Konsep
Dasar Islam Nusantara
(Refleksi Akar Paradigma Kekinian
dan Kedisinian Era Milenial)
Oleh:
Dr. Darul
Abror, M.Pd.
Mabinda PKC PMII Sumsel
A.
Pendahuluan
Barangkali
banyak yang lupa dan bahkan memungkinkan belum memahami secara komprehensif
tentang peta dan eksistensi Islam di wilayah nusantara, termasuk salah satunya
eksistensi Islam di Indonesia kedepan. Azumardi Azra dalam pengantarnya tentang
kebangkitan Islam di Asia Tenggara menegaskan bahwa “Sejak beberapa tahun terakhir, sejulah pengamat dunia Islam
atau Islamicis di luar negeri memberikan analisis dan komentar yang positif
tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan malasyia,
yang juga memberikan apresiasi dan pandangan positif senada juga dikemukakan
pengamat asing, seperti John Esposito atau Bruce Lawrence yang beberapa kali
berkunjung ke Indonesia dan Malaysia dan menyaksikan langsung dinamika Islam di
wilayah ini.[1]
Akan tetapi tidak sedikit masyarakat “kaget” dan atau menganggap “berlebihan” dengan
realitas eksistensi Islam di masa depan tersebut, sehingga Islam nusantara
difahami secara nonproporsional sebagai Islam yang keliru.
Salah satu
realitasnya adalah, istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak
perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian
menolak. Alasan penolakan memungkinkan adalah karena istilah itu tidak sejalan
dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama)
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.[2]
Selain itu, kalimat “Islam itu sudah sempurna,
tidak perlu embel-embel lagi, menjadi bagian isu yang sering ditonjolkan dalam
menantang konsep Islam nusantara. Bahkan ada pula yang tampaknya dengan sengaja
menulis Islam Nusantara sebagai agama baru. Mereka yang ikut Islam Nusantara
dianggap sudah batal keislamannya sehingga harus syahadat ulang. Jelas bagi
orang seperti itu, telah merendahkan dirinya sendiri di depan publik sebagai
pembuat fitnah dan berita bohong belaka. Mereka yang membagikannya di media
sosial tanpa alasan jelas juga menunjukkan literasi digitalnya rendah karena
membantu menyebarkan informasi hoaks di dunia maya.[3]
Tentunya realitas ini perlu adanya diskusi ilmiah dan titik temu apa dan
mengapa harus ada istilah Islam nusantara itu.
Disisilain, dinamika Islam
di Timur Tengah menjadi bahan evaluasi sekaligus tantangan masa depan Islam di
Asia agar tetap damai dan tetap bersatu dengan eksistensi praksisnya nilai
pancasila.
B.
Tela’ah Historis
Penyebaran Islam di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan
berlangsung secara damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara
langsung dari jazirah Arab sebelum abad ke-9 M, sementara pihak lain
menyebutkan peranan kaum pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12
atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan
Buddha sebagai agama mayoritas di Nusantara. Islam tradisional yang pertama
kali berkembang di Indonesia adalah cabang dari Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang diajarkan oleh
kaum ulama, para kiai di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di
Jawa. Beberapa aspek dari Islam tradisional telah memasukkan berbagai budaya
dan adat istiadat setempat.[4]
Praktik Islam awal di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi
oleh ajaran Sufisme dan aliran spiritual
Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati otoritas
kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut ambil bagian dalam tradisi Islam seperti ziarah kubur, tahlilan, dan memperingati maulid nabi, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim tradisional Indonesia.[5]
Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Salafi[6] modernis yang disusul datangnya ajaran Wahhabi dari Arab, golongan Islam puritan skripturalis ini
menolak semua bentuk tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bidah, direndahkan sebagai bentuk sinkretisme yang merusak
kesucian Islam. Kondisi ini telah menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan
yang kurang mengenakkan, dan persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang
tradisional dan Muhammadiyah yang modernis dan
puritan.
C.
Makna Islam
Nusantara
Upaya pemaknaan memberikan kontribusi yang
besar bagi upaya memahami hakekat Islam
Nusantara. Sebagai hakekat, sulit dipahami tanpa mengetahui ciri atau karakteristiknya. Selanjutnya makna tersebut
memberikan pemahaman awal pada seseorang
yang berusaha memahami substansinya. Dengan
kata lain, makna Islam Nusantara berfungsi membuka jalan awal bagi pemahaman
seseorang dalam menggali dan mengkaji pemikiran, pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang
mencerminkan dan dipengaruhi oleh kawasan ini.[7]
Ada beberapa definisi tentang Islam Nusantara
yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir Islam,
antara lain: “Islam Nusantara ialah paham dan praktek
keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat
dengan realitas dan budaya setempat.”[8] Pemaknaan senada, “Islam Nusantara adalah Islam
yang khas ala Indonesia, gabungan
nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat
istiadat di tanah air”.[9] Definisi pertama ini menunjukkan bahwa secara
substantif, Islam Nusantara merupakan paham Islam dan implementasinya yang
berlangsung di kawasan Nusantara sebagai akibat sintesis antara wahyu dan
budaya lokal, sehingga memiliki kandungan nuansa kearifan lokal (local
wisdom). Sedangkan definisi kedua merupakan Islam yang berkarakter
Indonesia, tetapi juga sebagai hasil dari
sintesis antara nilai-nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal. Hanya saja, wilayah geraknya dibatasi pada
wilayah Indonesia, sehingga lebih sempit
daripada wilayah gerak dalam pengertian yang pertama yang menyebut bumi Nusantara. Sayangnya, dalam sumber-sumber
tersebut bumi Nusantara tidak dijelaskan wilayah jangkauannya.
Islam Nusantara atau model Islam
Indonesia adalah suatu wujud empiris Islam yang
dikembangkan di Nusantara setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil
interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan vernakularisasi
terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan
realitas sosio-kultural Indonesia.
Istilah ini secara perdana resmi diperkenalkan dan digalakkan oleh organisasi
Islam Nahdlatul Ulamapada 2015, sebagai bentuk
penafsiran alternatif masyarakat Islam global yang selama ini selalu didominasi
perspektif Arab dan Timur Tengah.[10] Menurut Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj,
Islam Nusantara merupakan Islam yang menghargai budaya, Islam yang dibangun di
atas infrastruktur budaya, bukan madzhab atau bukan aliran, melainkan tipologi
Islam yang manyatu dengan budaya, dan puncaknya Islam Nusantara adalah hubbul
wathan minal iman (menyatunya agama dengan politik kebangsaan atau
nasionalisme).[11]
Islam Nusantara didefinisikan sebagai penafsiran Islam yang
mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam
merumuskan fikihnya. Pada Juni 2015, Presiden Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam
Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan
nilai budaya Indonesia.[12]
Hal ini juga didukung oleh pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013,
Mahfud MD menegaskan bahwa “Islam Nusantara artinya mengidonesiakan Islam,
adalah membawa Islam ke dalam realitas-realitas yang ada di Indonesia, bukan
memaksa orang lain atau suatu bangsa untuk masuk Islam”.[13]
Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala
Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal,
budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan
adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun
justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak
tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau
menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan
mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap).
Bisa jadi butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam
dengan adat dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga
pendidikan (seperti pesantren) serta sistem Kesultanan (KH. Said
Aqil Siraj: 2015). Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara,
yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya Nusantara.
Ahmad Baso juga menegaskan bahwa Islam nusantara tidak
hanya terbatas pada sejarah atau lokalitas Islam di tanah Jawa. Lebih dari itu,
Islam Nusantara sebagai manhaj atau model beragama yang harus
senantiasa diperjuangkan untuk masa depan peradaban Indonesia dan dunia.[14] Islam Nusantara adalah Islam yang ramah,
terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar
bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur,
sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang
Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat
akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.
D.
Tujuan dan Esensi Islam Nusantara
Beberapa tahun terakhir, Islam Nusantara menjadi lebih
populer karena dijadikan tema utama Muktamar Nahdatul Ulama (NU) ke-33
di Jombang Jawa Timur yang berlangsung pada 1-5 Agustus 2015. Sementara NU mewakili umat Islam mainstream Indonesia, Islam
Nusantara makin terpublikasikan dalam
masyarakat Muslim Indonesia yang lebih luas, menembus masyarakat perkotaan
hingga pedesaan. Penentuan tema utama Islam Nusantara dalam muktamar tersebut sebagai respons terhadap citra
Islam di pentas internasional yang
semakin merosot bahkan cenderung dinilai negatif, lantaran kasus-kasus kekerasan yang dilakukan dengan mengatasnamakan
Islam, baik pembunuhan, penyanderaan,
pemboman dan sebagainya.
Identitas pelaku tindakan radikal dan
pengatasnamaan Islam tersebut melahirkan
anggapan yang salah bahwa Islam itu mengajarkan kekerasan, pertumpahan darah,
tindakan keji, perlakuan kejam dan sadis, perbuatan barbar, dan tindakan-tindakan dehumanisasi
lainnya. Padahal Islam lebih banyak
mengajarkan kedamaian, kerukunan, keharmonisan, toleransi, dan keterbukaan. Sayangnya ajaran-ajaran yang
indah dan sejuk ini kurang ditonjolkan,
sehingga kurang dikenal oleh dunia internasional. Demikian pula, mayoritas umat Islam justru lebih
mengutamakan kedamaian daripada kekerasan. Uniknya, tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh segelintir umat Islam
inilah yang mengundang perhatian negatif-pejoratif dari masyarakat internasional,
kemudian dijustifikasi sebagai karakteristik Islam.
Islam Nusantara yang dimaksudkan di sini adalah merupakan model
pemikiran, pemahaman, dan pengamalan ajaran-ajaran Islam yang dikemas melalui
budaya maupun tradisi yang berkembang di wilayah Asia Tenggara. Adapun dari segi komponen keislamannya,
“Ortodoksi Islam Nusantara adalah kalam (teologi) Asy’ariah, fiqh Syafi’i, dan
tasawuf al Ghazali” (Azra dalam Sahal
& Aziz, 2015: 172). Disamping tiga komponen ini, dapat ditambah tiga komponen lagi untuk memperkokoh konsep Islam
Nusantara, yaitu komponen politik, pendidikan,
dan budaya. Maka objek kajian Islam Nusantara itu setidaknya harus meliputi enam komponen, yaitu kalam
(teologi), fiqh, tasawuf, politik, pendidikan, dan budaya (tradisi).
Ide
Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin
mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang
beragam. Upaya itu dalam ushul fikih disebut tahqiq al-manath yang
dalam praktiknya bisa berbentuk mashlahah mursalah, istihsan dan `urf. [15] Untuk itu, penting bahwa dipahami secara kontekstula dan realitis akar
paradigma berpikir dan esensi tujuan Islam Nusantara tersebut agar mampu
memberikan nilai yang lebih maslahah dengan tetap mengawinkan budaya dengan
agama berbasis nasionalisme “Pancasila dan UUD 1945”.
E.
Karakteristik Islam
Nusantara
Ciri utama dari Islam Nusantara adalah tawasut (moderat), rahmah (pengasih),
anti-radikal, inklusif dan toleran. Dalam hubungannya dengan budaya
lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam
menjalankan syiar Islam; ia tidak menghancurkan, merusak, atau membasmi budaya
asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan
budaya lokal. Salah satu ciri utama dari Islam Nusantara adalah
mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.[16]
Islam Nusantara dikembangkan secara lokal melalui institusi pendidikan
tradisional pesantren. Pendidikan ini dibangun
berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni menekankan
penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan
bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan
paham yang salah atau radikal.[17]
Dalam pandangan Islam Nusantara, Indonesia
adalah darussalam dan Pancasila merupakan intisari dari ajaran
Islam ahlussunnah wal jamaah. Karenanya, mempertahnakan NKRI dan
mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia utk
menjalankan syariat Islam. Pancasila merupakan pengejawantahan dari Islam
Nusantara, karena itu nilai-nilai Pancasila harus terus ditegakkan, apalagi
saat ini tengah terjadi liberalisasi sistem politik dan ekonomi serta budaya,
sehingga keberadaan Pancasila menjadi samar-samar.Perlu ditegaskan disini bahwa
Islam Nusantara tidaklah anti budaya Arab, akan tetapi untuk melindungi Islam
dari Arabisasi dengan memahaminya secara kontekstual. Islam Nusantara tetaplah
berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad. Arabisasi bukanlah esensi ajaran Islam. Karenanya, kehadiran
karakteristik Islam Nusantara bukanlah respon dari upaya Arabisasi atau
percampuran budaya arab dengan ajaran Islam, akan tetapi menegaskan pentingnya
sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya lokal sepanjang tidak
melanggar esensi ajaran Islam. Tentu saja, Islam Nusantara tidak seekstrim apa
yang terjadi di Turki era Mustafa Kemal Attaturk yang pernah mengumandakan
adzan dengan bahasa Turki. Ada pokok-pokok ajaran Islam yang tidak bisa
dibudayakan ataupun dilokalkan. Dalam hal ini, penggunaan tulisan Arab
Pegon oleh ulama-ulama terdahulu adalah salah satu strategi jitu
bagaimana budaya lokal bedialektika dengan budaya Arab dan telah menyatu (manunggal).
Pesan rahmatan lil alamin menjiwai karakteristik Islam
Nusantara, sebuah wajah Islam yang moderat, toleran, cinta damai dan menghargai
keberagaman. Islam yang merangkul bukan memukul, Islam yang membina bukan
menghina, Islam yang memakai hati bukan memaki-maki, Islam yang mengajak taubat
bukan menghujat, dan Islam yang memberi pemahaman bukan memaksakan.
Islam Nusantara ini memiliki karakteristik-karakteristik
yang khas sehingga membedakan dengan karakteristik-karakteristik Islam kawasan lainnya, khususnya Islam
Timur Tengah yang banyak mempengaruhi Islam di berbagai belahan bumi ini. Wilayah Nusantara
memiliki sejumlah keunikan yang berbeda
dengan keunikan di negeri-negeri lain, mulai keunikan geografis, sosial politik dan tradisi peradaban.
Dalam konteks ini, budaya suatu daerah atau
negara tertentu menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam menyerap
dan menjalankan ajaran Islam. Suatu tradisi Islam Nusantara menunjukkan suatu
tradisi Islam dari berbagai daerah di Indonesia yang melambangkan kebudayaan
Islam dari daerah tersebut. Dengan demikian, corak Islam Nusantara tidaklah
homogen karena satu daerah dengan daerah lainnya memiliki cirikhasnya
masing-masing tetapi memiliki nafas yang sama. Kesamaan nafas merupakan
saripati dan hikmah dari perjalanan panjang Islam berabad-abad di Nusantara
yang telah menghasilkan suatu karakteristik Islam Nusantara yang lebih
mengedepankan aspek esotoris hakikah ketimbang eksoteris syariat.
Islam
moderat itu memiliki misi untuk msenjaga keseimbangan antara dua macam ekstrimitas, khususnya antara
pemikiran, pemahaman dan gerakan Islam fundamental dengan liberal, sebagai dua kutub ekstrimitas yang
sulit dipadukan. Maka Islam moderat memelihara dan
mengembangkan kedamaian holistik,
yakni kedamaian sesama umat Islam maupun dengan umat-umat lainnya, sehingga Islam moderat membebaskan
masyarakat dari ketakutan. Islam moderat menawarkan wacana pembebasan yang
mencerahkan, sebab tidak
berpijak pada pendekatan kekerasan dan ketergesa-gesaan.
F.
Relevansi Islam
Nusantara di Era Kontemporer
Fenomena tentang
maraknya tantangan aplikasi Islam Nusnatara, tentunya menjadi bagian tugas besar bagi gerakan mahasiswa yang
strategis atas dasar nilai-nilai dan identitasnya, yakni PMII di Sumatera
Selatan atas garapan penguatan praksis nilai-nilai aswaja dengan lebih
sederhana yang bisa diterima oleh kalangan mahasiswa di bawah pendidikan tinggi
(Dikti) yang kurang lebih berjumlah 240 kampus.[18]
Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 57. 738 pertahun 2014/2015.[19]
Kuantitas yang layak diperhitungkan secara politis maupun ideologis, khususnya
pada penguatan dan pendampingan yang tersistem dan terstruktur atas nilai dan
budaya gerakan yang ramah dan toleran atas distingsi pola di masing-masing
Universitas. Tentunya hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh ketua
umum PB PMII Agus Herlambang dalam menyampaikan fokus programnya dalam
konteks Nasional. Agus menyatakan
bahwa “Orientasi
kita adalah menyebarkan Islam Ahlussunah wal-Jama’ah di kampus. Kita sudah
diskusi dengan Kiai Said terkait bagaimana kita bisa merebut ruang di generasi
milenial, perkotaan khususnya mahasiswa. Jadi, seperti konten Islam Nusantara
itu kita coba perkenalkan di generasi milenial. Itu yang pertama dan paling
utama”.[20]
Salah satu upaya yang dilakukan oleh PB PMII
adalah dengan lebih menyederhanakan
kurikulum materi Aswaja di kampus, dengan mencoba mengadaptasi bagaimana Aswaja
itu bisa diterima di generasi milenial dengan penyebaran melalui media-media
modern misalkan dengan YouTube dan di media sosial. Jadi instrumen itu yang
pakai untuk masuk ke generasi milenial sehingga dipahami secara holistic dan
proporsional. Aswaja benar-benar mampu hadir sebagai nilai yang sinergis
berbasis kebangsaan, yakni pancasila. hal ini tentunya kemudian menjadi
berharga dan bermartabat dalam kemajuan sauatu Negara, tentunya juga gerakan
PMII yang cultural progresif. Disisilain mahasiswa mengemban tugas advokasi di
tengah masyarakat, di antara
perwujudannya melalui mahasiswa pergerakan yang tahu kapasitasnya, kaya
gagasan, kreatif, dan peka terhadap realita sosial di masyarakat. Artinya, mahasiswa mesti tanggap
terhadap perubahan dan tantangan di sekitarnya baik di masyarakat maupun di
tengah kampus.[21] Mari berbenah mulai dari hal kecil untuk,
lebih terkhusus dalam cara pandang tentang moderasi Islam Nusantara. Sekali
lagi, Islam nusantara lebih menegdepankan Islam yang ramah, dan bukan marah,
islam yang lebih menghargai dari pada mencaci. Untuk itu lebih penting agar
setiap warga pergerakan untu tetap memebrikan warna gerakan dengan tetap
berpegang teguh atas dasar ahlussunnah waljamaah dengan tetap
mengutamakan praksis nilai Islam yang lebih toleran dan memaafkan.
[1] Mengutip dari
Fazlurrahman (alm) misalnya pada pertengahan dekade 1980, setelah ia berkunjung
ke Indonesia untuk menhadiri suatu seminar, menyatakan optimismenya terhadap
perkembangan Islam di kawasan ini, dan memprediksi “kebangkitan islam” terjadi
bukan di kawasan lain, tetapi di Asia Tenggara. Lihat Azumardi Azra, “Reneisans
Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan”. Remaja Rosda Karya,
Bandung, 2006: xv.
[2] https://www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara.
Diakses pada 02 Agustsu 2019
[3]
Jika alasannya karena Islam sudah sempurna, dan tidak perlu embel-embel lagi,
mengapa tak ada keberatan dengan penggunaan istilah Islam Kaffah (berarti ada
Islam yang tidak kaffah), Islam Berkemajuan (berarti ada Islam yang tidak
berkemajuan), Islam Wasathiyah atau Islam Moderat (berarti ada Islam yang tidak
Moderat), dan sederetan istilah lainnya seperti Islam Transformatif, Islam
Hadhari, atau Islam Progresif yang coba dikembangkan oleh organisasi masyarakat
Islam atau intelektual Muslim? Islam Nusantara malah mereduksi makna Islam
itu sendiri”. Demikan di antara ungkapan ketidak setujuan atas penggunaan
istilah Islam Nusantara yang banyak beredar di media sosial. Alasan ini pula
yang menjadi salah satu pertimbangan MUI Sumbar yang baru-baru ini menyatakan
tidak perlunya Islam Nusantara berada di wilayah Sumatera Barat. https://www.nu.or.id/post/read/93570/salah-kaprah-memahami-islam-nusantara.
Diakses pada 03 Agustus 2019.
[6] Seperti apa yang disampaikan oleh Azumardi Azra, adanya 95
pesantren salafi (dari total 111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada
13 provinsi, jelas belum menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa
dipastikan, ada pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain. Karena
itu, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi
secara komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri
yang memegangi salafisme tidak diragukan lagi. Ini terlihat, misalnya, dari
kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan belajar yang hampir
sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang menjadi pegangan di
pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan dan sumber ajar di
pesantren salafi. Sekali lagi, literatur yang digunakan umumnya di pesantren
salafi adalah karya ulama yang dikenal sebagai ulama salafi atau wahabihttps://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/18/02/21/p4if4a440-pesantren-salafi-4.
DIakses pada 01 Agustus 2019.
[7] Qomar, Mujamil.
Jurnal el Harakah IAIN Tulung
Agung Vol.17 No.2 Tahun 2015. Diakses pada 02 Agustus 2019.
[8] Lihat Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67. Qomar, Mujamil. Jurnal el Harakah IAIN Tulung Agung Vol.17 No.2 Tahun 2015.
Diakses pada 02 Agustus 2019.
[9] Lihat juga Bizawie dalam Sahal & Aziz, 2015: 239.
Qomar, Mujamil. Jurnal el
Harakah IAIN Tulung Agung Vol.17 No.2 Tahun 2015. Diakses pada 02 Agustus 2019.
[11]
Ceramah Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj di LD PBNU dalam acara Istighotsash
untuk Indonesia aman dan damai bersama Gus Miftah dan Dedy Cobuser. Diakses pada 03 Agustsu 2019
[13] "Kalau meminjam istilah Gus Dur adalah 'membumikan'
Islam," ujar Mahfud pada Halaqah Kebangsaan Pengasuh Pondok Pesantren,
Selasa (24/7) di Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak, Jawa Tengah.
Lihat https://www.nu.or.id/post/read/93374/penjelasan-mahfud-md-soal-islam-nusantara.
Diakses pada 03 Agustus 2019.
[14] https://www.nu.or.id/post/read/60510/landasan-operasional-islam-nusantara.
Diakses pada 03 Agustus 2019.
[15] Lihat https://www.nu.or.id/post/read/60834/metodologi-islam-nusantara.
Diakses pada 13 Agustus 2019
[17] Salah satu aspek khas adalah penekanan
pada prinsip Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi semesta alam)
sebagai nilai universal Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling
hormat-menghormati, serta pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan
sesama umat Islam, ataupun hubungan antaragama dengan pemeluk agama lainLihat https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_Nusantara.
Diakses pada 02 Agustus 2019
[20]Merupakan
percakapan Ketua Umum Agus Herlamabng dengan NU Online atas hasil diskusinya
dengan Prof. K..H. Said Aqil Siradj, MA. Lihat https://www.nu.or.id/post/read/86293/pmii-dan-empat-fokus-pergerakannya. Diakses pada 01 Agustus 2019.
[21]http://www.nu.or.id/post/read/51986/pmii-unwahasy-integrasikan-mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial, di akses pada 20
Oktober 2016, pukul 22.18 Wib.
Jazakallah khairan Ustadz, sangat bermanfaat
BalasHapus