Halaman

Sabtu, 07 September 2019

Konsep Dasar Islam Nusantara ( Refleksi Akar Paradigma kekinian dan Kedisinian Era Mienial)



Konsep Dasar Islam Nusantara 
(Refleksi Akar Paradigma Kekinian dan Kedisinian Era Milenial)   

Oleh: Dr. Darul Abror, M.Pd.
Mabinda PKC PMII Sumsel



A.                Pendahuluan

Barangkali banyak yang lupa dan bahkan memungkinkan belum memahami secara komprehensif tentang peta dan eksistensi Islam di wilayah nusantara, termasuk salah satunya eksistensi Islam di Indonesia kedepan. Azumardi Azra dalam pengantarnya tentang kebangkitan Islam di Asia Tenggara menegaskan bahwa “Sejak beberapa  tahun terakhir, sejulah pengamat dunia Islam atau Islamicis di luar negeri memberikan analisis dan komentar yang positif tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan malasyia, yang juga memberikan apresiasi dan pandangan positif senada juga dikemukakan pengamat asing, seperti John Esposito atau Bruce Lawrence yang beberapa kali berkunjung ke Indonesia dan Malaysia dan menyaksikan langsung dinamika Islam di wilayah ini.[1] Akan tetapi tidak sedikit masyarakat “kaget” dan atau menganggap “berlebihan” dengan realitas eksistensi Islam di masa depan tersebut, sehingga Islam nusantara difahami secara nonproporsional sebagai Islam yang keliru.    
Salah satu realitasnya adalah, istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan memungkinkan adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama) yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.[2] Selain itu, kalimat “Islam itu sudah sempurna, tidak perlu embel-embel lagi, menjadi bagian isu yang sering ditonjolkan dalam menantang konsep Islam nusantara. Bahkan ada pula yang tampaknya dengan sengaja menulis Islam Nusantara sebagai agama baru. Mereka yang ikut Islam Nusantara dianggap sudah batal keislamannya sehingga harus syahadat ulang. Jelas bagi orang seperti itu, telah merendahkan dirinya sendiri di depan publik sebagai pembuat fitnah dan berita bohong belaka. Mereka yang membagikannya di media sosial tanpa alasan jelas juga menunjukkan literasi digitalnya rendah karena membantu menyebarkan informasi hoaks di dunia maya.[3] Tentunya realitas ini perlu adanya diskusi ilmiah dan titik temu apa dan mengapa harus ada istilah Islam nusantara itu.
Disisilain, dinamika Islam di Timur Tengah menjadi bahan evaluasi sekaligus tantangan masa depan Islam di Asia agar tetap damai dan tetap bersatu dengan eksistensi praksisnya nilai pancasila.

B.                 Tela’ah Historis

Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12 atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat setempat.[4]
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kuburtahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia.[5] Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi[6] modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan puritan.


C.                Makna Islam Nusantara

Upaya pemaknaan memberikan kontribusi yang besar bagi upaya memahami hakekat Islam Nusantara. Sebagai hakekat, sulit dipahami tanpa mengetahui ciri atau karakteristiknya. Selanjutnya makna tersebut memberikan pemahaman awal pada seseorang yang berusaha memahami substansinya. Dengan kata lain, makna Islam Nusantara berfungsi membuka jalan awal bagi pemahaman seseorang dalam menggali dan mengkaji pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang mencerminkan dan dipengaruhi oleh kawasan ini.[7]
Ada beberapa definisi tentang Islam Nusantara yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Islam, antara lain: “Islam Nusantara ialah paham dan praktek keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat.”[8] Pemaknaan senada, “Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air”.[9] Definisi pertama ini menunjukkan bahwa secara substantif, Islam Nusantara merupakan paham Islam dan implementasinya yang berlangsung di kawasan Nusantara sebagai akibat sintesis antara wahyu dan budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan lokal (local wisdom). Sedangkan definisi kedua merupakan Islam yang berkarakter Indonesia, tetapi juga sebagai hasil dari sintesis antara nilai-nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal. Hanya saja, wilayah geraknya dibatasi pada wilayah Indonesia, sehingga lebih sempit daripada wilayah gerak dalam pengertian yang pertama yang menyebut bumi Nusantara. Sayangnya, dalam sumber-sumber tersebut bumi Nusantara tidak dijelaskan wilayah jangkauannya.
Islam Nusantara atau model Islam Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia. Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi Islam Nahdlatul Ulamapada 2015, sebagai bentuk penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.[10] Menurut Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, Islam Nusantara merupakan Islam yang menghargai budaya, Islam yang dibangun di atas infrastruktur budaya, bukan madzhab atau bukan aliran, melainkan tipologi Islam yang manyatu dengan budaya, dan puncaknya Islam Nusantara adalah hubbul wathan minal iman (menyatunya agama dengan politik kebangsaan atau nasionalisme).[11] 
Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fikihnya. Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan nilai budaya Indonesia.[12] Hal ini juga didukung oleh pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, Mahfud MD menegaskan bahwa “Islam Nusantara artinya mengidonesiakan Islam, adalah membawa Islam ke dalam realitas-realitas yang ada di Indonesia, bukan memaksa orang lain atau suatu bangsa untuk masuk Islam”.[13]
Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Bisa jadi butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (seperti pesantren) serta sistem Kesultanan (KH. Said Aqil Siraj: 2015). Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara.
Ahmad Baso juga menegaskan bahwa Islam nusantara tidak hanya terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu, Islam Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia.[14]  Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.

D.                Tujuan dan Esensi Islam Nusantara

Beberapa tahun terakhir, Islam Nusantara menjadi lebih populer karena dijadikan tema utama Muktamar Nahdatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang Jawa Timur yang berlangsung pada 1-5 Agustus 2015. Sementara NU mewakili umat Islam mainstream Indonesia, Islam Nusantara makin terpublikasikan dalam masyarakat Muslim Indonesia yang lebih luas, menembus masyarakat perkotaan hingga pedesaan. Penentuan tema utama Islam Nusantara dalam muktamar tersebut sebagai respons terhadap citra Islam di pentas internasional yang semakin merosot bahkan cenderung dinilai negatif, lantaran kasus-kasus kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan Islam, baik pembunuhan, penyanderaan, pemboman dan sebagainya.
Identitas pelaku tindakan radikal dan pengatasnamaan Islam tersebut melahirkan anggapan yang salah bahwa Islam itu mengajarkan kekerasan, pertumpahan darah, tindakan keji, perlakuan kejam dan sadis, perbuatan barbar, dan tindakan-tindakan dehumanisasi lainnya. Padahal Islam lebih banyak mengajarkan kedamaian, kerukunan, keharmonisan, toleransi, dan keterbukaan. Sayangnya ajaran-ajaran yang indah dan sejuk ini kurang ditonjolkan, sehingga kurang dikenal oleh dunia internasional. Demikian pula, mayoritas umat Islam justru lebih mengutamakan kedamaian daripada kekerasan. Uniknya, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh segelintir umat Islam inilah yang mengundang perhatian negatif-pejoratif dari masyarakat internasional, kemudian dijustifikasi sebagai karakteristik Islam.

Islam Nusantara yang dimaksudkan di sini adalah merupakan model pemikiran, pemahaman, dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang dikemas melalui budaya maupun tradisi yang berkembang di wilayah Asia Tenggara. Adapun dari segi komponen keislamannya, “Ortodoksi Islam Nusantara adalah kalam (teologi) Asy’ariah, fiqh Syafi’i, dan tasawuf al Ghazali” (Azra dalam Sahal & Aziz, 2015: 172). Disamping tiga komponen ini, dapat ditambah tiga komponen lagi untuk memperkokoh konsep Islam Nusantara, yaitu komponen politik, pendidikan, dan budaya. Maka objek kajian Islam Nusantara itu setidaknya harus meliputi enam komponen, yaitu kalam (teologi), fiqh, tasawuf, politik, pendidikan, dan budaya (tradisi). 

        Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fikih disebut tahqiq al-manath yang dalam praktiknya bisa berbentuk mashlahah mursalahistihsan dan `urf[15] Untuk itu, penting bahwa dipahami secara kontekstula dan realitis akar paradigma berpikir dan esensi tujuan Islam Nusantara tersebut agar mampu memberikan nilai yang lebih maslahah dengan tetap mengawinkan budaya dengan agama berbasis nasionalisme “Pancasila dan UUD 1945”.

E.                 Karakteristik Islam Nusantara

Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif dan toleran. Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan budaya lokal. Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.[16] Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni menekankan penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan paham yang salah atau radikal.[17]
Dalam pandangan Islam Nusantara, Indonesia adalah darussalam dan Pancasila merupakan intisari dari ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah. Karenanya, mempertahnakan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia utk menjalankan syariat Islam. Pancasila merupakan pengejawantahan dari Islam Nusantara, karena itu nilai-nilai Pancasila harus terus ditegakkan, apalagi saat ini tengah terjadi liberalisasi sistem politik dan ekonomi serta budaya, sehingga keberadaan Pancasila menjadi samar-samar.Perlu ditegaskan disini bahwa Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam. Tentu saja, Islam Nusantara tidak seekstrim apa yang terjadi di Turki era Mustafa Kemal Attaturk yang pernah mengumandakan adzan dengan bahasa Turki. Ada pokok-pokok ajaran Islam yang tidak bisa dibudayakan ataupun dilokalkan. Dalam hal ini, penggunaan tulisan Arab Pegon oleh ulama-ulama terdahulu adalah salah satu strategi jitu bagaimana budaya lokal bedialektika dengan budaya Arab dan telah menyatu (manunggal). Pesan rahmatan lil alamin menjiwai karakteristik Islam Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat, toleran, cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat bukan menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan.
Islam Nusantara ini memiliki karakteristik-karakteristik yang khas sehingga membedakan dengan karakteristik-karakteristik Islam kawasan lainnya, khususnya Islam Timur Tengah yang banyak mempengaruhi Islam di berbagai belahan bumi ini. Wilayah Nusantara memiliki sejumlah keunikan yang berbeda dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai keunikan geografis, sosial politik dan tradisi peradaban. 

Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. Dengan demikian, corak Islam Nusantara tidaklah homogen karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki cirikhasnya masing-masing tetapi memiliki nafas yang sama. Kesamaan nafas merupakan saripati dan hikmah dari perjalanan panjang Islam berabad-abad di Nusantara yang telah menghasilkan suatu karakteristik Islam Nusantara yang lebih mengedepankan aspek esotoris hakikah ketimbang eksoteris syariat.
Islam moderat itu memiliki misi untuk msenjaga keseimbangan antara dua macam ekstrimitas, khususnya antara pemikiran, pemahaman dan gerakan Islam fundamental dengan liberal, sebagai dua kutub ekstrimitas yang sulit dipadukan. Maka Islam moderat memelihara dan mengembangkan kedamaian holistik, yakni kedamaian sesama umat Islam maupun dengan umat-umat lainnya, sehingga Islam moderat membebaskan masyarakat dari ketakutan. Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan ketergesa-gesaan.

F.                 Relevansi Islam Nusantara di Era Kontemporer

Fenomena tentang maraknya tantangan aplikasi Islam Nusnatara, tentunya menjadi bagian tugas besar bagi gerakan mahasiswa yang strategis atas dasar nilai-nilai dan identitasnya, yakni PMII di Sumatera Selatan atas garapan penguatan praksis nilai-nilai aswaja dengan lebih sederhana yang bisa diterima oleh kalangan mahasiswa di bawah pendidikan tinggi (Dikti) yang kurang lebih berjumlah 240 kampus.[18] Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 57. 738 pertahun 2014/2015.[19] Kuantitas yang layak diperhitungkan secara politis maupun ideologis, khususnya pada penguatan dan pendampingan yang tersistem dan terstruktur atas nilai dan budaya gerakan yang ramah dan toleran atas distingsi pola di masing-masing Universitas. Tentunya hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh ketua umum PB PMII Agus Herlambang dalam menyampaikan fokus programnya dalam konteks Nasional. Agus menyatakan bahwa Orientasi kita adalah menyebarkan Islam Ahlussunah wal-Jama’ah di kampus. Kita sudah diskusi dengan Kiai Said terkait bagaimana kita bisa merebut ruang di generasi milenial, perkotaan khususnya mahasiswa. Jadi, seperti konten Islam Nusantara itu kita coba perkenalkan di generasi milenial. Itu yang pertama dan paling utama”.[20] 
         Salah satu upaya yang dilakukan oleh PB PMII adalah dengan lebih menyederhanakan kurikulum materi Aswaja di kampus, dengan mencoba mengadaptasi bagaimana Aswaja itu bisa diterima di generasi milenial dengan penyebaran melalui media-media modern misalkan dengan YouTube dan di media sosial. Jadi instrumen itu yang pakai untuk masuk ke generasi milenial sehingga dipahami secara holistic dan proporsional. Aswaja benar-benar mampu hadir sebagai nilai yang sinergis berbasis kebangsaan, yakni pancasila. hal ini tentunya kemudian menjadi berharga dan bermartabat dalam kemajuan sauatu Negara, tentunya juga gerakan PMII yang cultural progresif. Disisilain mahasiswa mengemban tugas advokasi di tengah masyarakat, di antara perwujudannya melalui mahasiswa pergerakan yang tahu kapasitasnya,  kaya gagasan, kreatif, dan peka  terhadap realita sosial  di masyarakat. Artinya, mahasiswa mesti tanggap terhadap perubahan dan tantangan di sekitarnya baik di masyarakat maupun di tengah kampus.[21] Mari berbenah mulai dari hal kecil untuk, lebih terkhusus dalam cara pandang tentang moderasi Islam Nusantara. Sekali lagi, Islam nusantara lebih menegdepankan Islam yang ramah, dan bukan marah, islam yang lebih menghargai dari pada mencaci. Untuk itu lebih penting agar setiap warga pergerakan untu tetap memebrikan warna gerakan dengan tetap berpegang teguh atas dasar ahlussunnah waljamaah dengan tetap mengutamakan praksis nilai Islam yang lebih toleran dan memaafkan.









[1] Mengutip dari Fazlurrahman (alm) misalnya pada pertengahan dekade 1980, setelah ia berkunjung ke Indonesia untuk menhadiri suatu seminar, menyatakan optimismenya terhadap perkembangan Islam di kawasan ini, dan memprediksi “kebangkitan islam” terjadi bukan di kawasan lain, tetapi di Asia Tenggara. Lihat Azumardi Azra, “Reneisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan”. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2006: xv. 
[3] Jika alasannya karena Islam sudah sempurna, dan tidak perlu embel-embel lagi, mengapa tak ada keberatan dengan penggunaan istilah Islam Kaffah (berarti ada Islam yang tidak kaffah), Islam Berkemajuan (berarti ada Islam yang tidak berkemajuan), Islam Wasathiyah atau Islam Moderat (berarti ada Islam yang tidak Moderat), dan sederetan istilah lainnya seperti Islam Transformatif, Islam Hadhari, atau Islam Progresif yang coba dikembangkan oleh organisasi masyarakat Islam atau intelektual Muslim? Islam Nusantara malah mereduksi makna Islam itu sendiri”.  Demikan di antara ungkapan ketidak setujuan atas penggunaan istilah Islam Nusantara yang banyak beredar di media sosial. Alasan ini pula yang menjadi salah satu pertimbangan MUI Sumbar yang baru-baru ini menyatakan tidak perlunya Islam Nusantara berada di wilayah Sumatera Barat. https://www.nu.or.id/post/read/93570/salah-kaprah-memahami-islam-nusantara. Diakses pada 03 Agustus 2019.
[4] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara. Diakses pada 02 Agustus 2019
[5] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara. Diakses pada 02 Agustus 2019
[6] Seperti apa yang disampaikan oleh Azumardi Azra, adanya 95 pesantren salafi (dari total 111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada 13 provinsi, jelas belum menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa dipastikan, ada pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain. Karena itu, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi secara komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri yang memegangi salafisme tidak diragukan lagi. Ini terlihat, misalnya, dari kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan belajar yang hampir sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang menjadi pegangan di pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan dan sumber ajar di pesantren salafi. Sekali lagi, literatur yang digunakan umumnya di pesantren salafi adalah karya ulama yang dikenal sebagai ulama salafi atau wahabihttps://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/18/02/21/p4if4a440-pesantren-salafi-4. DIakses pada 01 Agustus 2019.
[7] Qomar, Mujamil. Jurnal el Harakah IAIN Tulung Agung Vol.17 No.2 Tahun 2015. Diakses pada 02 Agustus 2019.
[8] Lihat Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67. Qomar, Mujamil. Jurnal el Harakah IAIN Tulung Agung Vol.17 No.2 Tahun 2015. Diakses pada 02 Agustus 2019.
[9] Lihat juga Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239. Qomar, Mujamil. Jurnal el Harakah IAIN Tulung Agung Vol.17 No.2 Tahun 2015. Diakses pada 02 Agustus 2019.
[10] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara. Diakses pada 02 Agustus 2019.
[11] Ceramah Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj di LD PBNU dalam acara Istighotsash untuk Indonesia aman dan damai bersama Gus Miftah dan Dedy Cobuser. Diakses pada 03 Agustsu 2019
[12] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara. Diakses pada 02 Agustus 2019
[13] "Kalau meminjam istilah Gus Dur adalah 'membumikan' Islam," ujar Mahfud pada Halaqah Kebangsaan Pengasuh Pondok Pesantren, Selasa (24/7) di Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Lihat https://www.nu.or.id/post/read/93374/penjelasan-mahfud-md-soal-islam-nusantara. Diakses pada 03 Agustus 2019.
[16] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara. Diakses pada 02 Agustus 2019
[17] Salah satu aspek khas adalah penekanan pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun hubungan antaragama dengan pemeluk agama lainLihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara. Diakses pada 02 Agustus 2019

[20]Merupakan percakapan Ketua Umum Agus Herlamabng dengan NU Online atas hasil diskusinya dengan Prof. K..H. Said Aqil Siradj, MA. Lihat https://www.nu.or.id/post/read/86293/pmii-dan-empat-fokus-pergerakannya. Diakses pada 01 Agustus 2019.
[21]http://www.nu.or.id/post/read/51986/pmii-unwahasy-integrasikan-mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.18 Wib. 



1 komentar:

Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...