berdampak yang tidak baik bagi perkembangan jiwa dan raganya, dan tentunya juga akan berdampak pada lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang akhir-akhir ini marak terjadi. Beberapa kasus yang marak terjadi tersebut berupa tindakan kriminalitas seperti mencuri, menggunakan obat-obatan terlarang, free sex, tawuran dan lain sebagainya. Sepanjang tahun 2014 Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan kejahatan yang dilakukan anak sebanyak 1.851, angka ini meningkat dari tahun 2013 yang hanya berjumlah 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka itu adalah kasus pencurian yang diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, judi serta penganiayaan.[5]
Tindakan kriminalitas tersebut, tentunya bertentangan dengan norma-norma ajaran Islam, sebab perbuatan tersebut dapat menjerumuskan setiap pelakunya ke dalam api neraka. Ajaran Islam telah memberikan kewajiban kepada setiap orang-orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat menjerumuskan diri ke dalam api neraka. Pada tulisan ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana pemeliharaan diri dan keluarga dalam konsep Islam melalui telaah dari perintah Allah dalam al-Quran Surat At-Tahrim (66) Ayat (6).

B.     Paradigma Wahyu
Mengenai pemeliharaan diri, sesungguhnya Islam telah memberikan peringatan kepada manusia melalui firman Allah Swt dalam QS. 66:6 yang berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)

Ayat tersebut penulis jadikan sebagai paradigma wahyu guna menemukan sebuah teori dalam upaya menjawab pemeliharaan seperti apa yang dimaksud dalam ayat tersebut, khususnya pemeliharaan orang tua terhadap anaknya agar terhindar dari siksaan Neraka.

C.    Penjelasan QS. 66:6
Ibnu Katsir memberikan penafsiran QS. 66:6 bahwa terdapat kewajiban bagi setiap hamba Allah yang mengaku beriman untuk menaati Allah Swt dengan segala syarat-syarat keimanannya. Salah satu kewajiban tersebut adalah dengan menta’dib (mengajarkan Adab) dan mengajari mereka agama serta mendorong mereka melaksanakan perintah Allah. Oleh karena itu seorang hamba tidaklah akan selamat sampai dapat melaksanakan perintah Allah pada dirinya dan pada orang yang berada di bawah kekuasaanya seperti Istri, anak dan sebagainya.[6]
Menurut al-Maraghi,[7] pada ayat tersebut terdapat kata qu anfusakum yang berarti buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang datangnya siksaan api neraka dengan cara menjauhkan perbuatan maksiat, memperkuat diri agar tidak memiliki hawa nafsu, dan senantiasa taat dan menjalankan perintah Allah. Selanjutnya wa ahlikum maksudnya adalah keluargamu yang terdiri dari istri, anak, pembantu, dan budak, dan diperintahkan kepada mereka agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada mereka. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh ibn al-Munzir, al-Hakim, dan oleh riwayat lain dari Ali RA.
Al-Maraghi menuturkan maksud dari ayat tersebut adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu. Kemudian al waqud adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalakan api. Sedangkan al-hijarah adalah batu berhala yang biasa disembah oleh masyarakat jahiliyah. Malaikatun dalam ayat tersebut maksunya mereka yang jumlahnya sebanyak 19 dan bertugas menjaga neraka. Sedangkan ghiladzun maksudnya adalah hati yang keras, yaitu hati yang tidak memiliki rasa belas kasihan apabilah ada orang yang diminta dikasihani. Dan syidadun artinya memiliki kekuatan.
Al-Maraghi mengatakan bahwa setelah Allah SWT memerintahkan sebagian istri rasulullah SAW agar bertaubat dari segalah kekeliruan, dan menjelaskan kepadanya bahwa Allahlah yang memelihara dan menolong utusan-Nya, maka tidak ada yang dapat memperdayakannya, karenanya mereka diminta agar tidak mengkhianati Rasul karena takut diceraikan karena mereka adalah ibu dari kaum muslimin (Ummahat al-Mu’minin), maka selanjutnya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman pada  umumnya, agar memelihara diri dan keluarganya dari siksaan api neraka dan kayu bakarnya terdiri dari bebatuan berhala dan manusia (kafir). Dangan demikian permasalahan yang menimpa keluarga Nabi yang dapat menimbulkan azab agar dijadikan juga peringatan bagi kaum muslimin pada umumnya, mengingat Rasulullah adalah sebagai panutan kaum Muslimin.[8]
Lebih lanjut al-Maraghi mengemukakan maksud ayat tersebut (yaa ayyuhal ladzina amanu….. al-hijarah), dengan keterangan: wahai orang-orang yang membenarkan adanya Allah dan Rasul-Nya hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan kepada sebagian yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan menolaknya,yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan yang dapat memelihara dirinya dengan cara memberikan nasihat dan pendidikan. Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajibn terhadap keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka. Hal yang demikian sejalan dengan hadis yang mengatakan bahwa Allah memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan bahwa sholatnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, anak yatimnya, tetangganya mudah-mudahan dapat mengumpulkan mereka di surga pada hari kiamat.[9]
Menurut Jalalain, (hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian) dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaatan kepada Allah SWT – (dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia) orang-orang kafir (dan batu) seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan bakar neraka itu. Atau dengan kata lain api neraka itu sangat panas, sehingga hal-hal tersebut dapat terbakar. Berbeda halnya dengan api di dunia, karena dinyalakan dengan kayu dan lain-lainnya - (penjaganya malaikat-malaikat) yakni, juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada sembilan belas malaikat - (yang kasar) lafaz Ghilazhun ini diambil dari asal kata Ghilazul Qalbi, yakni kasar hatinya - (yang keras) sangat keras hantamannya - (mereka tidak pernah mendurhakai Allah Swt terhadap apa yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka) lapaz Ma Amarahum berkedudukan sebagai Badal dari lafaz Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga neraka itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah Swt– (dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperinahkan) lapaz ayat ini berkedudukan menjadi Badal dari lafaz yang sebelumnya. Dalam ayat ini terkandung ancaman bagi orang-orang mu’min supaya jangan Murtad dan juga ayat ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang munafik yaitu, mereka yang mengaku beriman dengan lisannya tetapi hati mereka masih tetap kafir.[10]
Menurut Jalalain Qu Anfusakum: jadilah dirimu itu pelindung api neraka dengan meninggalkan maksiat. Wa Ahlikum: membawa keluargamu kepada hal itu dengan nasehat dan pelajaran. Al-Waqud: kayu bakar Al-Hijarah: berhala-berhala yang disembah. Malaikah: para penjaga neraka yang Sembilan belas orang. Gilaz: kesat hati dan tidak mau mengasihi apabilah mereka diminta belas kasihan. Syidad: kuat badan. At-Taubatun Nasuh: menyesali apa yang telah dilakukan dan berkemaun kuat untuk tidak melakukannya kembali pda waktu yang akan datang.[11]
Penjelasan dari Jalalain mengenai ayat tersebut adalah, sesudah Allah swt memerintahkan kepada sebagian istri-istri nabi Saw Untuk bertaubat dari kesalahan yang terlanjur dilakukan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah swt Akan menjaga dan menolong rasul-Nya hingga kerja sama mereka untuk menyakitinya tidak akan membahayakannya, kemudian memperingatkan mereka agar tidak berkepanjangan dalam menentangnya karena khawatir akan ditalak dan dijatuhkan dari kedudukannya yang mulia sebagai ibu-ibu kaum mukminin, karena digantikan dengan istri-istri yang lain dan wanita-wanita mukmin yang saleha, dia memerintahkan kaum mukmin pada umumnya untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan berhala-berhala pada hari kiamat. Yaitu pada hari dikatakan pada orang orang kafir,”janganlah kamu beruzur karena waktunya sudah terlambat. Kamu itu menerima balasan dari apa yang kamu lakukan didunia.” Kemudian dia menerima orang-orang mukmin agar meninggalkan kesalahan-kesalahan mereka dan bertaubat dengan taubat nasuha, sehingga mereka menyesali kekeliruan-kekeliruan yang terlanjur mereka lakukan dan berkemauan kuat untuk tidak mengulanginya pada waktu yang akan dating supaya Allah SWT menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memasukan mereka ke dalam surga-surga yang penuh nikmat. Senjata paling ampuh untuk memelihara diri dari siksa neraka yaitu mengerjakan perintah Allah SWT dan menghentikan larangan-Nya.[12]

D.    Konsep Dasar Manusia
Telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran  kontradiktif  menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya, kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah  serta bersifat keluh kesah lagi kikir.[13]
Dalam al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain: al-Basyr, al-Insan, an-Nas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah dan Khalifah Allah. Sehubungan dengan hal ini maka untuk memahami peran manusia, berikut dua hal kata yang berhubungan dengan manusia guna dijadikan acuan dalam tulisan ini.[14]
1.      Konsep Abd Allah
Dalam konteks konsep Abd Allah ini ternyata peran manusia harus disesuaikan dengan kedudukannya sebagai abdi (hamba). Al-Qur’an surat Al-dzariyat ayat 56 Dalam menjelaskan pengertian ayat tersebut, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa eksistensi kehambaan manusia tidak akan sempurna jika manusia itu tidak memiliki kesadaran ilahiyyah dan kesadaran ubudiyah. Kesadaran ilahiyah adalah kesadaran tentang eksistensi Allah sebagai rab bagi alam semesta. Kesadaran ini meniscayakan adanya penolakan Tuhan selain Allah; tidak ada yang berkuasa selain Allah; tidak ada yang patut disembah, dipuja dan dipuji selain Allah. Sedang kesadaran ubudiyah adalah kesadaran akan kewajiban manusia untuk menghamba atau mengabdi hanya kepada Allah. Manusia harus mengerti posisinya sebagai makhluk yang harus  patuh kepada Khaliknya. Karenanya, kesadaran akan posisinya inilah kemudian ketaqwaan seseorang dapat diukur kualitasnya, hal ini sesusai dengan pengertian takwa itu sendiri[15]
2.      Konsep Khalifah Allah
            Tugas dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah lebih luas maknanya dari sekedar tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial, bila tanggung jawab sosial hanya terbatas pada hubungan antar manusia, maka tanggung jawab khalifah meliputi hubungan antar sesama manusia juga hubungannya dengan seluruh makhluk Allah, termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda alam lainnya.[16]
Beranjak dari pemahaman makna yang termuat didalamnya, barangkali akan jelas bagaimana peran yang harus dilaksanakan manusia menurut statusnya selaku khallifah Allah. Peran yang harus dilakukan manusia terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal yang mengacu pada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam sekitarnya dan yang kedua jalur vertical yang menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah

E.     Pola Asuh Anak Model Lukman Al-Hakim
Model pola asuh dalam rangka memberikan pendidikan yang baik kepada anak sesungguhnya telah tersebar diberbagai surat dan ayat dalam al-Quran, salah satunya dapat ditelaah dalam Surat Luqman. QS. 31:12 menjelaskan bahwa Luqman adalah seorang laki-laki yang dikarunia Hikmah oleh Allah Swt. Hikmah yang diberikan kepadanya berupa Ilmu agama, benar dalam ucapan, dan kata-kata bijakanmya cukup banyak lagi telah dima’tsur.[17]
Hikmah menurut bahasa, terdapat dalam Kamus Munjid: Kalimat yang sesuai dengan kiebenaran, filsafat, urusan yang benar, keadilan, ilmu, ketulusan. Menurut Ibnu Abbas, hikmah adalah: Ilmu, kefahaman, serta kebenaran dalam ucapan dan tindakan.[18] Dalam pemakaian sehari-hari hikmah adalah: Kearifan dan kebijaksanaan.
Al-Qurthubi mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, Luqman adalah anak laki-laki saudara perempuan Nabi Ayyub yang kawin dengan anak laki-laki adik perempuan Ibunya. Tentang pekerjaan Luqman ada beberapa pendapat: Sa’id Ibnul Musayyab menyatakan; dia seorang penjahit. Menurut Kholid ar Ruba’ie: dia seorang tukang kayu.[19] dari pendapat lain: Lukman adalah seorang tukang kayu, orang miskin berkulit hitam dari Sudan, yang diberi hikmah oleh Allah setingkat dengan kenabian.[20]
Pendidikan aqidah tauhid merupakan pendidikan pertama dan utama yang harus diberikan kepada anak-anak, agar anak sejak dini mengenal Tuhan yang menciptakan alam semesta termasuk manusia dan diri anak itu sendiri. Pendidikan tauhid bertujuan agar anak menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT. Perlu dijelaskan bahwa yang dilarang ialah mempersekutukan Allah dengan sesuatu, tetapi kena apa justeru yang dibahas tentang pendidikan tauhid? Dalam Islam ada satu kaidah hukum yang menyatakanالنهي عن الشئ أمر بضـده  (Larangan terhadap sesuatu itu berarti perintah terhadap kebalikan sesuatu itu).[21] Jadi kalau yang dilarang musyrik, maka orang diperintah mentauhidkan (mengesakan) Allah. Larangan musyrik terhadap anak sudah barang tentu sebelumnya sudah melaui proses pembentukan keimanan yang kokoh kuat melalui pendidikan. Sebab tidak mungkin orang melarang orang lain terutama anaknya terhadap sesuatu perbuatan tanpa diketahui terlebih dahulu tentang hal dilarangnya.
Sejak baru lahir anak telah dikenalkan dengan Tuhan Allah, dengan cara membisikkan kalimat adzan pada telinganya, sebagai pendidikan utama dan pertama setelah lahir di dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Abu Rofi’ ia menyatakan bahwa dia menyaksikan Rasulullah saw.:
رايت رسول الله صلى الله عليه وسلم اَذَّنَ فى اُذنِ الحسـن بن علىٍّ حين ولدته فاطمـةُ بالصلاةِ (ابو داود)
(Saya melihat Rasulullah saw. melakukan adzan pada telinga al Hasan bin Ali ketika baru dilahirkan oleh Fathimah, seperti adzan untuk sholat).[22]
Sebagaimana tersebut dalam QS. 31:13 pernyataan “hai anakku”, menunjukkan bahwa pendidikan Lukman menggunakan pendekatan cinta kasih. Kemudian dilanjutkan dengan nasehat yang dijelaskan oleh Ahmad Musthofa al Maroghie dalam tafsirnya bahwa “Dholim adalah: meletakkan sesuatu bukan peda tempatnya”. Kedholiman besar ketika orang menyamakan antara Dzat yang tidak ada kenikmatan kecuali dari pada-Nya, yakni Allah SWT. dengan makhluk yang tidak mampu memberi kenikmatan kepada siapapun, yakni patung atau berhala”.[23] Aqidah yang baik akan membawa manusia menjadi baik, sebagai tanda bahwa manusia itu baik adalah paham akan agama Islam dengan baik pula. Sebagaimana sabda Rasululah saw.
من يـرد الله به خيـرًا يفـقهـه فى الدين (رواه الشيخان عن معاوية)
(Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang baik, maka Allah memberikan kemampuan memahami tentang seluk beluk agama).[24]
Berbicara tentang pendidikan anak, maka tekanannya adalah bagaimana mendidik anak agar menyadari bahwa dia banyak berhutang budi kepada kedua orang tua terutama ibu, ibu sebagai perantara dia lahir ke dunia, maka dia wajib menghargai dan menghormati kedua orang tua sebagai manusia yang paling berjasa terhadap dirinya sehingga dia lahir dan hidup di dunia ini. Anak dididik memiliki sopan santun, etika, dan hormat kepada orang tua dan yang lebih tua dari padanya. Allah sangat bijaksana dalam mengantar pendidikan ini, Allah sendiri langsung yang memerintahkan dalam QS. 31: 14-15
Selanjutnya Allah Swt dalam QS. 31:15 menjelaskan bahwa anak dilatih untuk melakukan yang terbaik, agar mereka sadar bahwa semua yang dilakukan sekecil apapun baik atau buruk, pasti akan dibalas oleh Allah. Anak dilatih untuk tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku lebih-lebih syari’at yang ditetapkan oleh Allah
        Lukman al Hakim mendidik anaknya untuk menjadi manusia yang berkepribadian mandiri dan bertanggung jawab terhadap profesi. Sebagaimana firman Allah dalam QS. 31:17. Ada tiga hal yang diharapkan oleh Lukman al hakim terhadap anaknya:
1.         Agar anaknya tekun melaksanakan sholat, sebagai tanggungjawabnya sebagai makhluk individu, sholat bisa dimaknai sebagai sholat secara harfiyah, tetapi juga sholat sebagai simbul dari ibadah secara keseluruhan.
2.         Anak yang sudah dewasa dan mandiri bertanggung jawab sebagai makhluk sosial, untuk beramar ma’ruf nahi anil mungkar di tengah masyarakat luas.
3.         Dididik menjadi manusia yang sabar menghadapi semua rintangan dan tantangan hidup, termasuk dalam menjalankan tugas amar ma’ruf nahi anil mungkar, melalui keteladanan dalam hidup
Selanjutnya dalam QS. 31: 18-19, Lukman mendidik anaknya agar memiliki akhlaqul karimah, memiliki rasa sosial kemasyarakatan yang tinggi, memiliki human relationship yang kuat, tidak sombong dan congkak, ketika nanti sudah menjadi manusia yang berstatus di masyarakat, hidup dalam kecukupan atau bahkan memiliki status atau posisi penting di tengah masyarakat.
Uraian dalam ayat ini menggambarkan pendidikan bagi anak-anak setelah dewasa nanti dan memiliki status sosial yang mapan, kedudukan yang lumayan, maka hendaknya jangan berbuat dholim terhadap siapapun saja terutama terhadap profesinya, dan berkhianat terhadap amanat yang diberikan kepadanya.



F.     Pendekatan Kajian
1.      Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Orang tua sebagai pembentuk pribadi yang pertama dalam kehidupan anak, dan harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Zakiyah Daradjat, bahwa kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.[25]
Dalam mendidik anak, terdapat berbagai macam bentuk pola asuh yang bisa dipilih dan digunakan oleh orang tua. Sebelum berlanjut kepada pembahasan berikutnya, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian dari pola asuh itu sendiri.
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.[26] Sedangkan kata asuh dapat berati menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.[27] Kata asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga orang tetap berdiri dan menjalani hidupnya secara sehat.[28] Menurut Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim-Irwanto. Pola asuh berarti pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[29]
Jadi pola asuh orang tua adalah suatu keseluruhan interaksi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orang tua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
2.      Macam-Macam Pola Asuh Orang Tua
Dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang antara satu sama lain hampir mempunyai persamaan. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke dalam empat macam pola, yaitu :
a.       Kasar dan tegas; Orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neurotik menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan di ubah dan mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri dan anak-anak mereka.
b.      Baik hati dan tidak tegas; Metode pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, yang lemah dan yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-kanakan secara emosional.
c.       Kasar dan tidak tegas; Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran tersebut biasanya diperlihatkan dengan keyakinan bahwa anak dengan sengaja berprilaku buruk dan ia bisa memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.
d.      Baik hati dan tegas; Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan anak-anak mereka tindakan yang mereka tidak setujui. Namun dalam melakukan ini, mereka membuat suatu batas hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri, tidak pernah si anak atau pribadinya.[30]
Abu Ahmadi mengemukakan bahwa, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute, corak hubungan orang tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga pola, yaitu :
a.       Pola menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
b.      Pola memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua yang overprotektif dan memiliki anak sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
c.       Pola demokrasi-otokrasi, pola ini didasarkan atas taraf partisifasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi, sampai batas-batas tertentu, anak dapat berpartisifasi dalam keputusan-keputusan keluarga.[31]
Menurut Elizabet B. Hurlock ada beberapa sikap orang tua yang khas dalam mengasuh anaknya, antara lain :
a.       Melindungi secara berlebihan; Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengendalian anak yang berlebihan.
b.      Permisivitas; Permisivitas terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit pengendalian.
c.       Memanjakan; Permisivitas yang berlebih-memanjakan membuat anak egois, menuntut dan sering tiranik.
d.      Penolakan; Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dari anak dan sikap bermusuhan yang terbuka.
e.       Penerimaan; Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak, orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak.
f.       Dominasi; Anak yang didominasi oleh salah satu atau kedua orang tua bersifat jujur, sopan dan berhati-hati tetapi cenderung malu, patuh dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah dan sangat sensitif.
g.      Tunduk pada anak; Orang tua yang tunduk pada anaknya membiarkan anak mendominasi mereka dan rumah mereka.
h.      Favoritisme; Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit. Hal ini membuat mereka lebih menuruti dan mencintai anak favoritnya dari pada anak lain dalam keluarga.
i.        Ambisi orang tua; Hampir semua orang tua mempunyai ambisi bagi anak mereka seringkali sangat tinggi sehingga tidak realistis. Ambisi ini sering dipengaruhi oleh ambisi orang tua yang tidak tercapai dan hasrat orang tua supaya anak mereka naik di tangga status sosial.[32]
Danny I. Yatim-Irwanto mengemukakan beberapa pola asuh orang tua, yaitu :
a.       Pola asuh otoriter, pola ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua. Kebebasan anak sangat dibatasi.
b.      Pola asuh demokratik, pola ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya.
c.       Pola asuh permisif, pola asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya.
d.      Pola asuhan dengan ancaman, ancaman atau peringatan yang dengan keras diberikan pada anak akan dirasa sebagai tantangan terhadap otonomi dan pribadinya. Ia akan melanggarnya untuk menunjukkan bahwa ia mempunyai harga diri.
e.       Pola asuhan dengan hadiah, yang dimaksud disini adalah jika orang tua mempergunakan hadiah yang bersifat material atau suatu janji ketika menyuruh anak berprilaku seperti yang diinginkan.[33]
Thomas Gordon mengemukakan metode pengelolaan anak, yaitu :
a.       Pola asuh menang
b.      Pola asuh mengalah
c.       Pola asuh tidak menang dan tidak kalah.[34]
Menurut Syamsu Yusuf terdapat 7 macam bentuk pola asuh yaitu :
a)      Overprotection (terlalu melindungi)
b)      Permisivienes (pembolehan)
c)      Rejection (penolakan)
d)     Acceptance (penerimaan)
e)      Domination (dominasi
f)       Submission (penyerahan)
g)      Over disipline (terlalu disiplin).[35]
Sedangkan Marcolm Hardy dan Steve Heyes mengemukakan empat macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu :
a.       Autokratis (otoriter); Ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi.
b.      Demokratis; Ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak.
c.       Permisif; Ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.
d.      Laissez faire; Ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya.[36]
Oleh karena, jika dilihat dari berbagai macam bentuk pola asuh di atas pada intinya hampir sama. Misalnya saja antara pola asuh autokratis, over protection, over discipline. Dominasi, favoritisme, ambisi orang tua dan otoriter, semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh laissez faire, rejection, submission, permisiveness, memanjakan. Secara implisit, kesemuanya itu memperlihatkan suatu sikap yang kurang berwibawa, bebas, acuh tak acuh. Adapun acceptance (penerimaan) bisa termasuk bagian dari pola asuh demokratis.

G.    Teori
Beberapa penjelasan yang telah penulis uraikan pada bagian terdahulu dan juga berdasarkan rumusan pendekatan teori pola asuh yang telah disajikan mengenai pemeliharaan diri dan keluarga agar terhindar dari api neraka menurut Allah Swt dalam QS. 66:6, maka penulis dapat merumuskan teori yang penulis beri nama Teori Kites.
Kites dalam bahasa Indonesia diartikan dengan layang-layang,  sebuah permainan yang sering dimainkan oleh anak-anak dan juga sebahagian orang dewasa, dengan berbagai bentuk dan coraknya serta kekhasannya masing-masing. Tata cara permainan layang-layang adalah mengikatnya dengan menggunakan benang untuk diterbangkan. Memperhatikan dari cara memainkannya, maka akan tampak pola asuh yang dapat diterapkan oleh orang tua terhadap anak, yaitu :
1.      Anak dengan segala karakter, ciri khas, dan keunikannya masing-masing, harus diberikan kebebasan untuk melakukan dan memainkan perannya dalam kehidupan, namun tetap harus tetap diikat dengan akidah yang benar. Sebagai seorang muslim, salah satu dasar dalam kehidupan adalah keyakinan atau keimanan. Keimanan kepada Allah Swt membuat hidup menjadi berarti dan bernilai serta mempunyai makna serta arah tujuan tertentu. Meskipun kadang-kadang keimanan tersebut mempunyai konsekuensi yang mengikat dan membatasi gerak-gerik di dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Anak yang menjadi tanggung jawab orang tua harus diberikan kesempatan untuk belajar bertanggung jawab terhadap peran dan tanggung jawabnya sebagai anak dan sebagai hamba Allah yang berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya, seperti halnya layang-layang yang terbang tinggi dan meliuk-liuk di angkasa. Namun tetap harus disadari bahwa ia terikat dengan benangnya, dan dalam dikendalikan oleh pemainnya.
3.      Jika anak tidak diberikan pendidikan yang benar dan sesuai dengan perintah agama yaitu keimanan yang benar, maka ia seperti layang-layang yang putus dari benangnya, dimana setelah bebas dari benang, yang terjadi ternyata tidak sebebas layang-layang yang masih terikat dengan benangnya, layang-layang yang bebas dari benangnya akan terombang-ambing ditiup ke mana saja arah angin bertiup, membumbung tinggi ketika ada angin vertikal yang membawanya dan melayang-layang tak tentu arah ketika angin yang bertiup menghilang. Ketika angin menerpa ke arah pepohonan dan diapun tersangkut di dahan pohon. Lama kelamaan akan terkoyak, tidak ada lagi yang memperhatikan, hina serta tidak berguna lagi.

H.    Simpulan
Pola asuh terhadap anak harus dilakukan dengan pendidikan yang baik, jika dilakukan dengan salah, maka akan berdampak yang tidak baik bagi perkembangan jiwa dan raganya, dan tentunya juga akan berdampak pada lingkungan sekitarnya. Mengenai pemeliharaan diri, sesungguhnya Islam telah memberikan peringatan kepada manusia melalui firman Allah Swt dalam Surat At-Tahrim ayat 6. Peran yang harus dilakukan manusia terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal dan yang kedua jalur vertical. Jika dilihat dari berbagai macam bentuk pola asuh pada penjelasan sebelumnya, pada intinya hampir sama. Misalnya saja pola asuh autokratis, over protection, over discipline. Dominasi, favoritisme, ambisi orang tua dan otoriter, semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh laissez faire, rejection, submission, permisiveness, memanjakan. Secara implisit, kesemuanya itu memperlihatkan suatu sikap yang kurang berwibawa, bebas, acuh tak acuh. Adapun acceptance (penerimaan) bisa termasuk bagian dari pola asuh demokratis. Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan dan juga berdasarkan rumusan pendekatan teori pola asuh yang telah disajikan mengenai pemeliharaan diri dan keluarga agar terhindar dari api neraka menurut Allah Swt dalam QS. 66:6, maka maka penulis dapat merumuskan teori, yang penulis sebut dengan Teori Kites.


DAFTAR PUSTAKA


Abbas, Abu Thohir bin, Tafsir Ibnu Abbas, Beirut: Darul Fikri, 1995

Abdurrahman, Jamal,  Athfaalul Muslim kaifa Rabbahumun Nabiyyul Amiin, Makkah Al-Mukarramah: Darut Thaibah Al-Khadra, 1421/2000, Edisi I

Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : PT Rieneka Cipta, 1991

al Hasyimie Bek, As Sayyid Ahmad, Mukhtarul ahaaditsi an Nabawiyyah wal Hikami Muhammadiyyah, Surabaya:  Al Hidayah, tt

al Maroghie, Ahmad Musthofa, Tafsir al Maroghie, jilid 7, Juz: 21, Beirut: Darul Fikri

Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III Surabaya : Hidayah, tt

Alqaththan, Manna’, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Muzakkir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996

B. Soerin, Az-Zikra terjemahan dan tafsir Al-Qur’an dalam huruf arab dan latin. Bandung: Angkasa. 2002

Copmac Disc (CD) “Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutubut Tasi’ah”, Sunan Abu dawud, hadits no. 4441.

Darajat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1996, Cet ke-15

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988

Donelson, Elaine, Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, Yogyakarta : Kanisius, 1990), Cet. Ke-1

Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak/Child Development, Terj. Meitasari Tjandrasa, Jakarta : Erlangga, 1990, Cet. Ke-2

Gordon, Thomas, Menjadi orang tua efektif, Jakarta : Gramedia, 1994

Hakim, Abdul Hamid, As Sulam, Juz II, As Sa’diyah Putra, Jakarta.

Hardy, Malcom, dan Steve Heyes, Terj. Soenardji, Pengantar Psikologi, Jakarta : Erlangga, 1986, Edisi ke-2

Hauck, Paul, Psikologi Populer, (Mendidik Anak dengan Berhasil), Jakarta : Arcan, 1993, Cet.Ke-5

Irwanto, Danny I. Yatim- Kepribadian Keluarga Narkotika, Jakarta : Arcan, 1991, Cet. Ke-1

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001

Katsir, Ibnu, Ismail Ibn Katsir, Al-Misbahul Munir Fii Tahdzib Tafsiir Ibnu Katsir, Riyadh: Daarus Salaam Lin Nasyr Wa Tauzi, 2000, cet-II

Majid, Hussaini Abdul (dkk), Child Care in Islam, terj. Ahmad Bakir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam: Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, Jakarta: Penerbit Pustaka Shadra, 2004

Musthafah, A. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra Semarang. 1993

Nata, Abudin, Tafsir ayat-ayat pendidikan. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002

Shalih, Adnan Hasan, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Shihab, Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1994

Sirait ”Peran masyarakat Terhadap Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Masalah Hukum” (Makalah tidak di publikasikan: Universitas Islam Kediri, 2015

TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1

Yahya, M. Slamet, “Potensi Dasar Manusia”, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, INSANIA, Vol. 12, No. 2, Mei-Agustus 2007.

Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Terj. Sumarji, Jakarta : Erlangga, 1986


[1]Adnan Hasan Shalih, Tanggung Jawab Ayah terhadap Anak Laki-laki, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)., h. 45
[2]M. Slamet Yahya, “Potensi Dasar Manusia”, dalam INSANIA, (Vol. 12, No. 2, Mei-Agustus 2007), h. 45
[3] Hussaini Abdul Majid (dkk), Child Care in Islam, terj. Ahmad Bakir, Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam: Ulama Besar Universitas Al-Azhar Mesir, (Jakarta: Penerbit Pustaka Shadra, 2004)., h. 125
[4]Mengenai hal ini Nabi Muhammad Saw telah bersabda yang artinya: ”muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan oleh Ibnu Majjah 2/1211, tetapi al-Bani menilainya dha’if. Dan dalam hadits lain disebutkan ”Tiada suatu pemberianpun yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya, selain pendidikan yang baik” (hadits ini diketengahkan oleh Hakim dalam Kitaabul Adab Juz 4, hal. 7679; sanadnya shahih, meskipun Bukhari dan Muslim tidak mengetengahkannya. Baihaqi mengetengahkannya dalam Kitab Sunanul Kubranya. Hadits No. 2319; Tirmidzi hadits no. 1952, dan Musnan Ahmad Juz 4 hal. 14977. Lihat. Jamal Abdurrahman, Athfaalul Muslim kaifa Rabbahumun Nabiyyul Amiin, (Makkah Al-Mukarramah: Darut Thaibah Al-Khadra, 1421/2000), Edisi I., h. 16-17 
[5]Data ini meningkat 16 % dari tahun 2013, dan menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), faktor penyebab dari tindakan kriminal ini adalah dari lingkungan terdekat dari anak, salah satunya adalah keluarga, dalam hal ini berkenaan dengan pola asuh orang tua terhadap anak. Lihat lebih lanjut dalam ”Peran masyarakat Terhadap Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Masalah Hukum” (Makalah tidak di publikasikan: Universitas Islam Kediri, 2015), lihat juga Laporan Wartawan Reza Aditiya, ”Sepanjang 2014, Kejahatan Anak Meningkat”, Tempo, 31 Desember 2014, h. 5
[6]Ibnu Katsir, Ismail Ibn Katsir, Al-Misbahul Munir Fii Tahdzib Tafsiir Ibnu Katsir, (Riyadh: Daarus Salaam Lin Nasyr Wa Tauzi, 2000), cet-II., h. 166
[7]Abudin Nata. Tafsir ayat-ayat pendidikan. (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002.), h. 198
[8]Ibid, h.199
[9]Ibid
[10]Ibid
[11]A. Musthafah, Tafsir Al-Maraghi. (Semarang: CV Toha Putra Semarang. 1993)., h. 145
[12]B. Soerin. Az-Zikra terjemahan dan tafsir Al-Qur’an dalam huruf arab dan latin. (Bandung: Angkasa. 2002)., h. 202
[13] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994) , h. 23
[14] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2001. h. 12-52
[15]Al-Ghazali Ihya’ Ulum al-din Juz III (Surabaya : Hidayah, tt), h. 4
[16]Jalaluddin, Teologi….h. 61
[17]Menurut Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil ma’tsur adalah tafsir berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat, sebab merekalah yang lebih mengetahui kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in, karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Lihat, Manna’ Alqaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Muzakkir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h. 482-483
[18] Abu Thohir bin Abbas, Tafsir Ibnu Abbas, (Beirut: Darul Fikri, 1995), h:  412.
[19] Ibid, 57.
[20] Ahmad Musthofa al Maroghie, Tafsir al Maroghie, jilid 7, Juz: 21, (Beirut: Darul Fikri), h. 78.
[21] Abdul Hamid Hakim, As Sulam, (Jakarta: As Sa’diyah Putra, tt), Juz II, hal. 14.
[22] Copmac Disc (CD) “Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutubut Tasi’ah”, Sunan Abu dawud, hadits no. 4441.
[23] Ahmad Musthofa al maroghie, Tafsir…, h. 81
[24]As Sayyid Ahmad al Hasyimie Bek, Mukhtarul ahaaditsi an Nabawiyyah wal Hikami Muhammadiyyah, (Surabaya:  Al Hidayah, tt), h. 175
[25]Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), Cet ke-15, h. 56
[26]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 54
[27]TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 692
[28]Elaine Donelson,  Asih, Asah, Asuh Keutamaan Wanita, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), Cet. Ke-1, h.5
[29] Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian Keluarga Narkotika, (Jakarta : Arcan, 1991), Cet. Ke-1, h. 94
[30] Paul Hauck, Psikologi Populer, (Mendidik Anak dengan Berhasil), (Jakarta: Arcan, 1993), Cet.Ke-5, h. 47
[31] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta : PT Rieneka Cipta, 1991), h. 180
[32] Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak/Child Development, Terj. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta : Erlangga, 1990), Cet. Ke-2, h. 204
[33]Danny I. Yatim-Irwanto, Kepribadian .... h. 94
[34]Thomas Gordon, Menjadi orang tua efektif, (Jakarta : Gramedia, 1994), h. 127
[35]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Terj. Sumarji, (Jakarta : Erlangga, 1986), h. 21
[36]Malcom Hardy dan Steve Heyes, Terj. Soenardji, Pengantar Psikologi, (Jakarta : Erlangga, 1986), Edisi ke-2, h. 131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...