Strategi
Gerakan Islam Indonesia
(Menakar Identitas, Ideologi dan Peluang di Sumsel )
(Pelatihan Kader Lanjut (PKL) PKC PMII
Sumsel_Palembang, 02 Agustus 2019)
Oleh:
Dr. Darul
Abror, M.Pd.
Mabinda PKC PMII Sumsel
Mengakarnya
ideologi transnasional pada sebagian masyarakat menjadi tantangan serius bangsa
Indonesia khususnya bagi golongan Islam moderat yang lebih mengedepankan
nilai-nilai dan praksis ahlussunnah wal jama’ah dengan point dan
identitasnya yang telah tumbuh subur atas kreatifitas sejarah pendahulu dengan
tetap mengedepankan nilai dan budaya yang indegenius dan lebih Indonesianis. Kaum Islam transnasionalis
menggunakan simbol-simbol Islam untuk menutupi nafsu-nafsu politik dan nalar
kekerasan mereka. Mereka menggunakan strategi kamuflase tersebut untuk
mengelabui umat Islam tanah air supaya lebih mudah bersimpati dan mau masuk ke
dalam ajaran-ajaran Islam konservatif yang mereka bawa. Strategi kamuflase
tersebut mula-mula dilakukan dengan cara melakukan infiltrasi halus ke dalam
ormas Islam yang moderat : NU dan Muhammadiyah. Dalam penelitian yang dieditori
KH. Abdurrahman Wahid (2009) yang berjudul Ilusi Negara Islam menjelaskan
secara detail bentuk infiltrasi halus yang dilakukan oleh kelompok Islam
transnasionalis yang meliputi, Salafi-Wahabi, Ikhwanul Muslimin (tarbiyah),
dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke dalam organisasi Islam moderat di
Indonesia yang dilakukan sejak awal masa reformasi.
Seperti
apa yang disampaikan oleh Azumardi Azra, adanya 95 pesantren salafi (dari total
111 lembaga pendidikan) di 25 kota/kabupaten pada 13 provinsi, jelas belum
menggambarkan penyebarannya di seluruh Indonesia. Bisa dipastikan, ada
pesantren salafi--berapa pun jumlahnya--di daerah lain. Karena itu, masih
diperlukan penelitian lanjutan untuk pemetaan pesantren salafi secara
komprehensif di Tanah Air. Bahwa pesantren salafi merupakan lokus santri yang
memegangi salafisme tidak diragukan lagi. Ini terlihat, misalnya, dari
kitab-kitab yang digunakan dalam proses mengajar dan belajar yang hampir
sepenuhnya merupakan karya ulama salafi. Kitab kuning yang menjadi pegangan di
pesantren salafiyah dan khalafiyah tidak menjadi rujukan dan sumber ajar di
pesantren salafi. Sekali lagi, literatur yang digunakan umumnya di pesantren
salafi adalah karya ulama yang dikenal sebagai ulama salafi atau wahabi.[1]
Hal
di atas seirama dengan hasil pesta demokrasi yang diramalkan oleh Mahfud MD[2]
misalnya tentang eksistensi ideologi transnasionalis atau garis keras yang
mengakar di provinsi memungkinkan lebih memenangkan di pasangan nomor urut dua
(Prabowo-Sandi) atas pasangan nomor urut satu (Jokowi-Ma’ruf Amin) pada 17
April 2019 lalu, tentu salah satunya terbukti, walaupun tidak terucap secara
jelas oleh Mahfud MD, realitas memberikan gambaran jelas atas kemengan pasangan
nomor urut dua di daerah provinsi Sumatera Selatan. Hal ini dibuktikan dengan
hasil rekapitulasi KPU yang menyatakan bahwa, "Rekapitulasi KPU: Prabowo-Sandiaga Unggul di
Sumsel", Berdasarkan hasil rekapitulasi dan penetapan hasil
penghitungan suara, Prabowo-Sandiaga mendapat suara 2.877.781. Sedangkan
Jokowi-Ma'ruf mendapat 1.942.987 suara. Selisih suara di antara keduanya
mencapai 934.794 suara.[3] Mengapa hal ini bisa
terjadi?, tentunya atas multi faktor, salah satunya adalah kentalnya faktor ideology-historis
yang jarang dipaham oleh khalayak publik.
Fenomena
di atas, tentunya menjadi bagian tugas besar bagi gerakan mahasiswa yang
strategis atas dasar nilai-nilai dan identitasnya, yakni PMII di Sumatera
Selatan atas garapan penguatan praksis nilai-nilai aswaja dengan lebih
sederhana yang bisa diterima oleh kalangan mahasiswa di bawah pendidikan tinggi
(Dikti) yang kurang lebih berjumlah 240 kampus.[4]
Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 57. 738 pertahun 2014/2015.[5]
Kuantitas yang layak diperhitungkan secara politis maupun ideologis, khususnya
pada penguatan dan pendampingan yang tersistem dan terstruktur atas nilai dan
budaya gerakan yang ramah dan toleran atas distingsi pola di masing-masing
Universitas. Tentunya hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh ketua
umum PB PMII Agus Herlambang dalam menyampaikan fokus programnya dalam
konteks Nasional. Agus menyatakan
bahwa “Orientasi
kita adalah menyebarkan Islam Ahlussunah wal-Jama’ah di kampus. Kita sudah
diskusi dengan Kiai Said terkait bagaimana kita bisa merebut ruang di generasi
milenial, perkotaan khususnya mahasiswa. Jadi, seperti konten Islam Nusantara
itu kita coba perkenalkan di generasi milenial. Itu yang pertama dan paling
utama”.[6]
Salah satu upaya yang dilakukan oleh PB PMII adalah dengan lebih menyederhanakan kurikulum materi Aswaja di kampus, dengan mencoba
mengadaptasi bagaimana Aswaja itu bisa diterima di generasi milenial dengan
penyebaran melalui media-media modern misalkan dengan YouTube dan di media
sosial. Jadi instrumen itu yang pakai untuk masuk ke generasi milenial sehingga
dipahami secara holistic dan proporsional. Aswaja
benar-benar mampu hadir sebagai nilai yang sinergis berbasis kebangsaan, yakni
pancasila. hal ini tentunya kemudian menjadi berharga dan bermartabat dalam
kemajuan sauatu Negara, tentunya juga gerakan PMII yang cultural progresif.
Disisilain mahasiswa mengemban tugas advokasi di tengah masyarakat, di antara
perwujudannya melalui mahasiswa pergerakan yang tahu kapasitasnya, kaya
gagasan, kreatif, dan peka terhadap realita sosial di masyarakat. Artinya,
mahasiswa mesti tanggap terhadap perubahan dan tantangan di sekitarnya baik di
masyarakat maupun di tengah kampus.[7]
dan tentunya hal in sangat erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang
mempberikan implikasi positif maupun sebaliknya. hal ini juga dijelaskan olah
Syafaruddin bahwa kebijakan publik merupakan hasil pengambilan keputusan oleh
manajemen puncak baik berupa tujuan, prinsip maupun aturan yang berkaitan
dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manajer dan personel dalam
menentukan masa depan organisasi yang berimplikasi pada kehidupan masyarakat.[8]
Jika kita
mencermati doktrin-doktrin faham Aswaja, baik dalam aqidah (iman) syari’ah (fiqh)
ataupun akhlaq (ihsan). Maka bisa kita dapati sebuah metodologi
pemikiran yang tengah dan moderat (tawasuth), berimbang atau harmoni (tawazun)
netral atau adil (ta’adul), dan toleran (tasamuh). Metodelogi
pemikiran Aswaja senan tiasa menghindari sikap-sikap tatoruf (ekstrim), baik
ekstrim kanan maupun ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk
mencirikan faham Aswaja. Jika pada era awal, Aswaja merupakan counter
discourse (wacana tanding) orientasi ideologi puritasi Islam (menurut
Wahabi) dan modernis, maka dewasa ini NU dihadapkan pada orientasi ideologi
yang sangat beragam dan kompleks yang telah memasuki dunia sumbu pendek, dan
mencatut dalil agama dalam tindak-tanduknya. Sebagai kaum moderasi, PMII
menjunjung tinggi multikultural yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang
pancasilais. Setidaknya ada empat spirit yang menjadi semangat gerak PMII untuk
tetap menjaga praksis ukhuwah gerakan, yakni Ukhuwah PMII, Ukhuwah Nahdliyah,
Ukhuwah Wathaniyah, dan Ukhuwah Insaniyah. Masih hangatnya isu agama yang masih
digugat dalam kehidupan berbangsa dan beragama, membuat benang yang telah lama
dirajut oleh para ulama dan pendiri bangsa menjadi rapuh dan rentan putus.
Ditandai dengan menguatnya kembali pemikiran-pemikiran ideologi Trans-Nasional,
baik yang berbasis agama (Islam) maupun sekular membuat NU dan PMII harus
pandai bersikap. Untuk itu, Penyederhaan kurikulum kaderisasi ini tentunya sangat relevan dengan
kultur, program dan identitas PMII di Sumsel sendiri. Kultur PMII di Sumsel
begitu berbeda dengan provinsi yang lain. Dalam Tinjauan Historis misalnya,
konflik golongan mudo dan golongan tuo di Palembang walaupun tercatat sangat
sulit dipertemukan mufakat, akan tetapi tetap menemukan hasil yang lebih
menitik beratkan pada nilai-nilai kemaslahatan identitas publik.[9]
Untuk itu, jelas bahwa hal secara historis peluang gerakan PMII Sumsel lebih
memungkinkan dengan dukungan power atas badan otonom NU yakni atas disandangnya
Ketua ISNU Sumsel oleh H. Herman Deru yang saat ini menjabat sebagai Gubernur
Sumsel dengan model yang lebih akomodatif
dan kooperatif dengan siapapun. Tentunya, hal ini bisa menjadi role
model sekaligus contoh bagi kader gerakan visioner kedepan dengan tetap menjaga
identitas ketokohan figure atau yang dituakan dalam gerakan Sumsel tersebut.
Kultur sekaligus identitas inilah yang sangat perlu diusung dengan tetap
mengakomodir saran dan kritik yang sifatnya membangun dengan tetap pada praksis
nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah, yakni tetap menjaga aspek tasammuh,
tawazun, ta’addul dan tawassuth dalam pergerakan di gelanggang sumsel yang
masih penuh dengan dinamika dan dan gesekan kepentingan antara golongan tuo
maupun golongan mudo. Palembang dengan kuatnya kultur kesukuannya sebetulnya dapat menjadi
nilai plus sekaligus peluang taktis atas gerakan yang sistematis dan terstruktur
dengan multi pendekatan sesuai dengan kondisi daerah[10]
masing-masing dapat dicairkan dengan pola
strategi taktis yang pernah dilakukan oleh maha guru PMII dalam pandangan historis, yakni pola strategi
yang lebih interaktif antara semua golongan dengan tetap mengedepankan
nilai-nilai kemaslahatan umat, dan bukan untuk kepentingan sendiri atau
individu dengan lebih asosiatif nan kompromistis. Hal inilah sebenarnya
nilai-nilai yang diperjuangakan oleh barisan ahlussunnah wal jama’ah di
masa pra lahirnya gerakan PMII. Terbukti dengan kekuatan ide dan gagasan dua
tokoh besar yang merupakan kader dari K.H. Abdul Wahid Hasyim. Hal ini sama
dengan apa yang disampaikan oleh Hamzah Sahal yang menegaskan bahwa “Semangat
dan perjuangan Pak Saifuddin dan Pak Idham Chalid yang diteruskan anak-anak
muda, pendiri PMII bersumber dari Kiai Wahid. Visi, mimpi, imajinasi dan cita Pak Saifuddin dan Pak Idham yang
diturunkan ke anak-anakmuda, pendiri PMII, adalah mimpinya Kiai Abdul Wahid
Hasyim. Dari silsilah sederhana seperti itulah saya sebut Kiai Wahid adalah
maha guru PMII.[11] Tentunya gagasan dan pola
interaksi yang taktis dan strategis di eranya setidaknya bisa menjadi bagian
penting dalam praksisnya gerakan untuk mengikis kekuatan transnaisonalis yang
menguat di era kontemporer khususnya di daerah Sumatera Selatan. Sebagai
kader yang moderat di Sumsel, tentunya menjadi penting setiap gagasan dan
program tetap dilandaskan atas proses interaksi yang tepat dan maslahat untuk
organisasi dan eksistensi niali-nilai ahlussunnah wal jama’ah. Gerakan
taktis yang relevan dengan kultur ala Sumsel menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam setiap proses kaderisasi, yakni kompromisasi antara
kepentingan golongan tuo dan mudo yang mengedepankan substansi ahlussunnah
waljama’ah yang sederhana, transparan dan tetap menjaga etika senioritas
atas dasar praksis amal sholeh pada gerakan.
[1]https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/18/02/21/p4if4a440-pesantren-salafi-4.
DIakses pada 01 Agustus 2019.
[2]Pernyataan mantan Ketua MK, Mahfud Md, yang menyebut daerah yang dimenangkan capres Prabowo Subianto dulunya dianggap 'provinsi garis keras' ramai
dibahas di media sosial. Mahfud lalu menjelaskan pernyataanya. Pernyataan
itu disampaikan Mahfud dalam wawancara di salah satu stasiun TV. Video potongan
wawancara yang berdurasi 1 menit 20 detik lalu beredar di media sosial. Berikut
pernyataan Mahfud: “Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya
sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar
segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan
mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun.Tapi kalau lihat
sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan
itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang
dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat,
Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga. Saya kira
rekonsiliasinya jadi lebih penting untuk menyadarkan kita bahwa bangsa ini
bersatu karena kesadaran akan keberagaman dan bangsa ini hanya akan maju kalau
bersatu .” https://news.detik.com/berita/d-4527884/mahfud-md-jelaskan-pernyataannya-soal-provinsi-garis-keras-yang-viral.
Diakses pada 01 Agustus 2019.
[3].https://nasional.kompas.com/read/2019/05/15/07021441/rekapitulasi-kpu-prabowo-sandiaga-unggul-di-sumsel.
Diakses pada 01 Agustus 2019.
[5]https://www.bps.go.id/statictable/2015/09/14/1839/jumlah-perguruan-tinggi-mahasiswa-dan-tenaga-edukatif-negeri-dan-swasta-di-bawah-kementrian-pendidikan-dan-kebudayaan-menurut-provinsi-2013-2014-2014-2015.html.
Diakses pada 01 Agustus 2019. pada 01 Agustus 2019.
[6]Merupakan
percakapan Ketua Umum Agus Herlamabng dengan NU Online atas hasil diskusinya
dengan Prof. K..H. Said Aqil Siradj, MA. Lihat https://www.nu.or.id/post/read/86293/pmii-dan-empat-fokus-pergerakannya. Diakses pada 01 Agustus 2019.
[7]http://www.nu.or.id/post/read/51986/pmii-unwahasy-integrasikan-mahasiswa-dan-tanggung-jawab-sosial, di akses pada 20
Oktober 2016, pukul 22.18 Wib.
[8]
Syarafuddin, 2008. Efektifitas Kebijakan Pendidikan. Ed.1, Cet, 1.
Rineka Cipta, hlm. 77
[9]
Lihat Sukardi, Ismail. (2014). Madrasah
dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang, 1925-1942.
Yogyakarta: CV. Idea Sejahtera. (Merupakan disertasinya ketika melanjutkan
kuliah doctoral di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
[10] Terdapat
kurang lebih 16 Kabupaten dan kota
se-sumatera Selatan http://www.bpkp.go.id/sumsel/konten/1111/Profil-Provinsi-Sumatera-Selatan.bpkp.
Diakses pada 01 Agustus 2019
[11] https://alif.id/read/hamzah-sahal/kiai-wahid-hasyim-maha-guru-pmii-b208461p/.
Diakses pada 01 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar