Halaman

Sabtu, 07 September 2019

Strategi Gerakan Islam Indonesia (Menakar Identitas, Ideologi dan Peluang di Sumsel)





Strategi Gerakan Islam Indonesia  
(Menakar Identitas, Ideologi dan Peluang di Sumsel )   

(Pelatihan Kader Lanjut (PKL) PKC PMII Sumsel_Palembang, 02 Agustus 2019)


Oleh: Dr. Darul Abror, M.Pd.
Mabinda PKC PMII Sumsel



Mengakarnya ideologi transnasional pada sebagian masyarakat menjadi tantangan serius bangsa Indonesia khususnya bagi golongan Islam moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai dan praksis ahlussunnah wal jama’ah dengan point dan identitasnya yang telah tumbuh subur atas kreatifitas sejarah pendahulu dengan tetap mengedepankan nilai dan budaya yang indegenius dan lebih Indonesianis. Kaum Islam transnasionalis menggunakan simbol-simbol Islam untuk menutupi nafsu-nafsu politik dan nalar kekerasan mereka. Mereka menggunakan strategi kamuflase tersebut untuk mengelabui umat Islam tanah air supaya lebih mudah bersimpati dan mau masuk ke dalam ajaran-ajaran Islam konservatif yang mereka bawa. Strategi kamuflase tersebut mula-mula dilakukan dengan cara melakukan infiltrasi halus ke dalam ormas Islam yang moderat : NU dan Muhammadiyah. Dalam penelitian yang dieditori  KH. Abdurrahman Wahid (2009) yang berjudul Ilusi Negara Islam menjelaskan secara detail bentuk infiltrasi halus yang dilakukan oleh kelompok Islam transnasionalis yang meliputi, Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin (tarbiyah), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke dalam organisasi Islam moderat di Indonesia yang dilakukan sejak awal masa reformasi.
Seperti apa yang disampaikan oleh Azumardi Azra, adanya 95 pesantren salafi (dari total 111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada 13 provinsi, jelas belum menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa dipastikan, ada pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain. Karena itu, masih diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi secara komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri yang memegangi salafisme tidak diragukan lagi. Ini terlihat, misalnya, dari kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan belajar yang hampir sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang menjadi pegangan di pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan dan sumber ajar di pesantren salafi. Sekali lagi, literatur yang digunakan umumnya di pesantren salafi adalah karya ulama yang dikenal sebagai ulama salafi atau wahabi.[1]
Hal di atas seirama dengan hasil pesta demokrasi yang diramalkan oleh Mahfud MD[2] misalnya tentang eksistensi ideologi transnasionalis atau garis keras yang mengakar di provinsi memungkinkan lebih memenangkan di pasangan nomor urut dua (Prabowo-Sandi) atas pasangan nomor urut satu (Jokowi-Ma’ruf Amin) pada 17 April 2019 lalu, tentu salah satunya terbukti, walaupun tidak terucap secara jelas oleh Mahfud MD, realitas memberikan gambaran jelas atas kemengan pasangan nomor urut dua di daerah provinsi Sumatera Selatan. Hal ini dibuktikan dengan hasil rekapitulasi KPU yang menyatakan bahwa, "Rekapitulasi KPU: Prabowo-Sandiaga Unggul di Sumsel", Berdasarkan hasil rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara, Prabowo-Sandiaga mendapat suara 2.877.781. Sedangkan Jokowi-Ma'ruf mendapat 1.942.987 suara. Selisih suara di antara keduanya mencapai 934.794 suara.[3] Mengapa hal ini bisa terjadi?, tentunya atas multi faktor, salah satunya adalah kentalnya faktor ideology-historis yang jarang dipaham oleh khalayak publik.
Fenomena di atas, tentunya menjadi bagian tugas besar bagi gerakan mahasiswa yang strategis atas dasar nilai-nilai dan identitasnya, yakni PMII di Sumatera Selatan atas garapan penguatan praksis nilai-nilai aswaja dengan lebih sederhana yang bisa diterima oleh kalangan mahasiswa di bawah pendidikan tinggi (Dikti) yang kurang lebih berjumlah 240 kampus.[4] Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 57. 738 pertahun 2014/2015.[5] Kuantitas yang layak diperhitungkan secara politis maupun ideologis, khususnya pada penguatan dan pendampingan yang tersistem dan terstruktur atas nilai dan budaya gerakan yang ramah dan toleran atas distingsi pola di masing-masing Universitas. Tentunya hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh ketua umum PB PMII Agus Herlambang dalam menyampaikan fokus programnya dalam konteks Nasional. Agus menyatakan bahwa Orientasi kita adalah menyebarkan Islam Ahlussunah wal-Jama’ah di kampus. Kita sudah diskusi dengan Kiai Said terkait bagaimana kita bisa merebut ruang di generasi milenial, perkotaan khususnya mahasiswa. Jadi, seperti konten Islam Nusantara itu kita coba perkenalkan di generasi milenial. Itu yang pertama dan paling utama”.[6] 
              Salah satu upaya yang dilakukan oleh PB PMII adalah dengan lebih menyederhanakan kurikulum materi Aswaja di kampus, dengan mencoba mengadaptasi bagaimana Aswaja itu bisa diterima di generasi milenial dengan penyebaran melalui media-media modern misalkan dengan YouTube dan di media sosial. Jadi instrumen itu yang pakai untuk masuk ke generasi milenial sehingga dipahami secara holistic dan proporsional. Aswaja benar-benar mampu hadir sebagai nilai yang sinergis berbasis kebangsaan, yakni pancasila. hal ini tentunya kemudian menjadi berharga dan bermartabat dalam kemajuan sauatu Negara, tentunya juga gerakan PMII yang cultural progresif. Disisilain mahasiswa mengemban tugas advokasi di tengah masyarakat, di antara perwujudannya melalui mahasiswa pergerakan yang tahu kapasitasnya,  kaya gagasan, kreatif, dan peka  terhadap realita sosial  di masyarakat. Artinya, mahasiswa mesti tanggap terhadap perubahan dan tantangan di sekitarnya baik di masyarakat maupun di tengah kampus.[7] dan tentunya hal in sangat erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang mempberikan implikasi positif maupun sebaliknya. hal ini juga dijelaskan olah Syafaruddin bahwa kebijakan publik merupakan hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manajer dan personel dalam menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat.[8]
Jika kita mencermati doktrin-doktrin faham Aswaja, baik dalam aqidah (iman) syari’ah (fiqh) ataupun akhlaq (ihsan). Maka bisa kita dapati sebuah metodologi pemikiran yang tengah dan moderat (tawasuth), berimbang atau harmoni (tawazun) netral atau adil (ta’adul), dan toleran (tasamuh). Metodelogi pemikiran Aswaja senan tiasa menghindari sikap-sikap tatoruf (ekstrim), baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan faham Aswaja. Jika pada era awal, Aswaja merupakan counter discourse (wacana tanding) orientasi ideologi puritasi Islam (menurut Wahabi) dan modernis, maka dewasa ini NU dihadapkan pada orientasi ideologi yang sangat beragam dan kompleks yang telah memasuki dunia sumbu pendek, dan mencatut dalil agama dalam tindak-tanduknya. Sebagai kaum moderasi, PMII menjunjung tinggi multikultural yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang pancasilais. Setidaknya ada empat spirit yang menjadi semangat gerak PMII untuk tetap menjaga praksis ukhuwah gerakan, yakni Ukhuwah PMII, Ukhuwah Nahdliyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Insaniyah. Masih hangatnya isu agama yang masih digugat dalam kehidupan berbangsa dan beragama, membuat benang yang telah lama dirajut oleh para ulama dan pendiri bangsa menjadi rapuh dan rentan putus. Ditandai dengan menguatnya kembali pemikiran-pemikiran ideologi Trans-Nasional, baik yang berbasis agama (Islam) maupun sekular membuat NU dan PMII harus pandai bersikap.   Untuk itu, Penyederhaan kurikulum kaderisasi ini tentunya sangat relevan dengan kultur, program dan identitas PMII di Sumsel sendiri. Kultur PMII di Sumsel begitu berbeda dengan provinsi yang lain. Dalam Tinjauan Historis misalnya, konflik golongan mudo dan golongan tuo di Palembang walaupun tercatat sangat sulit dipertemukan mufakat, akan tetapi tetap menemukan hasil yang lebih menitik beratkan pada nilai-nilai kemaslahatan identitas publik.[9] Untuk itu, jelas bahwa hal secara historis peluang gerakan PMII Sumsel lebih memungkinkan dengan dukungan power atas badan otonom NU yakni atas disandangnya Ketua ISNU Sumsel oleh H. Herman Deru yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumsel dengan model yang lebih akomodatif  dan kooperatif dengan siapapun. Tentunya, hal ini bisa menjadi role model sekaligus contoh bagi kader gerakan visioner kedepan dengan tetap menjaga identitas ketokohan figure atau yang dituakan dalam gerakan Sumsel tersebut. Kultur sekaligus identitas inilah yang sangat perlu diusung dengan tetap mengakomodir saran dan kritik yang sifatnya membangun dengan tetap pada praksis nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah, yakni tetap menjaga aspek tasammuh, tawazun, ta’addul dan tawassuth dalam pergerakan di gelanggang sumsel yang masih penuh dengan dinamika dan dan gesekan kepentingan antara golongan tuo maupun golongan mudo.  Palembang dengan kuatnya kultur kesukuannya sebetulnya dapat menjadi nilai plus sekaligus peluang taktis atas gerakan yang sistematis dan terstruktur dengan multi pendekatan sesuai dengan kondisi daerah[10] masing-masing dapat dicairkan dengan pola strategi taktis yang pernah dilakukan oleh maha guru PMII  dalam pandangan historis, yakni pola strategi yang lebih interaktif antara semua golongan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemaslahatan umat, dan bukan untuk kepentingan sendiri atau individu dengan lebih asosiatif nan kompromistis. Hal inilah sebenarnya nilai-nilai yang diperjuangakan oleh barisan ahlussunnah wal jama’ah di masa pra lahirnya gerakan PMII. Terbukti dengan kekuatan ide dan gagasan dua tokoh besar yang merupakan kader dari K.H. Abdul Wahid Hasyim. Hal ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Hamzah Sahal yang menegaskan bahwa “Semangat dan perjuangan Pak Saifuddin dan Pak Idham Chalid yang diteruskan anak-anak muda, pendiri PMII bersumber dari Kiai Wahid. Visi, mimpi, imajinasi dan cita Pak Saifuddin dan Pak Idham yang diturunkan ke anak-anakmuda, pendiri PMII, adalah mimpinya Kiai Abdul Wahid Hasyim. Dari silsilah sederhana seperti itulah saya sebut Kiai Wahid adalah maha guru PMII.[11] Tentunya gagasan dan pola interaksi yang taktis dan strategis di eranya setidaknya bisa menjadi bagian penting dalam praksisnya gerakan untuk mengikis kekuatan transnaisonalis yang menguat di era kontemporer khususnya di daerah Sumatera Selatan.  Sebagai kader yang moderat di Sumsel, tentunya menjadi penting setiap gagasan dan program tetap dilandaskan atas proses interaksi yang tepat dan maslahat untuk organisasi dan eksistensi niali-nilai ahlussunnah wal jama’ah. Gerakan taktis yang relevan dengan kultur ala Sumsel menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap proses kaderisasi, yakni kompromisasi antara kepentingan golongan tuo dan mudo yang mengedepankan substansi ahlussunnah waljama’ah yang sederhana, transparan dan tetap menjaga etika senioritas atas dasar praksis amal sholeh pada gerakan.            








                                                                                                            


[2]Pernyataan mantan Ketua MK, Mahfud Md, yang menyebut daerah yang dimenangkan capres Prabowo Subianto dulunya dianggap 'provinsi garis keras' ramai dibahas di media sosial. Mahfud lalu menjelaskan pernyataanya. Pernyataan itu disampaikan Mahfud dalam wawancara di salah satu stasiun TV. Video potongan wawancara yang berdurasi 1 menit 20 detik lalu beredar di media sosial. Berikut pernyataan Mahfud: “Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun.Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga. Saya kira rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini bersatu karena kesadaran akan keberagaman dan bangsa ini hanya akan maju kalau bersatu .” https://news.detik.com/berita/d-4527884/mahfud-md-jelaskan-pernyataannya-soal-provinsi-garis-keras-yang-viral. Diakses pada 01 Agustus 2019.
[6]Merupakan percakapan Ketua Umum Agus Herlamabng dengan NU Online atas hasil diskusinya dengan Prof. K..H. Said Aqil Siradj, MA. Lihat https://www.nu.or.id/post/read/86293/pmii-dan-empat-fokus-pergerakannya. Diakses pada 01 Agustus 2019.
[7]http://www.nu.or.id/post/read/51986/pmii-unwahasy-integrasikan-mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial, di akses pada 20 Oktober 2016, pukul 22.18 Wib.
[8] Syarafuddin, 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Ed.1, Cet, 1. Rineka Cipta, hlm. 77
[9] Lihat Sukardi, Ismail. (2014). Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang, 1925-1942. Yogyakarta: CV. Idea Sejahtera. (Merupakan disertasinya ketika melanjutkan kuliah doctoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

[10] Terdapat kurang lebih 16 Kabupaten dan kota  se-sumatera Selatan http://www.bpkp.go.id/sumsel/konten/1111/Profil-Provinsi-Sumatera-Selatan.bpkp. Diakses pada 01 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen SDM Pendidikan MPI II-IV 24-25

  Mata Kuliah                  :  MANAJEMEN SDM PENDIDIKAN                     Dosen Pengampu        :  Dr.  Darul Abror, M.Pd.      Program...