SIMPATIKA MADRASAH 2016;
(Analisis Kebijakan PMA No. 29 Tahun 2014)
By : Darul Abror, M.Pd.I
Latar Belakang Masalah
Madrasah memiliki peran penting dalam ikut serta membangun moral dan karakter bangsa, baik madrasah swasta maupun madrasah negeri. Kebijakan yang sudah digelontorkan tentang kepala Madrasah Negeri yang di tugaskan di Madrasah swasta melalui Peraturan Menteri Agama No 29 tahun 2014 tentang Kepala Madrasah yang intinya pada pasal 2 disebutkan Kepala madrasah meliputi : (a). Kepala madrasah PNS pada madrasah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan (b). Kepala Madrasah Non PNS pada madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakatkat. ini memberi isyarat bahwa yang mengangkat seluruh kepala madrasah swasta adalah yayasan penyelenggaranya diambil dari tenaga honor murni, bukan guru PNS-Dpk yang ada di madrasah tersebut, sehingga seluruh kepala madrasah PNS-Dpk dingkat oleh Kementerian Agama yang sedang menjabat saat ini terancam akan dicabut atau dikembalikan lagi statusnya sebagai guru PNS-Dpk (diperbantukan). Disisilain, walaupun pihak yayasan akan mengangkat guru PNS-Dpk tersebut sebagai kepala madrasah, tenyata hal itu tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan aplikasi pada situs Simpatika PTK yang sedang diterapkan oleh Kementerian Agama saat ini. Apalagi sesuai informasi bahwa peraturan tersebut dan pemberlakuan situs Simpatika PTK akan segera dilaksanakan pada bulan Juli 2016 atau pada tahun pelajaran 2016/2017 ini. Sebagai penyelenggara atau pengurus madrasah, dengan pemberlakuan peraturan ini tentu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya menanti dengan penuh kecemasan, akankah kita kembali pada masa-masa sulit mengurus madrasah seperti dulu pada era sebelum reformasi, mampukah kepala madrasah ini bekerja maksimal tetapi dengan tingkat kesejahteraan yang jauh lebih rendah dari kepala madrasah PNS-Dpk atau guru PNS-Dpk yang ada di madrasah tersebut?, Salah satu bentuk implementasi sistem simpatika tersebut di atas yang memperkuat regulasi PMA no 29 Tahun 2014 adalah Tidak dihitung ekuivalen 18 JTM jika pengangkatannya dilakukan setelah pemberlakuan PMA Nomor 29 Tahun 2014.
Guru PNS yang diangkat sebagai Kamad di Madrasah swasta sebelum tanggal 15 September 2014, jam ekuivalen tugas tambahan Kepala Madrasah (sebanyak 18 JTM) akan tetap muncul di Cetak Ajuan S25a, SKMT, dan SKBK. Sehingga sesuai dengan KMA Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemenuhan Beban Kerja Guru Madrasah yang Bersertifikat Pendidik, Kepala Madrasah tersebut cukup mengajar paling sedikit 6 (enam) JTM perminggu atau membimbing 40 (empat puluh) peserta didik (bagi Kamad dari guru BK) untuk dapat memenuhi beban kerja 24 JTM sebagai syarat Tunjangan Profesi Guru. (http://www.simpatikapati.com/2016/03/pns-menjabat-kamad-madrasah-swasta.html, Diakses Kamis, 20 mei 2016).
Sistem yang sudah terpadu didesain oleh pemerintah memiliki efek yang luar biasa terhadap perkembangan madrasah swasta khususnya dalam hal sumber daya manusia, dan ini menjadi bomerang untuk masa depan madrasah swasta. Disislain, sebagai penyelenggara atau pengurus madrasah, tentu sangat menghormati dan menghargai keinginan baik dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan madrasah di seluruh penjuru negeri ini, namun kalau berkenan, lihatlah pula keberadaan para pengurus madrasah di desa-desa yang jauh dari perkotaan dengan latar belakang kemampuan yang tidak punya apa-apa tetapi hanya dengan bermodalkan cita-cita, semangat dan keyakinan, bahwa dengn melalui madrasah yang mereka asuh secara ikhlas tanpa pamrih akan lahir satu atau dua insan generasi penerus yang cerdas tetapi beriman dan berakhakulkarimah yang akan menjadi benteng pertahanan nilai dan moralitas Islam di setiap pelosok desa dan kecamatan sebagai penopang tiang-tiang moralitas bangsa di negeri yang tercinta ini. Semoga masih ada secerca harapan dari pemerintah pusat kepada penyelenggara atau pengurus madrasah yang senasib di negeri ini sebelum pertauran itu benar-benar diberlakukan. Dengan beberapa kebijakan di atas, sangat penting sekali untuk menganalisis tentang PMA No 29 Tahun 2014 tersebut yang masih mendapat pro dan kontra dalam tataran implementatifnya di masyarakat, khususnya bagi madrasah swasta di pedesaan. Sehingga dengan pembahasan dan diskusi kebijakan ini ada beberapa sumbangsih kita terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia sehingga madrasah swasta mampu survive dan bersaing di era global yang penuh dengan tantangan.
SDM Madrasah Swasta
Madrasah swasta merupakan realitas pendidikan yang menampung aspirasi sosial, budaya dan agama penduduk muslim Indonesia yang secara kultural berakar kuat pada kelompok masyarakat santri. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa, adanya pola kebijakan dari lembaga khsusunya dari kementerian dan umumnya madrasah itu sendiri mengarah pada sosial dan kultur yang ada di masyarakat. Sentralisasi memiliki dampak positif bagi pemerintah tentunya, melainkan belum tentu dapat memberikan sumbangsih yang jelas bagi pendidikan masyarakat apalagi di pedesaan, hal ni yang sangat perlu dipertimbangkan ketika kapasitas kelembagaan ingin mewujudkan dengan serius kemajuan madrasah swasta menjawab era kontemporer ini.
Mastuki mengutip dari Fadjar (1999:31) mengemukakan bahwa apapun perubahan yang ingin disosong, kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yakni (1) kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam....membina ruh dan praktek hidup Islami, (2) kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian serta produktif sederajat dengan sistem sekolah, (3) kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.
Idi (2011:227) mengemukakan bahwa salah satu elemen penting dalam proses pembelajaran adalah pendidik yang profesional.
Dari pendapat di atas, penulis menganalisa bahwa kebijakan dari PMA No 29 Tahun 2014 masih berat sebelah yang mengakibatkan madrasah swasta ini harus berlari dengan cepat untuk mencukupi sumber daya manusianya, dengan segala kondisi, dan hal ini ttidak menutup kemungkinan berakibat fatal atau jalan memberikan peluang jalan pintas kepada seluruh pengelola madrasah swasta, karena Penguatan kompetensi guru bagi madrasah swasta ini sangat menjadi tuntutan besar, walaupun dalam praktiknya madrasah swasta masih berjalan apa adanya. Upaya-upaya apasaja yang harus dilakukan oleh madrasah swasta dalam mengantarkan peserta didik memiliki penguasaan secara memadai, baik pada sains, keterampilan dan agama tentunya, ketika kebijakan belum mengarah pada kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh madrasah swasta.
Sistem selanjutnya, analisis penulis lebih pada dua aspek, yakni pada sistem yang memang dibangun dan dikawal oleh pengambil kebijakan itu sendiri, baik pemerintah pusat maupun di daerah dan kemauan madrasah itu sendiri. Desentraliasi setidaknya memberikan celah dan peluang bagi madrasah guna menyampaikan identitas dan mengembangan dengan pola yang lebih fleksibel. Kaitanya dengan kemauan madrasah dapat wujudkan dengan analogi visi dan misinya dengan pemerintah dan masyarakat.
Kenyataanya, meskipun sejumlah pendidik memiliki profesi yang sama sebagai pendidik/ guru, mereka memiliki perbedaan atau beragam pada level profesionalismenya. Selain itu, madrasah akan bisa menyesuiakan identitasnya kepada msayarakat jika dikelola dengan pengelolaan yang baik dan transparan, artinya manajemen madrasah juga tidak bisa terlepas dengan visi dan misinya dalam mengembangkan madrasah itu lebih berkualitas baik sumber daya manusia, keuangan dan kurikulumnya serta madrasah itu sendiri.
Di dalam pengetahuan manajemen, falsafah pada hakekatnya menyediakan seperangkat pengetahauan (a body of related knowledge) untuk berpikir efektif dalam memecehkan masalah-masalah manajemen. (Syukur, 2013:6).
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia merupakan jawaban yang tepat bagi madrasah Indonesia, madrasah bisa tetap eksis dan memberikan kontribusi yang jelas terhadap perkembangan pendidikan bangsa jika sumber daya manusianya benar-benar memahami substansi sebagai seorang pendidik. Pengelola madrasah memiliki peran yang sangat urgen dalam eksistensi madrasah, apalagi madrasah swasta, baik dan buruknya sebuah lembaga/ madrasah ataupun berjalan atau tidaknya madrasah sangat tergantung pada pengelolaan yang diterapkan oleh pemimpinnya, baik pola, model maupun gaya dan lainya yang menjadi karakteritistik madrasah tersebut, dan kelembagaan yang memberikan kebijakan searah dengan kondisi, kemauan dan kebutuhan pendidik, masyarakat dan madrasah tersebut. Problematika sampai hari ini yang perlu jawaban adalah kepala madrasah yang belum mendapatkan kesejahteraan sejajar dengan fungsi yang dimilikinya. Dan seyogyanya hal ini menjadi pertimbangan besar bagi kementerian agama dalam memberikan kebijakan.
Kondisi dan Kualitas Pembelajaran di Madrasah
Peran dan fungsi madrasah swasta sebagai aset utama pendidikan harus benar-benar dioptimalkan agar dapat menjadi madrasah yang seksi dan tetap bersaing dengan madrasah ataupun sekolah Negeri, dengan lebih mengutamakan penguasaan keilmuan agamanya dengan tidak mendikotomikan keilmuan agama dan keilmuan umum yang secara strukturalnya berada di bawah naungan Kementerian Agama yang memiliki tujuan sederajat dengan tujuan pendidikan nasional, yakni membentuk manusia yang berakhlak dan berilmu serta mampu bersaing di era global. Selain itu, madrasah juga bagian dari revitalisasi pendidikan Islam baik pada sistem, manajemen dan nilai-nilai yang diajarkan dengan tetap mengutamakan tujuan pada pembenahan akhlaq. Paradigma lama bagi setiap pendidik yang memaknai pendidikan secara reduktif dengan sebatas proses mengajar saja (teaching process) harus segera dirubah, karena pada subtsansinya, mengajar bukan sebatas menyampaiakan materi saja melainkan pendidik dituntut untuk mengawal kemampuan siswa baik pada aspek afektif, psikomotorik dan kognitif.
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Ramayulis (1994:158) bahwa di dalam madrasah berlangsung proses komunikasi pedagogis antara pendidk, peserta didik, yang darinya diharapkan mengarah kepada tercapainya tujuan instruksional. Oleh karena itu, madrasah merupakan salah satu tempat sekaligus media berinteraksi antar satu anak dengan anak lain yang didesain dengan sistem pendidikan Islam yang lebih komprehensif.
Mastukki (2004:30) mengemukakan bahwa UNESCO telah menyebutkan empat visi pendidikan, (1) learning to think..., (2) Learning to do..., (3) learning to life together..., (4) learning to be.., yang disimpulkan dalam kata kunci “learning how to learn”
Unesco di atas telah menjelaskan secara akurat dan akuntabel bahwa pendidikan bukan semata proses pengajaran semata saja, melainkan bagaimana siswa mampu untuk berpikir (learning to think) dengan logis, rasional dan ilmiah serta berani menyampaikan pendapatnya serta memiliki semangat yang tinggi. Kemudian selain itu, pendidikan juga merupakan suatu proses untuk belajar berbuat atau belajar tentang kehidupan (Learning to do), bagaiman seorang siswa dididik belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dengan sesuai “syari’at” dalam perspektif Islamnya, dengan tetap diarahkan pada pendidikan yang lebih mengutamakan kemampuan secara mandiri dari diri siswa tersebut, atau lebi dikenal dengan how to solve the problem. Selain itu, pendidikan juga memiliki visi untuk belajar hidu bersama (learning to life together), aspek sosial sangatlah kental pada poin ini, bagaimana seorang siswa didik dengan multi pendekatan dengan menjelaskan bahwa siswa hidup tetap membutuhkan orang lain dan tidak bisa untuk hidup sendiri dengan beragam latarbelakang, baik agama, suku, jenis kelamin dan status soal lainnya, lebih-lebih di era globalisasi. Pada visi yang ke empat adalah siswa belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dimaksudkan bahwa agar seorang pembelajar atau siswa mampu untuk berdikari, percaya diri dan tidak ketergantungan dengan potensi orang lain, sehingga siswa mampu menjawab kebutuhannya dengan segenap pengethuan yang mereka miliki tetap priporitaskan kemampuan sendiri daripada percaya dengan orang lain.
Penguatan Sistem Integral dengan Pesantren
Madrasah swasta di Indonesia telah memberikan sumbangsih yang jelas terhadap pembaharuan pendidikan Islam sampai hari ini. Hal ini juga tidak bisa terlepas dengan ikatan atau hubungan yang terjalin antara madrasah timur tengah dengan pesantren di Indonesia di anggap memiliki latar belakang sendiri. Padahal embrio madrasah adalah pesantren yang dengan tekad dan jihad ilmiah dan spiritualnya para pendiri tokoh seperti Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan tentunya.
Sebagai lembaga pendidikan yang unik dan khas, awal keberadaan pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Maulana Malik Ibrahim (w.1419 H), atau dikenal sebagai spiritual father walisongo. Haedari dalam (Dhofier, 1982. hlm. 34).
Idi (2006:20) mengemukakan bahwa secarsa historis kelahiran madrasah menjadi lambang kebangkitan dari sistem pendidikan Islam.
Madrasah swasta di Indonesia secara historis sangat melekat dengan pondok pesantren, baik pada sistem, manajemen, serta pola dan gaya kepemimpinan kyai yang menjadi salah satu kharisma tersendiri di masyarakat. Dari satu generasi ke generasi penerusnya, para kyai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap pendidikan putra-putrinya untuk menjadi pemimpin dalam pesantren ataupun madrasah mereka. Dan hal ini penting dilakukan oleh madrasah swasta yang lain yang belum berafiliasi dengan pesantren, baik sistem, pola maupun manajemennya, karena pengaruh besar pada madrasah swasta juga tidak bisa ditinggalkan dari kharisma kiayi tersebut.
Syukur (2013:201), mengemukakan bahwa sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dari perut pesantren, maka pesantren harus siap dijadikan kiblat bagi pengembangan madrasah.
Selain itu, kemunculan serta berkembangnya tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh organisasi keislaman di Jawa, Sumatera maupun Kalimantan, (Mastukki mengutip dari Noer, 1995:12).
Proses pengelolaan madrasah swasta bisa melihat dari pengembangan pesantren-pesantren yang telah ada, agar madrasah swasta tetap survive dalam sistem pendidikan nasional (SPN) dibutuhkan konsep dalam mengelola madrasah yang baik dan tepat.
Sesuai dengan dikemukakan Wahid (2007: 183) bahwa prinsip yang digunakan dalam pembenahan dan pengembangan pesantren adalah diktum yang sudah lama dikenal kalangan pesantren sendiri yaitu memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik, (al-muhāfadlatu ‘ala al-qodhīmi ash shālih ma’a al akhzu bī al jadīdi al ashlāh). Diktum pesantren yang sudah ada yakni “memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan hal-hal yang baru yang lebih baik”, artinya keikutsetaan pesantren salaf pada pesantren khalaf bisa jadi dalam program, ataupun yang lainnya itu juga sah-sah saja selama tetap mempertahankan yang lama yang baik dan yang di ambil itu adalah hal yang lebih baik bagi pesantren dan masa depan santri. Pesantren harus membuka diri secara proporsional, khususnya dalam bidang pengembangan SDM pada madrasah maupun pesantren itu sendiri, sehingga era globaliasi akan tetap menjadi pilihan dan bagian yang di sistemkan dalam sebuah madrasah, hal ini tentunya tidak terlepas dari penanaman nilai-nilai tawadlu’ yang di contohkan oleh kyai terhadap santri-santrinya.
Social Control Pemerintah dalam Pembaharuan Sistem Madrasah Swasta
Selain tuntutan sumber daya manusia, madrasah swasta dihadapkan dengan era multi sistem yang harus di ikuti dari pemerintah, lebih-lebih berupa sistem berbasis tehnologi, karena tidak menutup kemungkinan kepala madrasah swasta juga masih banyak yang gaptek atau bahkan masih susah untuk menganggarkan fasilitas tersebut secara pibadi ataupun secara kolektif guru di madrasah. Untuk itu, perlunya pembaharuan sistem masing-masing madrasah dengan ala kondisi dan keterbatasannya.
Sesuatu yang jadi permasalahanya adalah ketika madrasah sudah terlalu panas dengan kondisi tersebut, ada dua kemungkinan tentunya, kemungkinan pertama adalah madrasah swasta benar-benar serius dalam mengembangkan suatu sistem dengan konsep ikhlas beramal yang sesungguhnya, disisilain, adakalanya madrasah swasta tersebut harus dengan keterpaksaan menjemput pola dan sistem dari pemerintah dengan menghalalkan segala cara demi kesuksesan lembaga swastanya.
Idi (2006:65) juga menjelaskan istilah “pembaruan” merupakan alih bahasa dari istilah itu pembaruan, tajdid, dan modernisasi.
Berkenaan dengan pembaruan, pola pikir dan sikap pandang kaum muslim yang menyimpang dan tidak sesuai dengan esensi Islam harus diperbarui. Pembaruan dilakukan dengan cara mengembalikan pola pikir dan sikap pandang kaum muslim ke pagkal kemurnian Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. (Idi mengutip Iqbal, 1966:158-192).
Dengan demikian, dalam pembaharuan madrasah yang unggul memerlukan sumberdaya yang kreatif, inovatif dan bertanggung jawab dalam mencapai visi dan misinya. Madrasah dikenal sebagai lembaga yang lebih dominan dalam penguasaan keilmuan keagamaan. Sehingga hal ini menjadi karakteristik yang memang harus dikembangkan dalam menyesuaikan keadaan dan perkembangan zaman. Terutama pada aspek manajemen dan kemauan yang tinggi seorang pemimpim madrasah itu sendiri.
Bagaimanapun juga, suatu bentuk pembaharuan tentunya memerlukan suatu wadah dan strategi dalam rangka menjadi tujuan yang diharapkan. (Idi dan Suharto, 2006:71).
Nata, mengutip dari (Maksum, 1999:97), mengemukakan bahwa madrasah sebagai suatu sistem pendidikan Islam berkelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non kegamanaan sudah tampak sejak awall abad XX.
Untuk itu, perubahan secara terus menerus dialami manusia dalam menjalani kehidupan, pemikiran-pemikiran teoritis tentang perubahan-perubahan manusia yang dikenal dengan perubahan sosial. Dan hal ini menjadi salah satu pertimbangan besar dalam ilmu sosiologi. Perubahan-perubahan sosial yang direncanakan dengan gaya sosial seorang pemimpin yang sesuai sangat membantu madrasah dalam efektifitas dan pengembagan program madrasah baik berbasis masyarakat atau intern saja. Muatan kurikulum merupakan salah satu komponen utama dalam pondok pesantren yang tidak dapat ditinggalkan.
Nata (2001:195), mengemukakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang di dalam kurikulumnya memuat materi pelajaran agama dan pelajaran umum, dimana mata pelajaran agama pada madrasah lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran agama pada sekolah umum.
Dimaksudkan bahwa dengan adanya lembaga sekolah atau madrasah, maka ini merupakan media sosial anak sekaligus media sosialisasi beberapa program dalam mengembangkan kompetensi anak, sehingga sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya, bukan hanya sebagai media pembelajaran di bangku sekolah. Pada substansinya, manajemen merupakan aspek terpenting dalam madrasah atau sekolah, ini erat kaitanya dengan pemimpin yang kompeten dan kompetensi pendidik tentunya, baik pada aspek planning. Organizing, actuating, implementating dan evaluating. Pendidik profesional juga menjadi salah satu syarat mutlak dalam kemajuan pendidikan bangsa, hal ini juga dijelaskan dalam beberapa pendapat ahli pendidikan terutama dengan pendekatan sosiologisnya.
Pengelola yang Ikhlas dan Visioner
Pendidikan Islam sebagai solusi alternatif dalam menata kembali kerusakan-kerusakan tata nilai dunia, tinggal yang perlu dipersiapkan adalah suatu konsep yang tepat dalam mewujudkan pemimpin yang ikhlas dan visioner tentunya. Dengan pemimpin yang ikhlas dan visoner penulis optimis lembaga swasta tetap akan bisa bersaing dengan madrasah ataupun sekolah negeri, disisilain madrasah harus berusaha semaksimal mungkin dalam ikut serta eksis dalam kancah nasional. Untuk itu lebih tepat jika pengelola madrasahnya adalah memang sudah siap dan matang secara ekonomi, bukan mencari kesejahteraan di dalam madrasah, melainkan berupaya secara serius dalam memberikan kesejahteraan terhadap madrasah.
Dalam ilmu sosial, istilah pemimpin di identikkan dengan elite, yang lazim di definisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya serta berkuasa. (Idi, 2015:247).
Kepemimpinan pada hakekatnya adalah membahas masyarakat manusia dengan seluk beluknya. Manusia adalah makhluk sosial, zoon politikon. Secara naluriah membutuhkan bergaul dan membutuhkan manusia lain, dalam prosesnya mereka membentuk kelompok-kelompok, masyarakat, berbangsa-bangsa dan bernegara, yang giliranya membutuhkan pemimpin. (Syukur, 2013:15),
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa leadership merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam memengaruhi orang lain dengan tetap menjunjung nilai-nilai sosial baik dalam kondisi dan hal apapun guna mencapai tujuan tertentu. Salah satu fungsi yang dilakukan oleh seorang pemimpin adalah menjadi “pelayan” atau istilahnya sebagai public service. Kebanyakan pemimpin sekarang tidak sedikit kita jumpai sebaliknya, yakni pemimpin yang selalu ingin dilayani oleh orang lain, dalam pendekatan sosial, hal ini sangat jauh dari esensi leadership itu sendiri. Leadership dalam persepektif sosial lebih menekankan adanya upaya yang lebih substantif dalam memberikan service kepada public, hal ini dapat dilakukan dengan fleksibel dan efisien, dengan cukup memberikan senyum atau jual senyum juga bisa menjadi salah satu awal dalam melayani public. Ramah, sopan, jujur, adil dan berwibawa merupakan beberapa kriteria sosok leader yang tepat untuk dijadikan uswah dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan tentunya. Pada aspek kompetensi yang harus dimiliki oleh khalifah madrasah, setidaknya memiliki integritas yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan dan lembaga atau madrasah itu sendiri.
Secara umum tugas dan peran kepala sekolah memiliki lima dimensi kompetensi sebagaimana termaktub pada peraturan menteri pendidikan nasional Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala Sekolah/ Madrasah, yaitu kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan kompetensi sosial. (Rusman, 2012:7).
Dengan demikian, gaya kepemimpinan dalam madrasah sangat menentukan strategi pencapaian visi dan misi dari lembaga itu sendiri. Dari pembahasan di atas, maka madrasah, manajemen dan leadership adalah satu bangunan yang utuh dalam mengorganisir lembaga dan sistem pendidikan menuju visi dan misi lembaga, leader, serta pola manajemen yang sudah dibangun. Selain itu, madrasah masih membutuhkan leadership yang sesuai dengan kebutuhan dan mampu menyelesaikan problematika sosial, baik antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan orang tua, masyarakat dengan lembaga ataupun pemerintah dengan seluruh komponen yang ada di dalam madrasah itu sendiri.
Idi (2015:298), mengemukakan bahwa pemimpin yang ideal, dalam perspektif Islam, merupakan pemimpin yang perilakunya tidak menyimpang dari “garis” kebenaran yang diwahyukan oleh agama, menjunjung tinggi akhlakul karimah, adil, memberi rasa aman, dan menyejukkan bagi pengikut/ umat.
Dengan demikian, ketika pemimpin madrasah yang efektif merupakan pemimpin yang mampu mengelola madrasah dengan mengutamakan dan menjunjung tinggi aspek perilaku, adil, bijakasana, transparan, tanggung jawab, lemah lembut agar dapat mencapai tujuan tertentu dan tidak membebani anggotanya. Dan ini juga sudah dicontohkan tentunya dalam Islam oleh Rasulullah SAW. Transparansi seorang leader sangat penting, gejala-gejala sosial yang sudah merambah pada nilai-nilai kepercayaan bawahan terhadap atasan sangat erat kaitanya dengan adanya “pengelolaan financial ”, untuk itu karakter seorang pemimpin sangat berpengauh pada keberhasilan program madrasah. Sangat jelas bahwa, seorang pemimpin harus lebih kreatif dan inovatif dibanding dengan yang lain dalam menyelesaikan masalah. Substansinya ada upaya-upaya yang efektif dan efisien serta dengan penuh kasih sayang dalam melaksanakan tanggung jawabnya sehingga terdapat kemudahan dan great yang tinggi dihadapan public dengan sendirinya tanpa direncanakan.
Selain itu, gaya sosial seorang khalifah madrasah juga sangat penting dalam mengubah keadaan sosial yang lebih baik di lingkungan madrasah, karena dengan perubahan keadaan sosial, maka tujuan sosialpun bisa terwujud yang sesuai degan visi dan misi madrasah itu sendiri. Tidak bisa dibuat remeh, gaya juga sangat penting dan menjadi bagian integral dalam pengembangan dan komunikais dengan masyarakat pada umumnya. Disisilain, untuk menuju efektifitas kepemimpinan madrasah, kepemimpinan seseorang (pemimpin) harus mempunyai sandaran-sandaran kemasyarakatan atau social basis. Dimulai dari kepemimpinan erat hubunganya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris di mana belum ada spesialisnya, biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat.
M.N. Ibad (2010:138), Pemimpin yang besar adalah mereka yang bisa menerima dan mengorganisir semua manusia (yang dipimpinnya) dengan apa adanya, “bisa gaul” istilah gusmiek, dan “memanusiakan manusia” istilah gusdur. Dengan demikian, pada subtansinya seorang pengelola madrasah seyogyanya memiliki nilai kelebihan terutama dalam bidang niat dan visi misinya serta karakteristik yang seirama dengan gaya pesantren yang tidak meninggalkan keikhlasan dan keistiqomahannya dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan tentunya.
Kesimpulan
Keputusan Menteri Agama (PMA) No 29 Tahun 2014 yang telah didukung dengan regulasi baru dengan penerapan pengembangan sistem “simpatika” yang diedarkan oleh Kementerian Agama melalui Dirjen Pendis pada 29 Januari 2016 merupakan salah satu kebijakan yang sudah dipertimbangkan dengan matang tentunya oleh pemerintah yang walaupun endingnya tetap madrasah swasta menjadi salah satu korban, atau bisa jadi salah satu upaya penegasan identitas sumber daya manusia antara sumber daya di bawah kementerian agama dan bukan di bawah departemen pendidikan seni dan budaya yang tentunya juga memiliki dampak positif dan negatif serta tuntutan khususnya bagi madrasah swasta. Dampak positifnya adalah kemandirian madrasah swasta lebih bisa totalitas dengan segala otonimya yang bisa jadi terintegrasi dengan pesantren. Adapun dampak negatif yang dirasakan oleh madrasah swasta yang memang kepala madrasahnya dari guru Dpk (diperbantukan), maka madrasah swasta dalam bidang sumber dayanya harus lebih ditekankan dalam pengembngan kompetensinya sehingga mampu tegak diera globlalisasi ini. Disislain, Penguatan Sistem Integral dengan Pesantren juga menjadi salah satu upaya yang menarik untuk dilakukan oleh setiap madrasah swasta, karena madrasah juga tidak bisa menghilangkan secara begitu saja sejarah berdirinya madrasah itu sendiri yang berawal dari pesantren sebagai embrionya. Social Control Pemerintah dalam Pembaharuan Sistem Madrasah Swasta Juga menjadi bagian upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah itu sendiri sehingga pembaharuan yang dilakukan oleh madrasah swasta jelas dan tidak melewati batas-batas yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Sehingga salah satu upaya intern dalam madrasah itu sendiri adalah dengan memberikan peluang bagi generasi yang dalam pengelolaannya adalah dengan Ikhlas dan Visoner atau memiliki visi dan misi yang panjang kedepan serta bagaimana madrasah tersebut tetap survive dalam bidang kualitas pembelajaranya dengan tetap beruapaya secara serius yang dilandasi pemimpin yang ikhlas dan visioner, dan hal ini menjadi sangat rumit yang tidak semua madrasah swasta selalu dalam kondisi normal sumber daya manusianya, dengan kata lain ini merupakan tuntutan madrasah swasta yang sebenarnya bukan menjadi tantangan menyeluruh bagi madrasah.
REFERENSI

Al-Qardhawi,Yusuf., 1980, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al Banna, Terj. Bustami A.Gani, Bulan Bintang. Jakarta.
Anzizhan, Syafarudin. 2008. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, Jakarta, Grasindo
Dewey, John. 1955. Risalah Ahli didik. Saptadarma.
Daulay, Haidar Putra. 2009. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta.
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. LP3ES, Jakarta .
Haedari et. al. 2006. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global. IRD Press. Jakarta.
Idi, Abdullah, 2011, Sosiologi Pendidikan. Rajawali. Jakarta.
------------------, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam. TW Mutiara Wacana. Yogyakarta.
------------------, 2015, Dinamika Sosiologis Indonesia. “Agama dan Pendidikan dalam Perubahan Sosial. LKIS Press. Yogyakarta.
Imron, dkk, 2003. Manajemen Pendidikan. UIN Malang.
Jalaludin. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Kalam Mulia, Jakarta.
------------------, 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
------------------, 2015. Mempersiapkan Anak Sholeh Menelusuri Tuntunan dan Bimbingan Rasulullah Saw. Noer Fikri. Palembang.
Ali, Atabik. 1998. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta. Multi Karya Grafika.
Komariah dan Triatna. 2010. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta. Bumi Aksara.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Dian Rakyat, Jakarta.
Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
Mastukki. 2004. Sinergi Madrasah dan Pondok Pesantren (Suatu Konsep Pengembangan Madrasah). DEPAG RI : Jakarta.
Mangun Suwito, 2011. Kamus Saku Ilmiah Populer. Widyatamma Presindo, Jakarta.
M.N. Ibad. 2010. Leadership Screet of Gusdur – Gusmiek (mengelola potensi diri unuk menjadi pemimpin yang dicintai. Pustaka Pesantren. Yogyakarta.
Mayhud dan Khusnurdilo, 2004. Manajemen Pondok Pesantren. Diva Pustaka, Jakarta.
Nata, Abudin, 2001. Tokoh-Tokoh Pemikir Pendidikan Agama Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Rahman, Nazaruddin, 2007. Manajemen Pembelajaran. Pustaka Felicha. Yogyakarta.
Sutrisno, 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia. Prenada Media Group. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosilogi Suatu Pengantar. Rajawali. Jakarta.
Syukur, Fatah. 2013. Manajemen Pendidikan Bebasis pada Madrasah. Pustaka Rizki Putra. Jakarta.
Suraya dan Bayu. 2013. Kewirausahaan. Prenada. Jakarta.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Alfabeta 2011.
Ziemek, Manfred. 1983. Pesantren dalam Perubahan Sosial. (diterjemahkan oleh Butche B. Soendjojo. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar